Stadion Gelora Delta Sidoarjo menjadi saksi sejarah dihelatnya resepsi akbar dan perayaan puncak Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU). Tema yang diangkat adalah Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menjemput Abad Kedua Menuju Kebangkitan Baru. Tema tersebut merefleksikan peran dan proyeksi serta agenda NU ke depan dalam menyambut gerak perubahan zaman yang demikian pesat.
Peran dan kontribusi NU selama Satu Abad tak dapat dipungkiri dalam merawat jagad dan membangun peradaban. Peran dan kontribusi NU tersebut dapat dicermati dari empat fase penting peristiwa kesejarahan yang dilewatinya. Dari fase pra kemerdekaan, pasca kemerdekaan, reformasi hingga era digital saat ini. Sebuah perjalanan yang panjang (long journey) bagi organisasi sosial keagamaan ini dalam percaturan dan perkembangan pemikiran Islam di Indonesia.
Pertama, fase pra kemerdekaan NU dihadapkan pada situasi sosial politik yang tidak menentu dan hilangnya tonggak kepemimpinan tunggal dalam sistem pemerintahan pada masa itu. Sistem khilafah yang digadang-gadang menjadi sistem pemerintahan satu-satunya diganti oleh Bapak Turki Modern, Mustafa Kemal Ataturk pada 1924. Dinasti Turki Utsmani yang menjadi rujukan dan pegangan umat Islam tenggelam dalam perputaran roda zaman. Umat Islam kemudian berkenalan dengan sistem politik dan pemerintahan yang kini kita kenal sebagai negara bangsa (nation state).
NU pada masa itu dihadapkan pada pilihan antara menerima dan menolak sistem politik yang baru dan berasal dari Barat tersebut. Para Ulama NU bukanlah para intelektual yang hanya berdiri di atas menara gading tekstualitas rujukan keislaman yang tetap dan stagnan itu (al-tsawabit). Tetapi, mereka adalah intelektual yang mampu mencermati dan menangkap spirit zaman yang terus berubah dan dinamis (al-mutaghayyirat). Meski khilafah telah dihapus, mereka menyadari bahwa khilafah bukanlah satu-satunya sistem pemerintahan yang “direstui” oleh Islam. Dan pendapat mereka ternyata diafirmasi baik oleh Islam sendiri maupun fakta sosial kemanusiaan yang menyuguhkan beragamnya sistem pemerintahan yang digunakan oleh umat Islam.
Dari model musyawarah (syura) pada masa pemilihan Khalifah Abu Bakar (632-634 M), penunjukan pada Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M), tim formatur pada masa Utsman bin Affan (644-650 M), mediasi dan pertikaian politik pada masa Ali bin Abi Thalib (655-660 M), kerajaan (mamlakah) pada masa Dinasti Umayyah (661-750 M) dan Abbasiyah (750-1250 M) hingga era Khilafah Turki Utsmani (1281-1924 M). Inilah fakta sosial yang menjadi pertimbangan para ulama NU untuk mencari terobosan dan inovasi baru tentang sistem pemerintahan yang relevan bagi umat Islam. Dan itu terdapat pada negara bangsa (nation state).
Kedua, pada era pasca kemerdekaan sebagian umat Islam di Indonesia masih tergiur dengan romantisme khilafah atau negara Islam. Ini terlihat dari keinginan mereka menjadikan Piagam Jakarta sebagai “dalil agama” untuk mendirikan negara Islam. Perdebatan antara kalangan nasionalis sekuler dan kalangan Islam tersebut yang mencapai titik nadir perpecahan anak bangsa akhirnya mereda dengan adanya ketidaksetujuan sebagian elemen bangsa yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah keikhlasan dan kerelaan para intelektual Islam untuk mencari titik temu antara dua kubu yang bertikai tersebut. Titik temu tersebut adalah pada penerimaan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia yang dapat mengayomi segenap elemen bangsa yang plural dan majemuk ini.
Penerimaan terhadap Pancasila ini dikukuhkan lagi pada Muktamar NU di Situbondo pada 1984. Pancasila sebagai asas tunggal dalam berbangsa dan bernegara tidak bertentangan dengan Islam. Dalam sila-sila Pancasila tidak ada satu pun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan sebaliknya, nilai-nilai Pancasila tersebut sejalan dengan maksud dan tujuan syariat Islam (maqasid al-syariah). Inilah yang diperjuangkan oleh KH Ahmad Shiddiq Jember sebagai Rais Syuriah NU dan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfidziyah NU kala itu.
Ketiga, pada era reformasi NU memasuki babak baru dalam percaturan pemikiran Islam di Indonesia. Kran demokrasi yang dibuka lebar-lebar dan hampir tanpa batas (unlimited) itu membuat NU menemukan pesaing-pesaing baru (new competitor) dalam mendakwahkan Islam di Indonesia. Munculnya ormas-ormas Islam gaya baru seperti Laskar Ahlussunnah wal-Jamaah, Laskar Jihad, Fron pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Anshrut Tauhid (JAT), Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan lain-lain menjadikan perkembangan dan dinamika Islam di Indonesia semakin menarik untuk dicermati.
Menjamurnya beragam ormas keagamaan tersebut yang seringkali mendakwahkan Islam dengan cara kekerasan dan pemaksaan membuat NU merasa bertanggungjawab untuk meluruskannya. Dalam pandangan NU, Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Keselamatan dan perdamaian bagi seluruh semesta. Islam datang tidak dengan memukul, tetapi merangkul. Islam hadir di bumi Tuhan untuk saling menghargai dan bukannya membenci. Mengenalkan Islam tidak dengan paksaan dan kebencian, tetapi dengan kasih sayang dan kecintaan.
Keempat, dan kini, NU memasuki era baru yang dikenal sebagai era 4.0 yang ditandai dengan meledaknya kecanggihan teknologi di berbagai aspek kehidupan umat. Kecanggihan teknologi dengan ragam varian dan aplikasinya—Facebook, IG, WhatsApp, Twitter, dan sebagainya—menjadikan NU harus mampu merengkuhnya dan menggunakannya sebagai media dakwah dalam memarketkan Islam yang santun, damai dan menyejukkan.
Dunia seakan tak pernah lelah memberi kejutan bagi umat manusia. Gegap gempita era 4.0 tak berapa lama diiringi dengan munculnya istilah society 5.0 yang ditandai dengan masifnya umat manusia menggunakan IT sebagai basis pergerakan kehidupannya. Roda kehidupan umat manusia seperti berada dalam genggaman IT yang ada ditangannya. Ragam fitur dan aplikasi super canggih mampu menggerakkan umat manusia dalam satu tarikan napas perubahan sosial.
Salah satu buktinya adalah pada puncak resepsi Satu Abad NU di lapangan Stadion Gelora Delta Sidoarjo. Dengan memanfaatkan ragam fitur dan aplikasi super canggih, warga Nahdliyyin berdatangan untuk menghadiri peristiwa akbar tersebut. Ini membuktikan bahwa IT mampu membawa perubahan yang signifikan dalam kehidupan riil umat manusia.
Pasca ditabuhnya “beduk digital” oleh Presiden Joko Widodo pada puncak perhelatan akbar Satu Abad NU tersebut, organisasi sosial keagamaan yang sering dicap sebagai kaum sarungan itu kini telah memasuki medan tempur yang baru dan canggih. Era 4.0 dan society 5.0 membuat NU harus mampu merumuskan paradigma baru dan strategi dalam berdakwah dan menebarkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Dalam pandangan Thomas S. Kuhn (1922-1996 M), seorang filsuf, fisikawan, dan sejarawan Amerika Serikat dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions (1962) yang sangat berpengaruh dalam dunia akademik, NU harus menciptakan apa yang disebutnya sebagai pergeseran paradigma (shifting paradigm) dalam berdakwah dan menyikapi realitas sosial kemanusiaan yang berkembang sangat pesat. Pergeseran paradigma (shifting paradigm) merupakan sebuah keniscayaan dan keharusan jika tak ingin NU dilibas oleh derasnya arus perubahan zaman.
Mencermati situasi dunia kekinian yang tak menentu akibat konflik dan perang yang tak berkesudahan, NU telah bergerak aktif dengan menggelar halaqah Fikih Peradaban di berbagai ratusan pesantren di Indonesia. Dari rangkaian halaqah tersebut nantinya dapat dihasilkan sebuah rekomendasi tentang pentingnya perdamaian dunia. Hal ini dapat diusulkan pada Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unite Nations) yang Indonesia merupakan salah satu anggotanya. Inilah salah satu awal peran dan kontribusi NU di tingkat global jelang Abad kedua beberapa waktu lalu.
Sambutan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Yahya Cholil Staquff yang menggelegar di acara puncak Satu Abad NU tentunya disimak oleh masyarakat dunia dalam “satu klik” canggihnya IT. Masyarakat dunia kini tengah menunggu aksi nyata NU di pentas global. Situasi dunia yang berubah dalam hitungan detik, menit, hari, dan bulan dalam genggaman IT menuntut respon cepat (fast respons) dari NU untuk menunjukkan aksinya dalam penyelesaian persoalan-persoalan kemanusiaan.
Alam semesta (The Universe) menyambut kehadiran NU yang kini memasuki abad keduanya. NU, selamat datang di Abad Kedua-mu. Dunia menunggu kerja keras dan karya-karya bernasmu di kanvas peradaban global dunia.