Wakil Sekretaris PCNU Batang, Peneliti Yayasan ALUR Batang (bagian dari Jaringan Syarikat Indonesia dalam Penelitian dan Pengorganisasian Korban Tragedi 65-66).

Kita dan Tragedi 65 (2): Apa Kabar Rekonsiliasi?

Rekonsiliasi

Setiap bulan September, ingatan kolektif bangsa Indonesia selalu ditarik kembali pada sebuah peristiwa kelam yang terjadi 55 tahun silam. Suatu tragedi kemanusiaan yang hingga saat ini masih diselimuti misteri dan dampaknya masih bisa kita rasakan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Terlebih lagi, sepertinya ada pihak yang secara sengaja menjadikan isu kebangkitan komunis sebagai komoditas politik yang ‘digoreng’ setiap tahun untuk kepentingan mereka.

Sayangnya, isu  kebangkitan komunis yang selalu didengungkan ini tidak diimbangi dengan wacana rekonsiliasi yang dulu pernah digaungkan oleh kalangan pegiat HAM dan demokrasi di masa awal reformasi. Narasi yang dibangun saat ini dan memenuhi ruang publik didominasi oleh informasi-informasi yang bernada kebencian dan adu domba dengan memanfaatkan isu atau peristiwa yang tengah menjadi perhatian masyarakat. Rekonsiliasi tidak lagi dianggap sebagai masalah penting yang harus diwacanakan di tengah hiruk-pikuk berita tentang pandemi Covid-19.

Upaya rekonsiliasi kultural untuk mempertemukan para pelaku dan penyintas yang terlibat dalam Tragedi 1965-1966 pernah dilakukan oleh generasi muda Nahdlatul Ulama yang tergabung dalam Jaringan Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) Indonesia pada tahun 2000-an. Upaya ini diawali dengan melakukan penelitian kepada kedua belah pihak di hampir 30 kota yang tersebar di Pulau Jawa. Penelitian ini merupakan bagian dari langkah advokasi untuk mempertemukan kedua belah pihak agar bisa ‘duduk bersama’ membicarakan gagasan rekonsiliasi masyarakat akar rumput.

Baca juga:  Gus Yahya dan Manifesto Kebudayaan NU

Tidak mudah untuk meyakinkan kedua belah pihak untuk bersedia duduk bersama dalam satu forum. Dari sisi pelaku, masih terdapat perasaan benci dan dendam kepada para penyintas yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Sementara itu, dari sisi penyintas trauma masa lalu dan ketakutan akan mendapatkan perlakuan diskriminatif masih menghantui pikiran dan perasaan mereka. ‘Tembok tebal’ yang menjadi penghalang itu akhirnya dapat ditembus setelah para peneliti yang sebagian besar adalah aktivis muda NU menemui tokoh-tokoh NU di wilayah masing-masing. Restu yang diberikan oleh para tokoh NU itulah yang membuat pertemuan antara kedua belah pihak dapat terwujud.

Langkah rekonsiliasi kultural yang diinisiasi oleh anak muda NU ini tidak berhenti hanya pada pertemuan saja. Ada beberapa bentuk kegiatan lain yang dipilih sebagai tindak lanjut dari pertemuan antara elemen NU dan penyintas Tragedi 65-66 tersebut. Di Kabupaten Batang Jawa Tengah, penulis bersama aktivis muda NU yang tergabung dalam Yayasan ALUR merintis koperasi bersama yang anggotanya adalah gabungan antara elemen NU dan penyintas Tragedi 65-66 yang berasal dari wilayah Batang dan sekitarnya.

Koperasi yang diberi nama Paguyuban Anak Bangsa ini mempunyai agenda rutin pertemuan bulanan. Pada pertemuan bulanan tersebut biasanya diisi dengan diskusi mengenai isu-isu aktual dan kegiatan simpan-pinjam koperasi. Melalui kegiatan simpan-pinjam yang dirintis dari modal bersama tersebut, para anggota dapat memperoleh pinjaman untuk modal usaha dengan syarat yang mudah dan angsuran ringan.

Baca juga:  Pemetik Puisi (12): Gamblang Berdakwah

Koperasi hanyalah salah satu sarana untuk melakukan rekonsiliasi akar rumput yang dilakukan nyaris tanpa campur tangan negara. Dalam proses yang dilakukan oleh peneliti selama mendampingi advokasi terhadap penyintas Tragedi 65-66, rekonsiliasi hanya dapat terjadi apabila para pihak mau duduk bersama tanpa prasangka yang didasari dendam masalalu yang tak berujung pangkal jika dilanggengkan. Semua itu harus diawali dengan kesediaan untuk jujur tentang sejarah yang telah dilakoni bersama – baik dan buruk – sebagai sesama anak bangsa. Tanpa kejujuran dan keterbukaan terhadap masa lalu tersebut maka mustahil bagi kedua belah pihak untuk duduk bersama mewujudkan rekonsiliasi.

Lalu pertanyaan kritis selanjutnya sekarang adalah bagaimana kabar rekonsiliasi saat ini? Di tengah berbagai permasalahan yang sedang dihadapi bangsa kita ini, sepertinya rekonsiliasi menjadi isu basi yang tak lagi menarik untuk didiskusikan apalagi diwujudkan di tengah situasi pandemi saat ini. Padahal, ancaman disintegrasi bangsa karena adu domba pihak-pihak yang sengaja memancing kegaduhan semakin nyata di depan mata kita.

Di tengah situasi pandemi yang mengancam berbagai sisi kehidupan, kepedulian terhadap sesama warga bangsa khususnya mereka yang membutuhkan, menjadi sesuatu yang harus dikedepankan. Kita tentu tidak ingin mendengar seseorang tidak mendapatkan bantuan sosial Covid-19 hanya karena dia seorang anak-cucu keturunan PKI. Sebab diakui atau tidak, pada level kehidupan masyarakat sehari-hari celetukan seperti ‘Dasar komunis!’ atau ‘Dasar anak PKI!’ masih kerap terdengar untuk menstigma dan mendiskriminasi mereka.

Baca juga:  Paradigma Keberagaman dan Sengkarut Pelibatan Militer

Oleh sebab itu, upaya untuk terus menggaungkan ikhtiar rekonsiliasi harus tetap dilakukan agar tidak kalah dan tenggelam oleh narasi penuh kebencian dengan memanfaatkan isu kebangkitan komunis yang diulang setiap menjelang peringatan Tragedi 65-66. Rekonsiliasi bukanlah upaya untuk membuka luka lama bangsa namun justru harus dimaknai sebagai ikhtiar memutus rantai dendam masa lalu dengan saling memaafkan tetapi tidak melupakan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top