Sedang Membaca
Idulfitri: Jembatan Menuju Kesalihan Spiritual dan Sosial

Muhammad Abdun Nasir. Alumnus Ponpes Baitur Rahim Bungah Gresik dan Magister di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Pegiat Halaqoh Literasi Malang Jawa Timur. Pernah menjadi Asisten dosen, dosen luar biasa, dan dosen tamu di FE Universitas Brawijaya, dan sudah lebih dari 18 tahun bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di Sales Marketing dan sekarang menggeluti usaha properti.

Idulfitri: Jembatan Menuju Kesalihan Spiritual dan Sosial

Gema takbir berkumandang, menembus cakrawala dan birunya langit. Dalam balutan indahnya cahaya bintang gemintang dan rembulan. Matahari  menampakkan merona merahnya cahaya dan perlahan kekuatan cahayanya menerangi bumi. Seolah alam semesta ini turut bergembira menyaksikan orkestrasi yang begitu harmoni dalam melantunkan kebesaran Allah SWT yang menciptakannya.

Gema takbir di hari raya Idul Fitri ini menjadi momen merayakan hari kemenangan, hari menjadi suci kembali bagi setiap insan yang telah melewati bulan Ramadhan tahun ini.  Merayakan kemenangan ini tidak boleh hanya berhenti dengan berpakaian serba baru dan pernak pernik akseroris rumah baru. Namun, Idul Fitri ini menjadi momen spesial untuk kembali melakukan muhasabah diri.

Apakah selama bulan Ramadhan kita melakukan ibadah mahdhoh maupaun ghoiru mahdhoh -Puasa, Sholat lima waktu, Zakat, Tarawih, Tadarrus- benar benar kita lakukan atas dasar kecintaan kita kepada Allah, atas dasar ketaan kepada Allah, dan atas dasar keinginan untuk menggapai ketaqwaan kepada Allah SWT.

Sepanjang puasa, kita melatih diri untuk menahan diri yang salah satunya menahan lapar. Dimana ini sudah menjadi kebiasaan dari saudara saudara kita yang kurang beruntung dalam memenuhi kebutuhan fisiknya makan 3 kali sehari.

Apakah lapar itu hanya berhenti pada rasa saja, atau kita bisa menaikkan kualitasnya dengan lebih empati dan melakukan aksi nyata ikut meringankan beban saudara saudara kita dengan mengulurkan tangan melalui zakat dan shodaqoh.

Baca juga:  Sisi Lain Friedrich Nietzsche: Pengagum Rahasia Nabi Muhammad SAW

Jika tidak, alih alih keinginan kita menjadi pribadi yang bertaqwa malah justru kita berpotensi menjadi bagian dari pribadi yang mendustakan agama? Surah al-Ma’un ayat 1-3, mengingatkan pada kita;

اَرَءَيْتَ الَّذِيْ يُكَذِّبُ بِالدِّيْنِۗ ۝١فَذٰلِكَ الَّذِيْ يَدُعُّ الْيَتِيْمَۙ ۝٢وَلَا يَحُضُّ عَلٰى طَعَامِ الْمِسْكِيْنِۗ ۝٣

“Tahukah kamu orang yang mendustakan Agama?, Itulah Orang yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin.”

Idul Fitri juga menjadi momen yang sangat penting dalam hal ibadah sosial kita. Dimana kita diciptakan Allah SWT sebagai mahluk sosial, yang tentu dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi kesalahpahaman atau ketidakcocokan satu sama lain, sehingga pada skala tertentu akan memunculkan segregasi dan bisa meningkat menciptakan disharmoni sosial.

Untuk merilis agar disharmoni ini tidak berlanjut, tentu dengan menerapkan bagaimana berakhlak antar sesama. Akhlak baik antar sesama salah satunya adalah dengan saling menyadari bahwa sebagai manusia biasa tentu tak akan luput dari salah dan lupa. Sebagaimana adagium Arab menyatakan;

اَلْاِنْسَانُ مَحَلُّ الْخَطَاءِ وَالنِّسْيَان

“Manusia adalah tempat salah dan lupa”

Maka akhlak yang sangat baik ketika didapati sering salah dan lupa adalah dengan saling meminta maaf dan memberi maaf. Meminta maaf menjadi cerminan betapa luasnya hati kita sekaligus pengakuan bahwa kita ini manusia biasa. Dengan memberi maaf menjadi cerminan betapa tulusnya hati kita, sekaligus pengakuan bahwa orang lain juga bisa salah dan lupa.

Baca juga:  Etika di Era Digital: Menjaga Integritas di Dunia Maya

Idul fitri adalah momen yang sangat tepat untuk kita terus membudayakan saling maaf memaafkan. Dengan demikian tidak akan turun sedikitpun derajat kita, malah justru sebagaimana manusia kita akan ditinggikan derajatnya, karena satu sama lain menyadari bahwa keberadaan dalam kehidupan sosial saling memahami kekurangan masing masing.

Dalam berkehidupan sosial dalam skala mikro, dalam hal ini adalah sebagai keluarga, maka berakhlak baik kepada orang tua adalah hal yang sangat penting. Orang tua kita, yang mengasihi kita tanpa batas dengan mengajari banyak hal pada kita, sehingga kita bisa bertumbuh dewasa dan menjadi sukses hingga sampai saat ini.

Mari kita bayangkan, saat orang tua kita menuntun dan menggenggam tangan kita penuh kasih sayang. Mengajari kedua mata kita untuk melihat kehidupan ke depan penuh dengan pengharapan. Mengajari bagaimana mulut digunakan untuk berkata dengan baik.

Tapi pada kesempatan kita tidak sepaham dengan mereka, lantas kita gunakan genggaman tangan ini untuk memukul meja, atau mata ini melotot kearah keduanya, atau bahkan mulut ini kita gunakan untuk menaikkan suara kita hingga meninggi? Apakah itu akhlak yang kita pakai sebagai balasan kasih sayang kita kepada orang tua kita? Naudzubillah.

Berahlak baik dengan berbakti pada kedua orang tua kita menjadi perintah yang Allah tegaskan bersama dengan perintah untuk tidak menyembah selain kepada Dia. Allah SWT memperjelasnya dalam surah  al-Isra’ ayat 23;

Baca juga:  Gus Dur si Anak Yatim (1)

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada Ibu Bapakmu dengan sebaik baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua duanya berusia lanjut dan dalam pemeliharaanmu, maka sekali kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “aah” dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

Memuliakan kedua orang tua dengan berbakti adalah kewajiban anak. Maka di momen yang sangat spesial ini, mari manfaatkan dengan sebaik baiknya. Jika kedua orang tua kita masih hidup, maka datang dan peluklah mereka dengan penuh kasing sayang, sebagaimana tumpahan kasih sayang mereka pada kita. Dan jika sudah mendahului kita, maka jangan pernah berhenti mengalirkan doa kepada mereka.

Semoga, di hari kemenangan ini, dengan muhasabah mendalam atas semua ibadah yang kita lakuan, baik itu ibadah yang berdimensi vertikal ataupun horinsontal, kita benar benar terlahir suci kembali dan menjadi pribadi yang salih spiritual dan sosial. Amin Ya Robbal ‘alamin.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top