Sedang Membaca
Novel Kubah dan Ronggeng Dukuh Paruk dalam Kacamata Gus Dur
Malik Ibnu Zaman
Penulis Kolom

Penulis Lepas. Sila bersapa di akun twitter: @MalikIbnuZaman2 dan IG: malik_ibnu_zaman

Novel Kubah dan Ronggeng Dukuh Paruk dalam Kacamata Gus Dur

Novel Kubah dan Ronggeng Dukuh Paruk Dalam Kacamata Gus Dur

Dari sekian banyak novel karangan Ahmad Tohari, dua di antaranya berjudul Kubah dan Ronggeng Dukuh Paruk. Lalu seperti apa sih kedua novel tersebut dalam kacamata KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

“Pada tahun 1981 novel saya yang berjudul Kubah, itu dinyatakan sebagai novel terbaik oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat itu yang menjadi menteri adalah Daud Yusuf. Pak Daud Yusuf, dia ini intelektual yang saya kira beraliran sosialis,” ujar Ahmad Tohari pada tayangan https://youtu.be/Hy0VHKwvMPY

Novel Kubah bercerita tentang tokoh yang bernama Karman yang baru kembali pulang dari tahanan politik di Pulau Buru. Penghargaan novel tersebut dimuat di koran, dan Gus Dur membaca berita tersebut, lalu Gus Dur memerintahkan seseorang untuk menghubungi Ahmad Tohari.

“Kemudian saya ngobrol, tapi waktu itu Gus Dur sambil memberi pujian terhadap novel itu, juga sekaligus menyampaikan kritik-kritiknya. Dia mengatakan bahwa novel ini bisa menjadi inspirator bagi persatuan kembali atau rekonsiliasi antara warga NU dan bekas orang-orang komunis di Indonesia, khususnya di Jawa Timur,” ungkap Ahmad Tohari.

Lebih lanjut lagi Ahmad Tohari mengatakan bahwa secara umum Gus Dur mengatakan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk bisa menginspirasi warga khususnya NU untuk menerima kembali orang-orang komunis yang pulang dari tahanan. Sementara itu Gus Dur mengkritik bahwa novel tersebut gaya kepenulisannya buruk, sebab terlalu datar, terlalu datar tidak ada ketegangan, tidak ada permainan emosi, dan sebagainya.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (7): Inilah Buku Terbaru Tentang Wahabi Berbahasa Indonesia

“Saya mengakui iya, karena itu kan sebetulnya novel saya yang kedua, setelah di Kaki Bukit Cibalak, seperti itu,” ucapnya.

Menurutnya mengapa novel karyanya diberikan nama Kubah, karena Karman tokoh komunis ini pulang dari Pulau Buru, kemudian diterima oleh seorang tokoh desa yang namanya Haji Bakir. Haji Bakir memimpin orang kampung supaya menerima Karman, karena banyak desa yang menolak kembalinya orang komunis ke kampung.

“Kenapa harus diterima? Dalilnya adalah tuhan saja mengampuni, masa kita nggak mengampuni. Innallaha Ghofururrohim, jadi saya pakai dalili itu untuk menerima kembalinya Karman. Nah karena Karman di Pulau Buru diberi keterampilan mengelas, maka ketika pulang oleh Haji Bakir dia diminta membantu membuat kubah masjid. Nah itulah makanya namanya kubah,” jelasnya.

Menurutnya kubah adalah simbolik dari keimanan, keislaman. Bahwa semula yang komunis, atheis, lalu dengan membuat kubah tersimbolkan pulangnya atau kembalinya iman, islam kepada Karman.

Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Menurut penuturan penuturan Ahmda Tohari, Gus Dur ke mana-mana selalu membawa novel Ronggeng Dukuh Paruk. Secara tidak langsung Gus Dur mempromosikan Novel Ronggeng Dukuh Paruk.

“Jadi Gus Dur itu sering membawa novel Ronggeng Dukuh Paruk ke mana-mana, ke pesantren-pesantren untuk dikatakan di depan umum. Novel ini judulnya Ronggeng Dukuh Paruk, tetapi Penulisnya Orang NU, orang kita, nah gitu,” ujar Ahmad Tohari.

Baca juga:  Perang Dalam Kacamata Lain

Lebih lanjut lagi Ahmad Tohari menceritakan bahwa hal tersebut membuat banyak Kyai datang untuk menemuinya, menanyakan mengapa judulnya harus Ronggeng. Awalnya dirinya diam saja, karena semakin banyak yang bertanya, maka diberikan jawaban.

“Lahuma fissamawati wamafil ard, padahal di situ ada sesuatu yang menggelisahkan, karena disebut apa yang ada di langit, dan apa yang ada di bumi itu lahu kepunyaan Allah. Nah kalau kita memahami hal-hal yang baik keindahan, lalu kesalehan, kedermawanan, manusia yang baik- baik milik Allah itu ya mudah sekali kita menerimanya. Tapi bahwa yang buruk-buruk pun misalnya maling, koruptor, pelacur, dan ronggeng itu milik siapa kalau bukan milik Allah,” ungkapnya.

Ahmad Tohari mengatakan bahwa dalam novel tersebut dirinya ingin agar kita seharusnya menerima kebaikan, hal-hal yang baik sebagai ayat tentang kebaikan. hal-hal yang buruk, yang maksiat, yang jelek-jelek juga ayat, itu juga ayat yang harus dipahami untuk dihindari.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top