Wakaf dalam Rangka Reforma Agraria
Ketika dukungan politik dan kebijakan bagi pelaksanaan reforma agraria yang komprehensif masih “jauh panggang dari api”, terobosan keagamaan dalam bentuk wakaf patut untuk dipertimbangkan. Wakaf adalah satu skema alokasi harta benda dan pengelolaannya dalam jangka panjang untuk tujuan-tujuan keagamaan dan sosial-ekonomi yang telah ditentukan oleh pemberi harta benda wakaf (wakif).
UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf mengartikan wakaf sebagai “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut Syariah” (Pasal 1). Harta benda yang diwakafkan mencakup benda-benda tidak bergerak seperti hak atas tanah, bangunan, tanaman dan benda lainnya yang terkait tanah, hak milik atas satuan rumah susun, dan sebagainya. Selain itu, benda-benda bergerak seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual dan hak sewa juga dapat dijadikan sebagai harta benda wakaf (Pasal 16).
Jika ditujukan untuk reforma agraria, harta benda yang dapat diwakafkan mencakup benda-benda tak bergerak yang berperan vital dalam kegiatan pertanian seperti tanah, sumur, embung, saluran irigasi, tanaman tahunan, gudang, dan lain-lain. Selain itu, juga dapat mencakup semua benda bergerak yang mendukung proses produksi pertanian atau yang dapat menjadi sumber pembiayaan pertanian. Hak paten jika terkait dengan pertanian juga bisa diwakafkan untuk diterapkan langsung di dalam produksi pertanian itu sendiri dan/atau di dalam proses pengolahan pasca panen. Jika tidak, maka royalty dari hak paten itu bisa diwakafkan sebagai sumber pendanaan. Semua harta benda ini, karena ditujukan untuk reforma agraria, termasuk kategori wakaf produktif yang diarahkan untuk memajukan ekonomi umat dan/atau kesejahteraan umum.
Wakaf untuk pelaksanaan reforma agraria dimungkinkan karena peruntukan harta benda wakaf memang tidak terbatas pada tujuan ibadah dalam arti sempit semata. Sesuai Pasal 22, harta benda wakaf juga bisa ditujukan untuk membantu fakir miskin, anak terlantar dan yatim piatu serta untuk menyediakan beasiswa pendidikan dan santunan kesehatan.
Selain itu, harta benda wakaf juga dapat ditujukan untuk meningkatkan ekonomi umat dan/atau memajukan kesejahteraan umum dengan cara mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi dari harta benda wakaf tersebut.
Selain dimungkinkan oleh tujuan peruntukan wakaf, agenda reforma agraria yang komprehensif juga amat terbantu oleh model pelaksanaan wakaf itu sendiri. Hal ini karena wakaf menyediakan skema legal dan sekaligus kelembagaan untuk dapat mengintegrasikan beberapa hal berikut terkait tanah dan harta benda lain yang diwakafkan.
Pertama, bentuk-bentuk penggunaan harta benda yang diwakafkan dalam rangka reforma agraria. Sebagai misal, tanah wakaf, sesuai tuntutan kondisi agroekologisnya, dapat ditujukan untuk produksi pangan dalam rangka menjamin subsistensi dan sistem pangan lokal. Atau, untuk produksi komoditas komersial di bidang perkebunan, kehutanan dan perikanan. Atau, bisa juga untuk kombinasi antara usaha pertanian subsisten dan komersial. Bahkan juga dapat ditujukan untuk kepentingan konservasi, misalnya wakaf tanah untuk hutan lindung, demi menjamin keberlanjutan sistem hidrologi dan sistem produksi lokal (bandingkan hutan wakaf di Aceh).
Kedua, manfaat sosial-ekonomi yang diharapkan bisa diberikan dari harta benda wakaf itu. Sebagai misal, tanah yang diwakafkan bisa difungsikan sebagai “lahan pangan bersama” yang dapat dimanfaatkan secara bergilir sebagai hak pakai oleh buruh tani atau petani miskin dengan biaya sewa yang murah atau bahkan tanpa biaya sewa sama sekali. Atau, tanah itu bisa dikelola secara profesional untuk kegiatan agribisnis dengan sebanyak mungkin menyerap tenaga kerja dan input produksi lokal, lalu keuntungannya menjadi dana sosial yang dapat dinikmati oleh para buruh tani dan/atau petani miskin yang membutuhkan.
Ketiga, para pemanfaat (beneficiaries) dari pengelolaan harta wakaf dan hasil-hasil pengembangannya. Sebagai misal, pemanfaat dari pengelolaan akses tanah dan harta benda wakaf lainnya serta keuntungan pengembangannya dapat dibatasi pada sanak keluarga wakif semata (disebut wakaf ahli). Namun, wakif juga dapat menetapkan bahwa pemanfaat itu mencakup pula buruh tani dan petani miskin di luar kaum kerabatnya yang berdekatan dengan lokasi harta benda wakaf (disebut wakaf khayri).
Keempat, pihak yang menjadi nazhir yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf secara produktif serta atas distribusi manfaatnya kepada para pemanfaat yang berhak. Nazhir ini bisa bersifat perorangan (terdiri atas satu atau beberapa orang) dan juga bisa berupa organisasi dan badan hukum. Sebagai misal, nazhir lebih tepat berbentuk koperasi atau badan usaha petani apabila tanah pertanian yang diwakafkan berasal dari gabungan tanah gurem yang dikonsolidasikan.
Keempat poin menyangkut pewakafan harta benda untuk agenda reforma agraria di atas memberikan satu batasan yang mengikat atas tujuan, fungsi, peruntukan dan pengelolaan dari harta benda yang diwakafkan. Batasan semacam inilah yang harus dinyatakan secara jelas oleh wakif secara lisan dan/atau tertulis di depan pejabat yang berwenang.
Inilah yang disebut ikrar wakaf yang menegaskan apa saja kehendak wakif atas harta benda yang diwakafkannya (Pasal 21). Ikrar wakaf ini, begitu telah dinyatakan secara resmi di depan pejabat yang berwenang, tidak dapat dibatalkan lagi (Pasal 3).
Pewakafan harta benda dengan sebuah ikrar wakaf yang sekaligus mencakup empat ketentuan di atas berpotensi besar untuk mewujudkan agenda reforma agraria yang komprehensif. Sebab, keempat hal tersebut mampu mengintegrasikan berbagai komponen pelaksanaan reforma agraria, seperti penataan atas penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah beserta harta benda wakaf lainnya. Selain itu, juga penciptaan atas berbagai jenis manfaat dari harta benda wakaf itu beserta distribusinya di antara para pemanfaat yang telah ditetapkan.
Demikian pula, melalui mekanisme wakaf ini ancaman diferensiasi agraria, fragmentasi tanah dan penggusuran petani juga bisa dihindari. Merujuk Pasal 40, harta benda wakaf tidak boleh dijadikan sebagai jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Hal ini karena harta benda wakaf telah masuk ke dalam ranah res extra commercium sebagaimana diakui oleh UU Pokok Agraria. Ini adalah kategori harta benda yang berada di luar lalu lintas perdagangan dan secara khusus ditujukan untuk kesejahteraan, kebahagiaan dan kepentingan masyarakat luas.
Selain itu, mekanisme wakaf juga dapat menjawab ancaman perubahan penggunaan lahan pertanian, baik untuk alih komoditas pertanian maupun untuk konversinya menjadi non-pertanian. Merujuk Pasal 23, peruntukan harta benda wakaf ditentukan oleh wakif pada saat pelaksanaan ikrar wakaf.
Sekali tanah wakaf diikrarkan untuk reforma agraria dengan penggunaan tanah ditetapkan untuk tanaman pangan, maka peruntukan wakaf semacam ini bersifat final dan tidak dapat dirubah lagi. Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf ini dilarang keras merubah peruntukan harta benda wakaf yang telah dinyatakan dalam ikrar wakaf ini (Pasal 44).
Hal ini tidak berarti bahwa dalam kondisi apapun perubahan status dan peruntukan harta benda wakaf tidak dapat dilakukan sama sekali. Pasal 41 mengatur kemungkinan semacam itu, yakni dalam situasi ketika harta benda wakaf harus digunakan untuk kepentingan umum sesuai ketentuan Rencana Umum Tata Ruang dan tidak bertentangan dengan syariah.
Namun, pelaksanaan perubahan ini hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Agama atas persetujuan dari Badan Wakaf Indonesia. Harta benda wakaf yang status dan peruntukannya diubah ini wajib diganti dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukarnya sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.