Pada masa lalu, rumah tak terpisahkan dari ruang sosial. Proses berumah lumrah melibatkan banyak orang. Sekian orang memutuskan berumah, bertemu, berdialog, hingga menciptakan peristiwa sosial. Sebab itu terciptalah daya hidup pada suatu rumah dan pemukiman.
Pemaknaan rumah sebagai tempat terjadinya peristiwa sosial pernah diutarakan oleh bapak bangsa, Mohammad Hatta. Pendapat itu tersaji dalam makalah berjudul Dari Hal Tempat Kediaman Rakyat, yang disampaikan pada sidang Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara lama di medio 1943.
Hatta berpendapat bahwa gambaran rumah sebelum babak kolonialisme Belanda umumnya sederhana tapi terpelihara. Rumah di masa lalu merekam gerak masyarakat dan adat hidup orang Indonesia. Sifat tolong-menolong yang menonjol pada orang Indonesia terekam dalam proses berumah.
”Kalau ia hendak mendirikan rumah, ia dapat minta tolong kepada orang banyak, yang sekampung atau sedesa. Paham tradisi, yaitu ikatan kebiasaan, tidak membiarkan orang teledor terhadap pemeliharaan rumahnya,” tulis Hatta.
Babak kolonialisme, menurut Hatta, telah merusak tatanan tersebut. Sekian mata menyaksikan ketidakpedulian antar sesama karena situasi ekonomi yang memburuk. Kemalasan pun merajarela, sehingga orang enggan berinteraksi. Kolonialisme membuat rumah orang-orang Eropa berdiri dengan segregasi. Sementara, rumah masyarakat tanah jajahan terbangun tanpa sosialisasi.
”Nafsu kurang untuk memperbaiki yang rusak, sejak kesengsaraan hidup menimpa senantiasa. Sekali pun masih kuat dirasakan oleh orang desa tabiat tolong-menolong, nafsu untuk minta tolong sudah hilang. Apakah rumah yang hendak diperbaiki, selagi yang akan dimakan hampir senantiasa tidak ada?” Kata Hatta.
Masih di tulisan yang sama, Hatta menggunakan pendekatan etnografis. Dalam tulisan itu ia mengaku sempat menjelajah wilayah Kedu, untuk mengamati kehidupan masyarakat setempat. Ia juga menyimpan amatan soal laku hidup masyarakat bersama rumah.
”Rumah dusun yang sangat buruk itu, yang tiangnya sudah miring dan atapnya banyak bocor serta dindingnya penuh lubang, dengan tiada keinginann dan kemauan memperbaiki oleh orang yang tinggal di dalamnya, -rumah dusun yang memupuk semangat menyerah dan menerima itu tidak bisa membuka pikiran dan menghidupkan semangat untuk maju,” demikain yang ditulis oleh Hatta.
Kalimat itu mengesankan rumah mencerminkan semangat hidup seseorang. Hal itu ibarat menumbuhkan kemauan seseorang untuk mencapai tujuan hidup. Kurang lebih, rumah seperti sebuah pertemuan antara vitalitas dan gagasan hidup. Apapun arsitektur yang terbangun, jiwa para penghuninya akan mengikuti dan membersamai.
Kesepadanan antara vitalitas dan gagasan hidup dalam rumah terekam pada biografi penyair Amir Hamzah berjudul Amir Hamzah: Pangeran dari Seberang gubahan N.H Dini. Biografi tersebut mengisahkan fase saat penyair yang seangkatan dengan Chairil Anwar itu mengambil pendidikan Sastra Timur di AMS Surakarta.
Biografi mengisahkan sosok Amir Hamzah yang haus akan ilmu baru, khususnya ihwal sastra dan budaya. Surakarta menjelma tempat yang tepat bagi Amir yang penuh dengan ambisi keilmuan. Sebab, di babak itu Surakarta merupakan tempat bertemunya arus gagasan kebudayaan, modal, dan politik. Perjalanan Amir Hamzah di Surakarta mempertemukannya dengan rumah dan ruang yang tepat untuk sekian ambisinya.
Semasa di Surakarta, Amir Hamzah menumpang di rumah seorang bangsawan bernama Raden Tumenggung Sutijo Hadinegoro. Raden Sutijo adalah seorang pemborong, ia selalu berpindah rumah mengikuti kondisi keuangan. Namun Amir selalu mengikuti ke mana saja mereka berpindah rumah. Amir Hamzah, pangeran dari negeri seberang itu telah melebur dalam adat hidup Raden Sutijo. ”Sejak itu Amir tidak pernah lagi merasa terpencil maupun sendirian,” tulis biografi itu.
Babak Amir Hamzah di Surakarta penuh dengan cerita menyenangkan. Fragmen biografi mengisahkan bagaimana Amir menemukan keserasian hidup dari keluarga tempatnya menumpang. Berkat keluarga Raden Sutijo ia bisa melihat sisi lain kehidupan masyarakat yang berbeda dari sebelumnya. Meski ia berdarah biru, kemenakan dari Sultan Langkat, ia menjadi pelajar biasa di Surakarta. Namun dengan itu, ia bisa merengkuh cakrawala lebih luas untuk hidupnya.
”Bersama keluarga tempatnya menumpang, dia sering berkesempatan bepergian, diajak melihat sisi lain dari kehidupan yang sebelumnya tidak pernah dia bayangkan. Dunia pergerakan, pelaharan, pengamatan, menyatu dengan teratur. Kesemuanya didorong oleh hormat dan keinginan menyenangkan hati orang tua,” tulis biografi tersebut.
Rumah dan antusiasme bersemayam dalam semangat penghuni. Amir Hamzah bertemu dengan itu. Bisa kita bayangkan bagaimana Amir Hamzah begitu bersemangat menjalani hari-hari di Surakarta. Rumah pun menjadi titik pergi dan berangkat yang menggugah untuk Amir. Bermula dari Surakarta, dan rumah tempat ia menumpang, Amir menjalani laku hidup penuh vitalitas dan makna.
Kendati begitu, lumrah terdapat pesimisme dari sisi lain vitalitas hidup. Pesimisme terkait rumah pernah dijahit oleh penyair Afrizal Malna dalam puisinya berjudul Arsitektur Orde Baru di Rumahmu. Puisi tersebut menggambarkan ihwal perjalanan dan pertemuan di sebuah rumah.
Yang tertulis dalam puisi itu, ”Aku dalam kamar anakmu, 2,5×2,5 meter. Kipas angin dan sebuah lukisan yang bukan seleraku. Entahlah, aku merasa bodoh berhadapan dengan lukisan itu… Lukisan itu, darah itu, dan rumah sakit itu, membuatku merasa sendiri di sini. Aku berjalan ke kamar mandi, seperti berjalan tanpa ginjal, dan lagi selangkah – tanpa diriku.”
Puisi menuturkan cerita soal kemuraman saat seseorang bertandang ke sebuah rumah. Seolah-olah rumah itu tak memberinya semangat hidup. Afrizal melanjutkan, ”di atas bantal, sudah kau siapkan kemeja kuning, kaos putih ukuran L untuk aku berganti. Aku tak tahu bagaimana aku bisa mengenakan baju ukuran L itu tanpa diriku,” gubahnya.
Penggalan puisi mengesankan adanya keteraturan yang tak dihendaki. Keteraturan tak memberi kenyamanan dan keserasian, sekalipun dalam bentuk baju. Keteraturan itu lantas berlanjut dalam lirik setelahnya. ”….Perumahan yang kering dari arsitektur Orde Baru, di sini. Yang mencincang-cincang ruang seperti korek api dan bersin di sebelahnya. Aku bersama gurita kabel-kabel listrik di jalan perempatan rumahmu.”
Pemilihan kata-kata, ”mencincang ruang seperti korek api dan bensin di sebelahnya,” seakan mengumpamakan bagaimana rumah tercabut dari ruang sosial. Sebagaimana yang acapkali terjadi di masa kini, proses berumah akhirnya berjalan sendiri. Rumah tidak melibatkan masyarakat. Baik saat membangun atau berinteraksi antar sesama penghuni. Lambat laun, rumah mulai kehilangan jiwa dari penghuni. Ia semata tempat berangkat dan pulang. Rumah jadi tak berjiwa, tak memberi bekal bagi penghuninya untuk menjalani hidup penuh gairah, kemauan, dan semangat.