Sedang Membaca
Pelopor Modernisasi Pendidikan Islam (5): Syekh Abdullah Ahmad
M. Amruddin Latif
Penulis Kolom

Santri Pondok Tremas Pacitan dan Krapyak Yogyakarta. Saat ini sedang menempuh S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prodi Studi Islam.

Pelopor Modernisasi Pendidikan Islam (5): Syekh Abdullah Ahmad

Whatsapp Image 2020 08 25 At 21.31.16

Setelah kita belajar dari tokoh pembaharuan dari Mesir dan Pakistan, kali ini kita menggali mutiara dalam negeri. Dalam perjalanannya, pendidikan Islam di Indonesia juga diwarnai dengan modernisasi di berbagai bidang, hal itu dilakukan semata agar pendidikan relevan pada perkembangan zaman. Negeri ini juga memiliki al-ulama al-mujaddidun, yang berbekal kedalaman ilmunya, mereka melakukan rekonstruksi terhadap pemikiran agama melalui pendidikan.

Adalah Syekh Abdullah Ahmad, ulama tersohor di Padang Pajang. Lahir di tengah keluarga ulama, Syekh Ahmad mendapat asupan agama sejak ia masih kecil. Di usianya yang ke 17 tahun, ia melakukan pengembaraan intelektual ke Makkah, berguru kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Seperti yang sudah diketahui bersama, Syekh Khatib adalah ulama asli Nusantara yang menjadi imam di Masjidil Haram dan menjadi guru besar di Makkah. Selain kepada Syekh Khatib, Syekh Ahmad juga berguru dengan para ulama besar lainya. Tak mengherankan apabila kealiman Syekh Ahmad begitu luar biasa.

Empat tahun di Makkah, Syekh Ahmad bersinggungan dengan gerakan pembaharuan yang ada di sana. Hal tersebut pada gilirannya mempengaruhi pola pikir Syekh Ahmad dalam memahami Islam. Himmah modernisasi Islam, oleh Syekh Ahmad diaplikasikan manakala ia kembali ke kampung halaman. Melalui pendidikan, Syekh Ahmad melakukan berbagai pembaharuan untuk cita-cita Islam yang berperadaban.

Syekh Ahmad melihat pendidikan Islam tradisional di Indonesia begitu ketinggalan, tidak mampu bersaing dengan pendidikan modern yang didirikan oleh Belanda. Sementara pendidikan modern sendiri cenderung sekuler, yang berujung pada terkikisnya moralitas dan kecintaan terhadap tanah air. Karenanya, Syekh Ahmad mendidikan sekolah Islam modern yang mengadopsi sistem pendidikan Belanda, sembari tetap mengajarkan ilmu-ilmu agama. Tahun 1907, Syekh Ahmad mendirikan sekolah yang ia namakan Adabiyah School. Keputusan ‘kontroversi’ Syekh Ahmad ini, sontak menimbulkan pertentangan di kalangan para ulama, karena memang di masa itu umat Islam begitu antipati terhadap kolonialis. Pun demikian, Syekh Ahmad tetap teguh pada pendiriannya.

Baca juga:  Napatktilas Raden Rahmad Djoyo Ulomo

Perubahan yang dilakukan Syekh Ahmad di tubuh pendidikan Islam meliputi: kelembagaan, metode pengajaran, dan kurikulum. Tulisan ini hanya terfokus pada ide Syekh Ahmad dalam merekonstruksi pembelajaran, semata agar tidak mengulang lagi pembahasannya pada tulisan-tulisan terdahulu. Karena pada hakikatnya, pembaharuan yang diusung Syekh Ahmad tidak jauh berbeda dengan modernisasi yang dilakukan ulama-ulama pembaharu dari Mesir, India, dan Turki.

Ide besar yang ditawarkan Syekh Ahmad dalam metode pembelajaran adalah mengurangi ceramah dan memperbanyak musyawarah. Syekh Ahmad mengkritik sistem pendidikan tradisional yang menggunakan model bandongan dalam proses belajar mengajar. Menurutnya, sistem tersebut membuat anak didik menjadi kurang aktif. Melalui model diskusi, selain menjadikan lebih kritis dan kreatif, juga dapat mengasah mental anak didik. Metode diskusi atau musyawarah, diharapkan dapat mengasah kemampuan beretorika anak didik, menemukan dan mempertanggungjawabkan pendapat dari berbagai masalah yang digulirkan.

Etika Sosial; Musyawarah

Dalam kehidupan sosial berlangsung proses komunikasi dan interaksi antar berbagai individu dan kelompok. Etika sosial diperlukan untuk meminimalisir konflik yang biasa terjadi dalam masyarakat yang plural, dengan mekanisme penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi, berdasarkan nilai-nilai etika yang menjadi bagian fundamental dan tata kehidupan sosial. Musyarawah adalah media untuk menemukan kesepahaman di tengah perbedaan yang merupakan takdir kehidupan. Di negeri multi etnik, multi agama, dan multi budaya seperti Indonesia, dibutuhkan semangat musyawarah untuk menjaga ruang demokrasi dengan manajamen yang terbuka. Tanpa keterbukaan, akan menimbulkan kecurigaan, yang pada gilirannya akan memicu adanya konflik dan perpecahan.

Baca juga:  Haul Nurcholish Madjid (5): Cak Nur Membuatku Hijrah, dari HTI ke HMI

Musyawarah adalah hal penting untuk mencari argumen yang unggul dan disepakati bersama untuk kepentingan publik, Q.S. az-Zumar (39:18) mengatakan:

اَلَّذِيْنَ يَسْتَمِعُوْنَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُوْنَ أَحْسَنَهۚ أُوْلٰۤئِكَ الَّذِيْنَ  هَدَىٰهُمُ اللهۖ وَاُوْلٰۤئك هُمْ اُوْلُوْا الْأَلْبٰبِ

Artinya: Mereka yang mendengarkan pendapat, lalu mengikuti pendapat yang lebih baik, mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang berakal.

Paparan di atas menunjukkan akan pentingnya musyawarah. Sistem pendidikan yang mengutamakan musyawarah atau diskusi, merupakan wasilah bagi anak untuk memahami pluralitas. Setiap kepala memiliki isi yang tak musti sama, manusia dituntut untuk legowo manakala idenya tidak diterima oleh yang lain. Diskusi bukan hanya mengajarkan kita untuk berargumentasi, tapi juga belajar mendengarkan. Diskusi bukan tentang siapa yang menang, tapi untuk mendapatkan yang terbaik dan kemufakatan. Diskusi adalah media untuk mengikis keakuan dan egosentrisme, membangun empati dan jiwa yang besar.

Dari Syekh Ahmad kita belajar, bahwa guru bukan satu-satunya sumber kebenaran dan anak didik adalah obyek yang musti dibenarkan. Guru bukanlah seniman pemahat, sementara anak didik adalah patungnya. Tidak. Anak didik adalah manusia seutuhnya yang juga berkesempatan untuk menjadi dirinya sendiri. Nalar kritis anak didik dibutuhkan untuk mampu menjawab berbagai tantangan di zamannya, yang tentunya berbeda dengan yang dihadapi guru saat ini. Melalui diskusi suasana kelas juga akan menjadi lebih hidup. Hal ini dikarenakan anak didik terlibat langsung, mereka menjadi lebih aktif.

Baca juga:  Mu'minah binti Bahlul dari Damaskus

Di era sekarang, model pendidikan seperti ini sering dipakai di lembaga pendidikan maju. Bahkan, kurikulum terbaru juga lebih menekankan pada metode yang dimana anak didik tidak lagi pasif. Pendekatan saintific mendorong guru sebagai fasilitator, bukan lagi ‘penguasa’ kelas. Dengan diskusi, kelas menjadi lebih menantang bagi anak didik, karena menuntut mereka untuk tampil hebat di depan teman-temannya. Diskusi juga membuat anak didik menjadi lebih dihargai, karena mereka juga memiliki ‘suara’. Umumnya, manusia butuh eksisetensi.

Syekh Ahmad adalah satu pelopor pendidikan yang humanis di negeri ini, pendidikan yang lebih fresh. Pendidikan yang menempatkan anak didik untuk memiliki cita-cita sesuai yang diinginkannya, bukan melanjutkan misi orang tua atau gurunya. Pendidikan harus menyenangkan, anak didik datang ke sekolah tanpa perasaan terpaksa. Pendidikan adalah media untuk belajar demokrasi, menghargai pendapat, mengerti keberagaman, beragumentasi yang santun, dan belajar untuk merumuskan kesepakatan. Pendidikan bukan hanya tempat untuk mendengarkan, dimana guru adalah khatib, sementara anak didik adalah jama’ah shalat Jum’at.

Wallahu A’lam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top