Sedang Membaca
Kiai Masjkur, Sebelum Berjuang di Medan Perang, Menampa Dirinya dengan Ilmu
M. Faisol Fatawi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Humaniora UIN Malang. Pegiat literasi di Kota Malang. Menerjemah banyak buku dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Menyelesaikan program doktoral di bidang Pemikiran Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan disertasi tentang "Naratologi al-Qur'an".

Kiai Masjkur, Sebelum Berjuang di Medan Perang, Menampa Dirinya dengan Ilmu

Al-ulama waratsatul anbiya’, itulah bunyi sebuah hadis yang cukup populer. Bahwa para ulama merupakan pewaris para nabi. Para nabi diutus oleh Allah membawa misi kemanusiaan. Menyelesaikan problem umat manusia ke arah kondisi kehidupan yang lebih maju dan berperadaban.

Dalam diri seorang nabi selalu terdapat kegelisahan tentang problem yang dihadapi umat manusia, bukan pikiran-pikiran untuk menyelamatkan kepentingan diri dan keluarganya. Itulah kenapa setiap nabi selalu memiliki kegigihan berjuang dalam menyelesaikan problem kemanusiaan. Dan ulama yang hakiki adalah mereka yang mewarisi semangat profetis seperti itu; hidupnya hanya untuk kepentingan masyarakat social.

Adalah KH. Masjkur sosok ulama yang memiliki kegigihan berjuang dalam melawan penjajahan di Indonesia. Dilahirkan pada 30 Desember 1898 di SIngosari Malang, dari pasangan KH. Maksum dan Hj. Maemunah. Beliau memiliki lima saudara, yaitu Toyib, Hafsah, Barmawi, Toha, dan Hasan. Sejak kecil, beliau bersama saudara-saudaranya hidup dan dibesarkan dalam keluarga yang taat agama.

Sebagai sosok yang lahir di tengah keluarga berkultur pesantren yang kuat, KH. Masjkur muda memiliki semangat keilmuan yang sangat kuat. Beliau berkelana dari pesantren ke pesantren lainnya untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama. Dimulai dari nyantri di Pondok Pesantren Bungkuk Singosari, desa tempat beliau dilahirkan. Di pesantren itu, selama tiga tahun, dari  1911 hingga 1914, KH. Masjkur muda belajar ilmu agama pada KH. Muhammad Thohir. Kemudian pada tahun 1915, belajar ke Pondok Pesantren Sono Buduran Sidoarjo, sebuah pesantren tua yang didirikan oleh Kiai Zainal Abidin sekitar abad ke-12.

Belum  puas mendalami ilmu agama, KH. Masjkur muda kemudian belajar di Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Di pondok ini, beliau menghabiskan waktunya selama dua tahun, yaitu 1916 sampai 1917.

Dari Siwalan Panii, beliau memutuskan untuk nyantri di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang; berguru langsung pada Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari. Konon, saat berguru di Jombang ini, KH. Hasyim Asy’ari meminta KH. Masjkur muda untuk mengkader A. Wahid Hasyim yang ketika itu masih sangat muda (bahkan lebih muda sekitar

15 tahun darinya) dalam merintis kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman kaum penjajah.

Semangat keilmuan terus bergelora dalam diri KH. Masjkur muda. Beliau tidak puas berguru pada satu atau dua guru saja, tetapi nyantri ke berbagai guru diyakininya sebagai modal untuk terjun ke masyarakat. Maka, selepas mondok di Jombang, KH. Masjkur muda memutuskan untuk belajar di Pondok Pesantren yang ketika itu diasuh secara langsung oleh Syaikhona Muhammad Kholil di Kademangan Bangkalan Madura.

Baca juga:  Pelopor Modernisasi Pendidikan Islam (3): Muhammad Rasyid Ridha

Setelah nyantri ke mbah Kholil Bangkalan, KH. Masjkur muda melanjutkan mondok di Pesantren Jamsaren Solo Jawa Tengah yang diasuh oleh KH. Idris. Dari sini, kemudian melanjutkan ke Pesantren Pesantren Penyosongan Cibatu, Pondok Kresek Cibatu, dan Pesantren Ngamplang Garut.

Membangun dunia pendidikan Islam

Tepat pada tahun 1923, setelah melalang buana nyantri di Jawa Barat, KH. Masjkur muda memutuskan untuk kembali ke kampong halaman, yaitu Singosari Malang. Belajar dari pengalamannya bertahun-tahun dalam menuntut ilmu pengetahuan, akhirnya KH. Masjkur terpanggil untuk terjun dalam dunia pendidikan.

Maka, beliau mendirikan lembaga pendidikan Islam yang diberi nama Misbachul Wathan. Sebuah lembaga pendidikan yang di dalamnya mengajarkan baca-tulis latin (lembaga pendidikan ini kelak menjadi embrio berdirinya Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Malang, yang saat ini sudah memiliki TK, SDI, MI, SMPI, MTs, SMAI, MA, dan SMK).

Nama “Misbachul Wathan” yang digunakan, mencerminkan kegelisahan KH. Masjkur muda terhadap situasi social yang ada di sekitarnya. Misbachul Wathan memiliki arti “pelita negeri”. Seolah-olah dengan nama ini, KH. Masjkur muda menegaskan bahwa Indonesia yang pada saat itu sedang dalam cengkeraman kaum penjajah butuh pada pelita yang mampu membebaskan bumi pertiwi dari berbagai tekanan dan cengkeraman pihak-pihak yang mengekploitasi negeri ini. Nama “Misbachul Wathan” mencerminkan sebuah cita-cita besar dari KH. Masjkur akan perubahan nasib rakyat Indonesia dari kesewenang-wenangan dan kezaliman kaum penjajah.

Memang betul, bahwa lembaga pendidika Misbachul Wathan bukanlah sistem pendidikan yang baru di Indonesia; bahkan sistem pendidika pesantren jauh lebih dahulu ada.

Namun, usaha KH. Masjkur muda dalam mendirikan sekolah Misbachul Wathan, harus didudukkan dalam konteks dunia pendidikan Islam modern. Sebuah sistem pendidikan yang didalamnya menggunakan kurikulum tertentu, tidak seperti di pesantren. Sebuah sistem pendidikan yang disesuaikan dengan tuntutan zaman modern.

Masjkur muda menyadari bahwa masyarakat muslim, khususnya di Malang, mengalami kesenjangan dalam hal pendidikan. Beliau melihat kemajuan sistem pendidikan yang dikembangkan oleh kaum penjajah Belanda ketika itu, sementara masyarakat muslim masih hidup dalam keterbelakangan.

Usaha yang dilakukan oleh KH. Masjkur ini dapat dipandang sebagai rintisan sistem pendidikan Islam modern yang luar biasa. Dan KH. Masjkur adalah tokoh penting yang membuka jalan modernisasi pendidikan dalam sejarah pendidikan Islam modern di Indonesia, khususnya dalam dunia pesantren. Beliau menyadari, bahwa pendidikan merupakan jalan penting untuk membebaskan bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan (Lutfiah Ayundasari: 2018).

Baca juga:  Perjalanan Gus Dur di Austalia: Dari Memukai Akademisi Hingga Mencuci Piring Sendiri

Mengutamakan kepentingan bangsa

Selain peran dalam dunia pendidikan, KH. Masjkur juga memiliki peran dalam membangun jati diri bangsa Indonesia. Salah satunya adalah peran KH. Masjkur dalam rumusan Pancasila.

Pada tahun 1945, KH. Masjkur ditunjuk sebagai Dokuritsu Junbi Coosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Sidang dilakukan mulai 27 Mei – 1 Juni 1945. Dari siding ini diterbitkan draft Undang-Undang Dasar dan Pancasila.

Bagi KH. Masjkur, Pancasila adalah suatu payung bersama yang menaungi anak bangsa Indonesia, yang terdiri dari berbagai ragam suku, budaya, dan bahasa. Kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan kaum penjajah bukan jerih payah satu golongan saja atau satu kelompok pengikut agama tertentu saja, melainkan hasil dari perjuangan semua rakyat.  Oleh karena itu, perlu dicarikan prinsip bersama yang dapat dasar dalam menjalankan kehidupan bernegara. Maka, Pancasila adalah jalan yang tepat sebagai “titik temu” (kalimah sawa’).

Sosok kenegarawanan KH. Masjkur terlihat sangat jelas. Dengan kapasitas pengetahuan agama Islam yang sangat luas, beliau mampu mendahulukan kepentingan bangsa di atas kepentingan identitas agamanya. Maka, beliau pun tidak memaksakan Islam sebagai dasar atau asas bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam pandangan KH. Masjkur, Pancasila tidak bertentangan dengan agama Islam. Pancasila dan agama Islam memiliki titik temu yang tidak harus dipertentangkan. Atas dasar pertimbangan seperti ini, maka dalam Muktamar NU di Situbondo 1984, diputuskan untuk menerima Pancasila sebagai Asas Organisasi. Dan, KH. Masjkur merupakan salah satu tokoh yang terlibat di dalamnya.

Peran lain yang ditunjukkan oleh KH. Masjkur untuk menegaskan pentingnya meletakkan kepentingan bangsa di atas segalanya adalah penolakannya terhadap pemberontakan PKI di Madiun yang terjadi pada tahun 1948. Ketika itu KH. Masjkur selaku Menteri Agama di Jogja menyatakan bahwa PKI adalah Bughot (pembetontak) karena hendak mengganti Pancasila dengan ideologi lain (Komunis). Termasuk juga pada tahun 1954, KH. Masjkur menolak pemberontakan kelompok DI/TII-NII yang dipimpin oleh S.M.Kartosuwirjo, dan memberikan pengakuan kepada Presiden RI sebagai selaku Waliyul Amri Adhoruri Bissyaukah.  

Memimpin perang gerilya

Ketika terjadi agresi militer Belanda pada 19 Desember 1948 dengan pendudukan ibu kota Yogyakarta, para pimpinan Republik Indonesia tertangkap. Diantaranya, Soekarno, M. Hatta, H. Agus Salim, Mr. Ali Sastroamijoyo, Mr. M.Rum, dan M. Syahrir. Sementara KH. Masjkur merpakan salah satu anggota kabinet yang lolos dari penangkapan itu.

Baca juga:  Tujuh Catatan Penting Terkait Perdebatan Kata Kafir dan Non-Muslim

Maka, KH. Masjkur keluar dari kota Yogyakarta. Awalnya pergi menuju wilayah Kauman Yogyakarta. Kemudian dari sana menyelamatkan diri menuju Solo, kemudian ke Ponorogo. Singgah sebentar di Pondok Gontor untuk bertemu dengan menteri Susanto Tirtoprojo. Kemudian meneruskan perjalanan ke Trenggalek.

Selama bergerilya, KH. Masjkur sempet bertemu dan berkoordiasi dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman untuk menyusun dan menguatkan strategi perlawanan terhadap kaum penjajah.

Di samping itu, KH. Masjkur juga mengadakan konsilidasi dan pertemuan bersama pejabat departemen Agama se-Karesidenan Kediri bersama lascar Sabilillah untuk memastikan bahwa pemerintahan Indonesia masih dalam kendali para pejuang meskipun beberapa pemimpinannya ditawan.

Dalam melakukan gerilya seperti itu, KH. Masjkur ditemani oleh putra satu-satunya yang masih berusia anak-anak, yaitu Sayiful Islam. Beliau dengan anaknya tidak sempat berbekal apa-apa, kecuali hanya baju seadanya, setelah mengetahui ibu kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.

***

Atas jasa-jasanya dalam merintis dan mempertahankan negara Indonesia, KH. Masjkur mendapat berbagai penghargaan. Diantaranya, (1) Bintang Mahaputra Adipradana, diberikan oleh Presiden Soeharto berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 024/TK/Tahun 1973 pada 19 Mei 1973; (2) Tanda Penghargaan Legiun Veteran RI, diberikan pada 7 November 1988 oleh Letnan Jenderal TNI Purn. Achmad Tahir berdasarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat Legium Veteran RI No. Skep-11/MBLV/V/2/1988; (3) Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan Kesatu, diberikan pada 14 November 1964 oleh Dr. A.H. Nasution berdasarkan Surat Tanda Penghargaan No. M/B/217/64/A; (4) Satyalantjana Peristiwa Perang Kemerdekaan Kedua, diberikan pada 14 November 1964 oleh Dr. A.H. Nasution berdasarkan Surat Tanda Penghargaan No. M/B/217/64/B; (5) Satyalantjana Gerakan Operasi Militer I, diberikan oleh Dr. A.H. Nasution pada 4 November 1964 berdasarkan Surat Tanda Penghargaan No. M/B/217/64; (6) Satyalantjana Gerakan Operasi Militer VII, diberikan oleh Dr. A.H. Nasution pada 4 November 1964 berdasarkan Surat Tanda Penghargaan No. M/B/217/64; (7) Tanda Djasa Bintang Gerilya, diberikan oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia Soekarno pada 5 Oktober 1965 berdasarkan Surat Tanda Djasa Pahlawan No. 00966; dan (8) Bintang Nile (dari Pemerintah Mesir).

Masjkur meninggal dunia pada 19 Desember 1992 M bertepatan dengan 24 Djumadil Tsani 1413 H. Dimakamkan di Pemakaman Keluarga Pondok Pesantren Miftahul Falah Bungkuk Singosari Malang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top