Apabila teman-teman berkumpul dan perbincangan sesuatu yang ada kaitan dengan budaya Jawa, ingatan langsung tertuju pada sosok Rama Sur yang meninggal pada 17 Juli 2007. Seperti baru saja terjadi kemarin. Sebelas tahun setelah wafatnya, kesan lintasan itu muncul kembali. Seorang putra mantan bupati Bojonegoro yang meninggalkan keprabon untuk menjadi sang kelana.
Dialah RPA Suryanto Sastroatmodjo mantan wartawan harian Bernas dan budayawan Yogyakarta, teman dekat lebih akrab menyebut Rama Sur. Kenapa jabatan dan posisi strategis tinggal menempati ditolak mentah-mentah. Keluarga mengharap untuk masuk singgasana, dan selembar ijasah hanya sebagai tanda bakti kepada orangtua. Inilah pengakuan yang menggelegar, “Aku tak peduli dengan jabatan, aku ingin meneruskan tradisi kapujanggan”.
Sejak itu Rama Sur menulis dan menulis terus sampai maut menjemput. Banyak media yang memuat tulisannya baik cetak maupun elektronik. Berbahasa Jawa dan Indonesia, walau karya berbahasa Indonesia tetapi aroma tetap kental dengan nuansa Jawa. Karyanya berbentuk cerkak, puisi, esei, novel dan lain-lain.
Beberapa di antaranya sudah dibukukan: Sang Bocah, Palguning Palguna, Balada Lintang, Pada Sebuah Musim, Sayap-Sayap Merpati, Selawat Langit, Jayengbrata Lelana dimikrofilmkan oleh KIVTL (Koninklijks Instituut Voon de Taal-land en Volkunde) di Leiden, Belanda.
Menurut Rama Sur sendiri yang diterbitkan ada 82 judul buku dan yang terakhir tiga judul oleh penerbit Narasi di Yogyakarta: Manusia Samin, Siapakah Mereka?, Citra Diri Orang Jawa, dan Tragedi Kartini. Dengan julukan “kamus berjalan” memang ada benarnya.
Karena kutu buku atau ada faktor yang lain, tak ada yang tahu. Ketika masih di harian Bernas, mengasuh rubrik “Bokor Kencana” rubrik tanya jawab masalah sastra budaya Jawa yang muncul setiap hari Selasa dan kolom “Sampur Mataram” dialog keseharian yang muncul setiap hari Minggu dengan tema lokal dan nasional dengan pelaku-pelaku orang di sekitar lingkungannya.
Tapi cobalah menanyakan sesuatu, pasti akan dijawab dengan panjang-lebar dan jelas bahkan bisa dijawab dengan lintas disiplin ilmu lain dengan sangat detail. Memang Rama Sur sudah larut dengan kebudayaan Jawa dengan seutuhnya, selain mempelajari, meneliti, juga menjalani ajaran leluhur yang ada dalam adat Jawa. Tidak berlebihan karena sejak muda sudah senang lelana brata. Ada rasa kebatinan Jawa yang diwartakan oleh Rama Sur.
Ada kalimat dalam tulisan-tulisan Rama Sur yang sulit dicari dalam bausastra yang sudah ada, tetapi bukan berarti tulisannya tanpa makna dan itu sejatinya karya seni. Seperti mantra, apa kita harus mengerti kalimat-kalimat yang tertuang dalam tulisan? Kenyataannya kita tetap bisa merasakan makna yang tersirat lewat suasana yang muncul lewat rangkaian kalimat sastrawi yang berkumandang. Karya sastra itu memang unik; karena pengalaman dan dalamnya wawasan antara penulis dan yang ditulis. “Kebatinan Suryanto Sastroatmojo dalam Layang Pangentasan” (Bonari Nabonenar).
Sebagai pelaku budaya Jawa Rama Sur memposisikan diri dalam dua bentuk: mempertahankan dan mengembangkan.
Bentuk pertahanan, tradisi yang ada tetap dijalankan misal; mubeng beteng, lelaku kungkum, dan ziarah ke tempat-tempat yang bersejarah. Bentuk pengembangan, menggali khazanah-khazanah ilmu yang belum terungkap lewat tulisan-tulisan yang di kirim ke media cetak maupun elektronik. Dialog langsung lewat seminar, ceramah, dan macapat.
Tetapi pengaruh dari luar pasti ada, bisa juga dari lingkungan sendiri. “Mbok sudah yang praktis-praktis saja”, begitu cibiran yang sering menerpa. Tentu saja semua ini membutuhkan pikiran, tenaga, waktu, dan taruhan jiwa-raga yang luar biasa. Kegiatan yang di lakukan tidak hanya sebatas penganut kejawen saja. Tetapi siapa saja bebas dan boleh ikut mengambil bagian, bahkan Rama Sur larut dan melarutkan diri dalam segala situasi dan kondisi.
Kadang mendatangkan atau mendatangi berbagai paguyuban dan forum lintas agama. Tetap hadir tanpa beban. Ada nilai-nilai yang ditawarkan lewat berbagai tulisannya dan di forum pertemuan. Seakan-akan lembut, sejuk, penuh kedamaian, bagai taman surgawi. Tetapi kehidupan keseharian sangat kontras sekali. Bayangan kita rontok! hidupnya semrawut, kumuh, lethek, dan ra karuan. Teman-teman dekat sudah mengingatkan. Tapi ya gitulah.
Mungkin dialah “custodian” satu-satunya penjaga benteng terakhir sastra-budaya Jawa lengkap dengan segala tetek-bengek mistiknya. Segala duka-nestapa ternyata ada yang memperhatikan, setidaknya lewat beberapa penghargaan yang di terima, di antaranya: tercatat dalam penulis etnis di ”The International Who”s Who of Intelectual dari International Biographical Centre, Cambridge, England (1990), Bintang Emas Budaya dari Pusat Budaya Jawa Surakarta (1995), Anugerah seni dari Pemda DIY(1996), Personalities of the World versi America Biographical Institute Stylist (1997), mendapat jabatan Bupati Kapujanggan KRT Suryopuspo Hadinegoro dari Susuhunan Pakubuwono XII di keraton Surakarta atas jasanya sebagai pengkaji sastra keraton Jawa dari abad 18-19 (dari zaman Kartasura sampai perjanjian Giyanti), menjadi ketua komite sastra Dewan Kesenian Kota Yogyakarta, mendapat penghargaan sastra Rancage (2005). Dan masih ada beberapa penghargaan lain yang belum sempat di data.
Pesan Rama Sur untuk generasi muda mengenai seni-budaya, bahwa bidang ini akan mengantar anak didik untuk mengalami proses pendewasaan secara bertahap, kekuatan simbol-simbol dalam kebudayaan akan menumbuhkan daya tangkap dan daya tanggap yang kuat atas dirinya, ia akan memperoleh peluang untuk mengintegrasikan segenap pengalamannya.
Sejalan dengan inilah Rama Sur tiada jemu menumbuhkan kesadaran berseni-budaya kepada generasi muda. Demikianlah perjuangan Rama Sur dalam mempertahankan dan mengembangkan sastra-budaya Jawa yang perlu kita teladani bersama.