Sebagian besar masyarakat kita hari ini baru saja bangkit dari keterpurukan ekonomi setelah kurang lebih dua tahun diterjang pandami Covid-19. Para petani, tenaga pengajar, para pengusaha khususnya di sektor Usaha Kecil dan Menengah (UMK), dan profesi-profesi swasta lainnya pelan-pelan melakukan recovery bidang pekerjaannya. Semua itu dilakukannya agar kemandirian ekonomi serta kehidupannya bisa tetap berlangsung sebagaimana mestinya.
Belum lagi soal kesenjangan peluang atau kesempatan, sentralisasi kekayaan pada segelintir orang/kelompok, ketimpangan pasar kerja, hingga rapuhnya masyarakat miskin menghadapi guncangan ekonomi. Ini semua adalah problem kebangsaan kita yang tidak bisa disederhanakan sebagai masalah yang biasa. Tak sedikit ekonom mengkategorikannya sebagai faktor-faktor penyebab ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Salah satu indikator untuk mengukur ketimpangan ekonomi penduduk kaya dan miskin suatu wilayah adalah menggunakan Rasio Gini. Mengutip data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), rasio gini nasional pada September 2020 mencapai 0,385. Angka tersebut semakin tinggi bila dibandingkan Maret 2020 maupun September 2020 sebelum pandemi, yang masing-masing berada pada level 0,381 dan 0,380.
Menebar Maslahat
Tentu kita tak mau membiarkannya sebagai sebuah “ironi”: ketika di satu sisi ekonomi syariah mengalami proliferasi di Indonesia, tapi pada sisi yang lain ketimpangan ekonomi dan problem-problem sosial lainnya terus meningkat dan menghantui sebagian besar penduduknya. Kita pun tidak mau ekonomi syariah berikut konsepsi kemaslahatannya yang basis epistemologinya bersumber dari al-Quran dan hadis, terkesan mandul di hadapan praktik kapitalisme serta keserakahan orang-orang kaya. Justru, sebisa mungkin keberadaannya benar-benar menjadi jalan keluar dari problem sosial-ekonomi kita hari ini.
Diskursus ekonomi syariah yang berimplikasi pada kecenderungan hidup halal di Indonesia, harus dibangun dengan semangat yang demikian. Pembicaraannya tidak hanya diarahkan pada upaya pemenuhan kuantitas, tetapi juga moralitas. Antara kuantitas dan moralitas seyogianya berjalan beriringan, sehingga kemaslahatan publik benar-benar terwujud dalam sendi-sendi kehidupan umat manusia. Seperti cita-cita luhur Islam (maqashid al-syari’ah), yaitu untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Jika kita jujur dan objektif menghayati nilai-nilai luhur Islam, maka akan meyakini bahwa sistem ekonomi syariah sangat prospektif dikembangkan serta dipraktikkan di Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Impian kemaslahatannya cukup menggembirakan bagi khususnya kalangan kelas menengah ke bawah atau kelompok rentan secara ekonomi yang sebagian besar adalah umat Islam sendiri. Masalahnya, seberapa yakin dan bersedia kita untuk merealisasikan keyakinan itu dalam dunia nyata?
Langkah Konkrit
Lalu apa yang bisa kita lakukan sebagai refleksi dari semua ini? Sekurang-kurangnya ada dua langkah alternatif yang paling mungkin bisa kita lakukan; langkah struktural dan kultural. Langkah yang pertama melibatkan dukungan penuh negara, berupa kebijakan struktural yang berpihak pada kepentingan bersama. Sedangkan langkah yang kedua, kembali pada tanggung jawab umat manusia sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya.
Pertama, langkah yang bersifat struktural. Pada 25 Januari 2021, Presiden Joko Widodo meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) di Istana Negara, Jakarta. Ini menandai dimulainya transformasi pelaksanaan wakaf yang lebih luas dan modern. Ini sangat prospektif karena pemanfaatan wakaf tidak saja bergerak di bidang sosial-peribadatan seperti pembangunan masjid, lembaga pendidikan, dan makam, tetapi menyentuh secara langsung kebutuhan dasar masyarakat di akar rumput.
Untuk mewujudkannya, memerlukan optimalisasi penyaluran wakaf uang secara merata kepada kelompok/individu rentan yang berada di garis kemiskinan. Ini sangat memungkinkan bila pemerintah benar-benar serius ingin mengentaskan kemiskinan melalui jalan relegius bernama ekonomi syariah. Di atas itu semua, bukankah menjamin kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah tugas negara yang wajib ditunaikan, sebagaimana amanat konstitusi kita.
Kedua, langkah kultural yang mucul sebagai respon atas realitas sosial yang sedang berlangsung. Islam memiliki perhatian yang besar terhadap berbagai bentuk problem sosial kerakyatan. Bahwa sesungguhnya zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF) adalah konsep-konsep filantropi Islam yang dimaksudkan agar harta benda tidak beredar di antara orang-orang kaya saja (QS. 59: 7). Sungguh mulia cita-cita Islam dalam hal distribusi dan pemerataan harta kekayaan. Ini pula yang berlaku bagi sistem ekonomi syariah.
Cukup banyak peristiwa kelam dalam sejarah Islam yang menunjukkan arti penting berbagi kepada sesama. Kita ingat kisah Qarun, seorang konglomerat yang kapitalistik pada masa Nabi Musa. Atau kisah Tsa’labah, seorang pengusaha muda yang kaya raya pada masa Nabi Muhammad SAW. Keduanya harus menderita secara mengenaskan akibat kesombongan dan keengganannya mendayagunakan harta kekayaannya.
Kesadaran ini perlu dibangun lalu direalisasikan di alam nyata. Sudah saatnya kita, khususnya umat Islam yang berkecukupan, menghayati ajaran ini bila tidak ingin ekonomi syariah terkesan hanya mapan secara kuantitas tetapi sebenarnya masih jauh dari moralitas. Dengan terpenuhinya moralitas, ekonomi syariah akan bisa menyentuh ketimpangan ekonomi dan problem-problem konkrit kerakyatan lainnya di akar rumput. Sebab, pertumbuhan ekonomi nasional tidak akan tercapai tanpa terlebih dahulu menyelesaikan problem konkrit di akar rumput.
Betapa pun ekonomi syariah mencita-citakan tegaknya keadilan serta kemaslahatan bagi semua, tak akan ada artinya bila hanya dielu-elukan sebagai konsep maha suci di antara sosialisme dan kapitalisme, diletakkan di ruang-ruang kuliah, dan dibicarakan di panggung-panggung seminar, tanpa pengamalan serius di alam nyata. Kata pepatah Arab, “lisaanu al-haal afshahu min lisaani al-maqaal” (sesuatu yang nyata dan konkrit itu lebih valid daripada teori dan retorika).