Menurut catatan Ibn al-Jauzi dalam kroniknya, al-Muntazham fi Tarikh al-Muluk wa-l-Umam, Syekh Abu Hamid al-Ghazali meninggal dunia pada hari Senin, 14 Jumadal Akhirah tahun 505 Hijriah. Dalam kalender Masehi, ini berarti tanggal 18 Desember 1111. Hari ini, di tahun 2020, semestinya merupakan haul ke-909 sang Hujjatul Islam.
Mengenang al-Ghazali lebih dari 900 tahun setelah ia wafat mengingatkan saya pada aforisme dari Pramoedya Ananta Toer bahwa menulis adalah “bekerja untuk keabadian.” Sekarang ini, Thus-Thabaran, kota kelahiran al-Ghazali, sudah menjelma sebagai kota mati. Yang tersisa dari kota besar di masa lalu ini tinggal puing-puing batu di tengah padang mahaluas.
Makam Mahaguru Madrasah Nizhamiyyah ini tak dapat diketahui. Pemerintah Iran baru-baru ini mengekskavasi reruntuhan sebuah mausoleum di pinggiran kota Thus yang diyakini sebagai makam al-Ghazali. Di abad ke-19, mausoleum ini secara keliru disebut Haruniyyah, makam Harun ar-Rasyid, yang sebenarnya dikuburkan di Masyhad, kota tetangga Thus, di dekat makam Imam ‘Ali ar-Ridha.
Karena dokumen-dokumen pribadi yang andal tidak dapat kita temui dan cerita-cerita yang dituturkan oleh keluarga atau murid-murid langsungnya tak bisa kita simak, kita hanya bisa tahu tentang riwayat hidup al-Ghazali secara garis besar saja. Karena itu pula, tuturan-tuturan tentang perjalanan hidup sang Danisymand dalam kitab-kitab kronik sarat dengan legenda yang sulit ditelusuri kebenarannya.
Tapi karya-karyanya abadi dan terus dibaca sampai sekarang. Kitab-kitab fikihnya, al-Wajiz, al-Basith, dan al-Wasith, menjadi fondasi bagi kitab-kitab fikih paling otoritatif dalam sejarah mazhab Syafi’i: al-Muharrar karya ar-Rafi’i dan Raudhat ath-Thalibin karya an-Nawawi. Ihya’ ‘Ulum ad-Din, karya utamanya dalam tasawuf, terus dibaca, diringkaskan, diberi syarahan, dan diparafrasekan bahkan oleh musuh-musuh intelektualnya.
Gema al-Ghazali tidak cuma terasa di Dunia Islam. Karya-karyanya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan bahasa Ibrani oleh para cendekiawan Kristen dan Yahudi. Kita bisa menyebut Tahafut al-Falasifah, Maqashid al-Falasifah, Misykat al-Anwar, bahkan beberapa pasase dari kitab-kitab fikih dan tasawufnya tersedia buat dibaca oleh kaum terpelajar Eropa di masanya.
Dalam otobiografi spiritualnya, al-Munqidz min adh-Dhalal, al-Ghazali bercerita bahwa saat ia didesak oleh wazir Fakhr al-Mulk untuk mengajar kembali di Madrasah Nizhamiyyah setelah sekian lama menempuh jalan Sufi, ia berkonsultasi kepada “mereka yang memiliki mata batin” (arbab al-qulub wa-l-musyahadat). Terlepas dari keengganannya untuk kembali mengajar, mereka semua mendesaknya untuk meninggalkan ‘uzlah dan kembali mengajar. Mereka mengatakan bahwa tindakan ini akan menjadi “awal kebaikan dan petunjuk yang Allah takdirkan di awal abad ini” (mabda’ khair wa rusyd qaddara-hu Allah Ta’ala ‘ala ra’si hadzihi al-mi’ah).
Dilihat secara retrospektif 900 tahun lebih setelah al-Ghazali wafat, kita bisa melukiskan bahwa pengaruh besar al-Ghazali di Dunia Islam secara khusus dan semesta intelektual secara umum bukan karena ia mengajar di Madrasah Nizhamiyyah yang prestisius di zamannya, tapi karena posisinya di universitas ini membuatnya dapat menulis buku-buku otoritatif yang akan terus dibaca dan diriwayatkan oleh sekian banyak murid yang memiliki sanad keilmuan yang senantiasa bersambung kepadanya.
Menulis adalah “bekerja untuk keabadian.” Bagi al-Ghazali, ini berarti menulis buku-buku yang dapat dituturkan oleh mata rantai murid yang membentang mulai dari Baghdad, Nisyapur, Damaskus, Afrika Utara, hingga Spanyol. Perannya sebagai “pembaru Islam di abad ke-5 Hijrah” didapat karena pengaruh buku-bukunya ini. Al-Fatihah!