Bagi saya, Gus Dur adalah sosok yang unik sekaligus kontroversial. Nama beliau telah menyejarah dalam rentang perjalanan bangsa Indonesia sejak reformasi hingga detik ini. Di artikel pendek ini, saya ingin berbagi sedikit cerita tentang kepribadian Gus Dur yang saya temui setelah membaca buku Prof. Azyumardi Azra (selanjutnya dipanggil: Prof. Azyu) berjudul “Menggapai Solidaritas: Tensi antara Demokrasi, Fundamentalisme, dan Humanisme”. Buku ini terbit tahun 2002 lalu oleh Pustaka Panjimas.
Buku itu tanpa sengaja saya peroleh saat setelah menikmati makan malam di warung padmanaba, tepat di depan SMA Negeri 3 Yogyakarta. Warung itu menjual nasi goreng yang sangat nikmat rasanya, sudah sangat terkenal di Yogya. Setelah makan malam, tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang bapak menawarkan beberapa buku kepada saya. Diantara beberapa buku itu ialah buku Prof. Azyumardi Azra ini. Bapak itu menawarkan kepada saya, “Buku ini menarik… monggo dibeli se-ikhlas-nya aja”. Oh ya, tanpa pikir lama, saya langsung menyanggupi tawaran bapak itu dan langsung membelinya.
Saat tiba rumah, saya kemudian letakkan buku itu di rak. Dua hari saya tinggalkan buku itu, tidak menyentuhnya sama sekali. Namun, lama kelamaan saya penasaran juga dengan isinya. Apa yang sebetulnya dibahas Prof. Azyu dalam buku itu? Pas saya buka, ternyata ada satu bagian menarik dari tulisan Prof. Azyu mengenai sosok Gus Dur. Prof. Azyu memberi judul pada bagian itu adalah “Ironi Demokrasi Gus Dur”. Spontan dalam benak saya, mungkin ini pertanda saya harus menulis topik mengenai Gus Dur.
Buku itu merupakan hasil kumpulan tulisan Prof. Azyu mengenai situasi reformasi kala itu. Oleh penerbit, buku itu dibagi ke dalam lima bagian yakni: Ujian Demokrasi, Fundamentalisme Islam, Ironi Demokrasi Gus Dur, Unifikasi Parpol Islam, dan Kemanusiaan Lintas Agama. Dari lima bagian tersebut, saya sangat tertarik pada bagian ironi demokrasi Gus Dur. Di bagian ini, Prof. Azyu tampak – kalau bisa dikatakan – “kewelahan” memahami gaya politik Gus Dur yang waktu itu menjabat sebagai presiden Republik Indonesia pasca reformasi 1998. Pada bagian tersebut, saya ingin bercerita agak panjang karena dalam ulasan Prof. Azyu terkesan ada unsur guyonannya, keresahannya, dan usahanya memahami Gus Dur.
Satu kata yang paling sering dilontarkan Prof. Azyu pada sosok Gus Dur ialah “kontroversial”. Prof. Azyu dengan tegas menulisnya begini, “Sekali lagi… Abdurrahman Wahid membuktikan diri sebagai presiden paling kontroversial dalam sejarah Indonesia merdeka”. Mengapa bisa begitu? Dijelaskan Prof. Azyu, salah satu buktinya ialah saat Gus Dur mencabut Tap MPRS Nomor 25 tahun 1966 terkait larangan ideologi Komunisme, Marxisme, dan Leninisme dari bumi Indonesia tanpa menjelaskan mengapa hal itu dilakukannya.
Itulah yang kemudian membuat banyak orang menduga bahwa Gus Dur telah membangkitkan kembali ajaran yang dilarang pemerintah Orde Baru pasca G30S/PKI tahun 1965 lalu. Selain itu, banyak pihak juga menduga bahwa dengan dicabutnya Tap MPRS Nomor 25/1966 tersebut, maka Gus Dur akan berhadapan secara oposisional dengan ABRI atau TNI. Kita semua tahu bahwa TNI (saat itu disebut: ABRI) sangat anti dengan “kebangkitan” PKI, sehingga dengan pencabutan Tap MPRS tersebut maka Gus Dur sudah vis a vis dengan TNI/ABRI. Prof. Azyu agak “kewelahan” memahami keputusan Gus Dur tersebut.
Namun, belakangan baru diketahui melalui acara Kick Andy di Metro TV, ditanya oleh Andy F. Noya mengapa Gus Dur mencabut Tap MPRS tersebut? Apakah Anda (Gus Dur) tidak takut PKI akan bangkit kembali? Jawaban Gus Dur sederhana sekaligus kontroversial, “Siapa takut kalau PKI bangkit kembali (?)”, spontan jawaban ini langsung disambut tawa dari para penonton yang hadir di acara itu (bahkan saya yang menontonnya melalui YouTube juga sempat tertawa). Gus Dur tampak menganggap semua yang dilakukannya biasa-biasa saja, “gitu aja kok repot” katanya, meski banyak orang menganggap tindakan itu tidak biasa.
Dalam benak saya, sikap Gus Dur mencabut Tap MPRS tersebut sebagai bukti konsistensi pemikirannya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Mungkin, Prof. Azyu sudah memahami maksud Gus Dur itu, tapi kemungkinan Prof. Azyu hendak ingin mengingatkan Gus Dur bahwa sikap seperti itu “belum saatnya” diterapkannya. Meski demikian, semua sudah terjadi dan sikap Gus Dur itu yang oleh Prof. Azyu menjulukinya sebagai politisi par excellence (sulit ditebak).
Sejak Soeharto masih memegang tampuk kekuasaan, gaya politik Gus Dur memang terkesan selalu unpredictable, kontroversial. Sulit ditebak banyak orang, sekaligus membingungkan. Manuver-manuver politik Gus Dur yang unpredictable ini oleh Prof. Azyu menganggapnya sebagai isyarat posisi mistisnya sebagai waliyullah. Di kalangan NU, kemampuan itu dikenal sebagai ilmu laduni. Hal ini yang membuat Gus Dur sangat piawai, ulung, tangguh dan visioner membaca arah politik Indonesia jelang Sidang Umum MPR tahun 1999 yang kemudian mengantarkannya terpilih menjadi presiden Republik Indonesia. Gus Dur, politisi par excellence, sulit dipahami dan ditebak manuver politiknya.
Saking sulitnya memahami manuver Gus Dur, sampai-sampai Prof. Azyu harus menggunakan pendekatan psikologi untuk memahaminya. Pada salah satu tulisannya mengenai hal itu, Prof. Azyu memberi judul “Psychohistory Gus Dur”. Untuk memulai argumentasinya, Prof. Azyu mengawali tulisannya begini, “Sepanjang kenangan kolektif bangsa dan pembacaan kita atas sejarah, agaknya tidak ada presiden Indonesia yang sangat sulit dipahami banyak orang, kecuali presiden Abdurrahman Wahid. Berbagai diskusi dan seminar bertajuk Memahami Gus Dur telah diadakan, tetapi tetap saja belum berhasil memahami sang presiden”. Saat saya membaca tulisan ini, dalam hati saya, kok bisa begitu ya. Sulit tenan rupanya memahami Gus Dur.
Poin utama dari kesulitan banyak orang memahami Gus Dur ialah karena karakternya sangat multidimensi sekaligus kontradiktif. Karakter Gus Dur yang multidimensi ini ialah karena ia bukan hanya sebagai presiden, tapi juga aktivis HAM dan prodemokrasi, serta kiai atau ulama. Hal ini yang membuat banyak orang kewelahan memahami maksud Gus Dur, apakah pernyataan yang dilontarkannya merupakan pendapat dari seorang presiden ataukah aktivis HAM ataukah kiai (?). Dalam pribadi Gus Dur terdiri dari multi-identitas (baik sebagai aktivis, kiai atau ulama, politisi, dan presiden), sehingga setiap pernyataan Gus Dur sulit ditebak arahnya ke mana.
Saking sulitnya memahami karakter Gus Dur itu, Prof. Azyu kemudian menggunakan pendekatan psychohistory ini. Pendekatan ini dicetuskan oleh ilmuwan psikologi ternama, Erik Erikson, salah satu pakar psikoanalisis yang paling terkenal dengan teori perkembangan psikososial. Pendekatan psychohistory tersebut biasa digunakan para ilmuwan untuk memahami arah gerak sejarah melalui pendalaman pada sosok/karakter seorang tokoh yang menggerakkan sejarah tersebut. Dalam konteks ini, tokoh yang berusaha dipahami Prof. Azyu ialah Gus Dur, dimana ia merupakan sosok/pelaku yang turut menggerakkan sejarah Indonesia saat dan setelah reformasi.
Melalui pendekatan psychohistory, Prof. Azyu sampai pada sebuah kesimpulan bahwa setiap tindakan Gus Dur yang terkesan kontroversial itu sebetulnya punya tujuan tersendiri yakni agar beliau dapat dikenang atau “immortal”. Tujuan Gus Dur untuk immortal ini dilatarbelakangi bayang-bayang kematian yang selalu menghampirinya di sepanjang hidupnya. Bayang-bayang kematian itu dimulai saat Gus Dur menemani ayahnya berpergian tapi na’as mengalami kecelakaan yang kemudian membuat ayahnya meninggal dunia di usia relatif muda, 39 tahun. Setelah itu, bayang-bayang kematian juga menghampiri Gus Dur saat menyaksikan kecelakaan mobil pada 09 Juli 1994 yang kemudian mengantarkan ibunya juga meninggal dunia.
Gus Dur juga sudah dua kali mengalami stroke berat dan beliau berhasil melewatinya. Rentetan kejadian itu yang membuat Gus Dur selalu dibayang-bayangi kematian, sehingga dorongan untuk membuat dirinya harus immortality semakin tinggi. Hal ini yang membuat Prof. Azyu tidak terlalu heran dengan setiap tindakan Gus Dur yang selalu tampak kontroversial, sulit ditebak. Semakin Gus Dur kontroversial, semakin ia immortal. Menariknya, bagi saya, meskipun Gus Dur ini kontroversial, tapi tindakan itu punya alasan yang sangat rasional. Misalnya, saat beliau menjuluki salah satu lembaga terhormat (DPR) sebagai taman kanak-kanak, tampaknya julukan itu terbukti belakangan ini. Selain itu, keputusannya untuk mencabut Tap MPRS Nomor 25 tahun 1966 ini juga punya alasan yang jelas karena sesuai amanah UUD 1945.
Meskipun begitu, tapi apa yang dilakukan Gus Dur waktu itu selalu dianggap kontroversial. Karena itulah, ia kerap menjadi bahan pembicaraan publik luas. Semakin banyak yang membicarakan Gus Dur, karena kontroversi-kontroversi yang dilakukannya, maka ia semakin immortal. Belakangan ini semakin terbukti, Gus Dur sudah immortal. Sosok Gus Dur ini sudah melembaga menjadi institusi yang banyak dibicarakan banyak orang. Bahkan, apa yang dikatakan Gus Dur waktu itu, walaupun terkesan “candaan, iseng, atau apalah istilahnya”, tapi akhir-akhir ini ditanggapi serius banyak orang. Gus Dur telah menjadi sosok yang immortal saat ini dan kedepannya.