Enam Jalur Pewakafan
Berdasarkan sumber harta benda yang diwakafkan, paling tidak ada enam jalur pewakafan yang potensial ditujukan untuk pelaksanaan agenda reforma agraria. Tentu saja, keenam jalur ini sekedar identifikasi atas berbagai peluang yang berpotensi besar untuk didorong dan dikembangkan. Di luar enam jalur ini bisa saja terdapat peluang-peluang lain yang masih terbuka lebar untuk diupayakan lebih lanjut.
Pertama adalah pewakafan oleh sejumlah petani miskin atas tanah-tanah pertanian gurem yang mereka miliki masing-masing. Pewakafan melalui jalur pertama ini amat sesuai untuk mengonsolidasikan tanah-tanah pertanian gurem agar tidak terfragmentasi lebih lanjut dan agar dapat diusahakan bersama pada skala keekonomian yang lebih rasional dan produktif. Para petani gurem ini difasilitasi agar bersepakat mewakafkan tanahnya kepada badan usaha yang mereka dirikan bersama. Badan usaha ini sekaligus menjadi nazhir yang mengelola dan mengembangkan tanah wakaf hasil konsolidasi tanah gurem ini dan sekaligus memastikan agar distribusi manfaatnya dapat dirasakan secara adil di antara para wakif. [1]
Kedua adalah pewakafan tanah pertanian di bawah batas maksimum oleh pemiliknya untuk menjamin agar tanah itu tetap utuh dan dapat memberikan manfaat yang berkelanjutan kepada keturunannya. Pewakafan melalui jalur yang kedua ini sejalan dengan ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengamanatkan untuk mencegah terjadinya fragmentasi tanah karena proses pewarisan, mempertahankan kesatuan tanah itu seperti keadaannya semula, dan mengupayakan agar tanah itu dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan (Pasal 189). Dalam arti demikian, pewakafan tanah melalui jalur kedua ini termasuk ke dalam kategori wakaf ahli.
Ketiga adalah pewakafan tanah dan harta benda lainnya oleh satu donator utama, baik bersifat perorangan maupun lembaga (organisasi atau badan hukum). Donatur utama ini mewakafkan harta bendanya dalam rangka agenda reforma agraria untuk menjamin akses tanah dan manfaat ekonomi lain bagi para petani miskin yang tinggal sekitar lokasi harta benda wakaf. Wakaf melalui jalur ketiga ini termasuk kategori wakaf khayri karena pemanfaatnya mencakup masyarakat umum dan tidak terbatas pada sanak keluarga wakif semata.
Keempat adalah pewakafan tanah dan harta benda lain dalam rangka agenda reforma agraria melalui mekanisme crowd funding. Hal ini ditempuh misalnya dengan menghimpun zakat mal, infak dan sedekah atau melalui berbagai platform online untuk penggalangan dana publik guna kepentingan sosial. Era digital (revolusi industry 4.0) dewasa ini telah memungkinkan wakaf online untuk penggalangan dana semacam ini. Sebagai misal, teknologi Blockchain akan mempermudah penghimpunan dana wakaf secara online sekaligus melacak sumber-sumber dana wakaf yang sangat berguna dalam akuntabilitas.
Dalam jalur keempat ini, pihak pemrakarsalah yang bertanggung jawab atas pencarian dan pengadan tanah wakaf serta atas desain pengembangan kelembagaan, model pengelolaan dan distribusi manfaatnya. Pihak pemrakarsa di sini bisa bersifat perorangan dan bisa juga lembaga atau organisasi seperti badan amil zakat, organisasi sosial-keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan sebagainya.
Berbeda dari empat jalur pewakafan di atas, dua jalur terakhir ini melibatkan peran pemerintah. Dalam jalur kelima, pemerintah desa dapat didorong untuk menetapkan regulasi lokal (peraturan desa) dan sekaligus mengupayakan pendanaan guna mewujudkan lahan pertanian kolektif milik desa. Lahan kolektif ini dihimpun dari penyisihan aset tanah desa, hibah atau wakaf tanah yang berlokasi di desa bersangkutan oleh pihak ketiga, ataupun pengadaan tanah oleh pemerintah desa dengan menggunakan keuangan desa dan/atau menggalang dana publik. Tanah yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber inilah yang lantas diikrarkan sebagai “tanah wakaf desa” yang ditujukan untuk agenda reforma agraria. Karena dilaksanakan pada skala desa, penggunaan “tanah wakaf desa” ini dapat mencakup kombinasi berbagai jenis tata guna tanah, seperti lahan pertanian pangan abadi dan lahan kering untuk tanaman keras yang manfaatnya dapat diakses oleh warga desa yang membutuhkan. Selain itu juga dapat berupa hutan desa untuk fungsi lindung, embung untuk persediaan air, dan lain sebagainya.
Jalur pewakafan yang keenam adalah integrasi wakaf ke dalam program land reform yang dijalankan pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sayangnya, hingga kini belum tersedia landasan hukum untuk melakukan integrasi semacam ini. Regulasi yang ada menentukan bahwa yang bisa menjadi subyek land reform adalah perseorangan petani. Adapun hak atas tanah yang diberikan adalah hak milik individual, meskipun hal ini bisa diawali dengan hak pakai terlebih dulu selama periode “uji coba”. Namun, seperti telah disinggung di atas, sebagian besar skema land reform semacam ini tidak berkelanjutan karena gagal menjawab tantangan diferensiasi, fragmentasi dan pengambilalihan tanah.
Oleh karena itu, apa yang dapat dilakukan adalah menerima skema di atas sebagai tahap transisi dan selanjutnya mendorong para subyek land reform untuk menempuh jalur pewakafan yang pertama. Untuk memudahkan proses transisi ini, skema “sertifikat bersama” dapat dipergunakan. Skema ini memungkinkan mekanisme distribusi tanah dijalankan bukan menurut bidang-bidang tanah dengan tiap bidang itu dibuatkan sertifikat tersendiri atas nama petani penerimanya. Alih-alih demikian, distribusi tanah dilakukan atas satu hamparan tanah sekaligus yang di dalamnya mencakup sejumlah bidang tanah dengan semua nama pemiliknya dicantumkan dalam selembar “sertifikat bersama”. Semua pemilik tanah yang tercantum dalam “sertifikat bersama” inilah yang didorong untuk bersepakat mewakafkan seluruh hamparan tanah tadi kepada badan usaha yang mereka bentuk bersama-sama. Badan usaha ini sekaligus menjadi nazhir atas tanah wakaf yang berasal dari program land reform pemerintah ini dan memastikan agar distribusi manfaatnya dapat dirasakan secara adil di antara para wakif.
Tidak Terbatas Umat Islam
Menggunakan wakaf sebagai skema pelaksanaan reforma agraria boleh jadi akan menimbulkan keraguan-raguan pada sejumlah kalangan. Salah satu pertanyaan yang kemungkinan besar bakal diajukan adalah menyangkut inklusivitas skema ini. Bukankah wakaf merupakan skema legal dan kelembagaan yang berasal dari hukum Islam? Jika mekanisme wakaf diterapkan, tidakkah hal ini akan membatasi para pelaku dan pemanfaat wakaf hanya di antara umat Islam semata?
Anggapan bahwa wakaf hanya berlaku untuk pemeluk agama Islam sebenarnya tidaklah tepat. Dalam UU No. 41/2004 tidak terdapat satu ketentuan pun yang menyatakan bahwa wakif dan penerima manfaat dari harta benda wakaf harus orang yang beragama Islam. Pasal 8 UU ini mencantumkan hanya empat persyaratan berikut ini bagi wakif perseorangan: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum dan pemilik sah harta benda yang diwakafkan. Sedangkan bagi wakif organisasi dan badan hukum, persyaratannya adalah memenuhi ketentuan anggaran dasar masing-masing untuk mewakafkan harta benda milik organisasi atau badan hukum bersangkutan.
Demikian pula, UU Wakaf tidak memuat satu ketentuan pun yang mencegah masyarakat non-Muslim sebagai penerima manfaat harta benda wakaf. Memang, apabila ikrar harta benda wakaf itu ditujukan untuk sarana dan kegiatan ibadah, maka makna ibadah yang dimaksud di sini adalah menurut agama Islam, misalnya masjid, musholla, pesantren, kegiatan dakwah, dan semacamnya.
Namun, apabila ikrar wakafnya ditujukan untuk bantuan sosial-ekonomi dan/atau kesejahteraan umum, maka penerima manfaatnya dapat mencakup siapa saja yang memenuhi kriteria yang ditentukan dalam ikrar wakaf tanpa pembatasan pada kalangan Muslim semata.
Meski demikian, UU Wakaf memang menekankan dua ketentuan berikut yang harus diindahkan. Pertama, peruntukan harta benda wakaf untuk tujuan di luar ibadah tidak boleh melanggar syariah dan peraturan perundang-undangan (Pasal 22). Kedua, pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, selain harus dilakukan secara produktif, juga harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Apabila yang terakhir ini memerlukan lembaga penjamin, maka harus menggunakan lembaga penjamin syariah (Pasal 43).
Agaknya untuk memastikan kedua ketentuan inilah maka keharusan beragama Islam dipersyaratkan untuk saksi (Pasal 20) dan nazhir (Pasal 10). Saksi dipersyaratkan beragama Islam untuk memastikan peruntukan harta benda wakaf selama proses ikrar wakaf tidak bertentangan dengan syariah. Sedangkan nazhir dipersyaratkan beragama Islam untuk memastikan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf benar-benar dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah.
Terlepas dari dua ketentuan tersebut, peran tenaga ahli untuk terlibat secara operasional dalam usaha pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf tidaklah dilarang, apapun agama yang dipeluknya. Mereka dapat dipekerjakan sebagai tenaga profesional jika keahliannya memang diperlukan untuk mengoptimalkan pengelolaan harta benda wakaf.
Demikiankah, signifikansi wakaf bagi agenda reforma agraria tidaklah berkurang sama sekali oleh dua ketentuan tadi. Seperti telah dijelaskan, skema wakaf sangat membantu dalam mengintegrasikan berbagai aspek pembaruan demi mewujudkan pelaksanaan agenda reforma agraria yang komprehensif. Wakaf memungkinkan pengelolaan harta benda wakaf secara lebih produktif dan berkelanjutan. Wakaf juga dapat menghindarkan ancaman guremisasi tanah akibat proses-proses diferensiasi, fragmentasi dan penggusuran tanah. Wakaf bahkan juga dapat mencegah perubahan penggunaan lahan pertanian, baik dalam bentuk alih komoditas pertanian maupun konversinya ke non-pertanian.
Last but not least, wakaf menumbuhkan etos religius yang kuat pada semua pihak yang berkepentingan dengannya. Etos religius ini bukan saja akan memicu aksi filantropi sosial dan pengelolaan harta benda wakaf secara produktif. Lebih dari itu, juga akan menumbuhkan akuntabilitas yang tinggi karena pengelolaan dan pendayagunaan harta benda wakaf menuntut pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT secara langsung di kehidupan akhirat kelak. []
Catatan
[1] Jalur pertama ini diinspirasi oleh gagasan Prof. Sajogyo mengenai land reform yang justru dikenakan pada golongan petani paling gurem, yaitu yang menguasai tanah pertanian kurang dari 0,2 ha. Tanah gurem ini dikonsolidasi oleh pemerintah (dengan kompensasi) untuk dikelola oleh Badan Usaha Buruh Tani. Lihat: Sajogyo (1976) dan ulasannya oleh Billah et al (1984).
Bahan Bacaan
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi (2011) Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia. Jakarta dan Bandung: Bina Desa, Konsorsium Pembaruan Agraria dan Agrarian Resource Centre.
Billah, MM., L. Widjajanto dan A. Kristyanto (1984) “Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa (Tengah)” dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (penyunting) Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia.
Harmita, Dini, Dewi Dwi Puspitasari Sutejo, Asma Luthfi dan Musahidin (2009) “Penyelesaian Konflik Agraria dan Penanggulangan Kemiskinan melalui Rencana Pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) di Trisobo” dalam Laksmi Adriani Savitri, Mohamad Shohibuddin dan Surya Saluang (penyunting) Memahami dan Menemukan Jalan Keluar dari Problek Agraria dan Krisis Sosial Ekologi. Yogyakarta dan Bogor: STPN Press dan Sajogyo Institute.
Mulyani, Anny, Dwi Kuntjoro, Dedi Nursyamsi, Fahmuddin Agus (2016) “Analisis Konversi Lahan Sawah: Penggunaan Data Spasial Resolusi Tinggi Memperlihatkan Laju Konversi yang Mengkhawatirkan.” Jurnal Tanah dan Iklim, 40(2): 121-133.
Sajogyo (1976) “Kata Pengantar” dalam M. Singarimbun dan D.H. Penny, Penduduk dan Kemiskinan: Kasus Sriharjo di Pedesaan Jawa. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Shohibuddin, Mohamad, Eko Cahyono, Adi Dzikrulloh Bahri (2017) “Undang-Undang Desa dan Isu Sumberdaya Alam: Peluang Akses atau Ancaman Eksklusi? Jurnal Wacana, 19(36): 29-81.
Sirait, Martua (2017) Inklusi, Eksklusi dan Perubahan Agraria: Redistribusi Tanah Kawasan Hutan di Indonesia. Yogyakarta: STPN Press.
Sitorus, MT Felix (2004) “Tiga Jalur Reforma Agraria: Konsep dan Prakteknya di Indonesia, 1960-2004.” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Reforma Agraria: Tantangan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009, Bogor, 14-15 September 2004.
Soetarto, Endriatmo dan Mohamad Shohibuddin (2004) “Menegaskan Kembali Keharusan Reforma Agraria sebagai Basis Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (Agenda untuk Pemerintahan 2004-2009).” Jurnal Pembaruan Desa dan Agraria, 1(1): 9-38.