Sedang Membaca
Wawancara Santai dengan Gus Mus 27 Tahun Silam: Bagaimana Santri yang Ideal di Era Globalisasi?
Luthfil Hakim
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Tarbiyatul Mubtadiin, Danawarih, Balapulang, Tegal dan Alumni Pesantren Misbahul Huda Al-Amiriyah, Kambangan, Lebaksiu, Tegal.

Wawancara Santai dengan Gus Mus 27 Tahun Silam: Bagaimana Santri yang Ideal di Era Globalisasi?

27 tahun silam tepatnya pada tahun 1993, bertempat di gedung JHK Kudus, sosok kharismatik Kyai Musthofa Bisri atau yang akrab disapa dengan Gus Mus pernah melakukan wawancara mengenai pesantren dalam menghadapi tantangan dan peluang di era globalisasi.

Wawancara ini sendiri dilakukan setelah Gus Mus mengisi ceramah Halal Bi Halal IPNU-IPPNU Cabang Kudus. Wawancara dilakukan oleh santri Qudsiyyah Kudus, yaitu Wahid Kauman dan Noora NG yang kebetulan waktu itu menjadi Reporter majalah El-Qudsy. Hasil wawancara ini juga untuk mengisi kolom rubrik Wawancara Santai pada majalah El- Qudsy edisi perdana pada tahun 1993.

Walaupun sudah berusia 27 tahun, namun hasil wawancara serta pemikiran-pemikiran beliau masih sangat relevan dan begitu nyata bagi kehidupan pesantren saat ini.

Berikut petikan wawancaranya. QD ( El-Qudsy ) dan GM ( Gus Mus).

QD: kira-kira bagaimana pandangan Gus Mus tentang istilah santri itu?

GM: Sebenarnya saya pribadi kurang sependapat dengan istilah santri.

QD: Mengapa demikian Gus?

GM: Itukan hanya istilah kolonial untuk memecah umat Islam dulu. Anda ingat trichothomi Cliffortd Geertz tentang santri. Itu sebenarnya kesengajaan yang menjadikan umat Islam sehingga terkotak-kotak, ada golongan ini, kelompok itu.

QD: Sebenarnya apa yang membedakan trichothomi itu?

GM: Saya kira hanya pendidikannya saja yang membedakan. Kalo dulu santri itu, orang yang berpendidikan di pesantren. Priyayi, seperti golongan bangsawan dan Pegawai itu orang pendidikannya di lembaga formal, sedang abangan, ya namanya juga abangan , ya sama sekali tak pernah mengenyam pendidikan.

QD: Lantas istilah yang sesuai apa Gus?

GM: Ya apa sajalah, yang jelas jangan sampai membuat kotak-kotak dalam tubuh umat.

QD: Berkaitan dengan Pesantren atau madrasah, kira-kira dimana letak kurang kemandiriannya?

GM: Banyak sekali, terutama dalam kurikulum. Banyak madrasah yang melepas kesalafiyahannya hanya karena terbentur aturan. Kalau madrasah mau menumbuhkembangkan agama secara kaffah, ya jangan setengah- setengah.

QD: Apa yang dimaksud setengah-setengah itu?

GM: Ya mempelajari agama tidak tuntas, menekuni ilmu yang lain wegah dan di kesampingkan. Selama santri itu masih membedakan ilmu yang wajib dituntut dan mana yang tidak perlu. Ya jangan harap kita dapat porsi di zaman ini.

Baca juga:  Warisan Budaya: Dari Gerimpheng Aceh Hingga Ndambu Papua

QD: Idealnya bagaimana Gus?

GM: Tingkatkan dulu kemandirian dan tanamkan sifat percaya pada diri sendiri. Tidak terlalu banyak bergantung dengan selembar kertas, yang penting kualitas manusianya ditingkatkan. Kalau ilmu agama mapan, dan ilmu yang lain dikuasai, saya kira tak kesulitan kita dalam mengarungi samudra hidup nanti.

QD: Ada sebagian orang yang berpendapat kalau  santri  sekarang  kurang kontekstual.

GM: kurang kontekstual bagaimana?

QD: Pandai mengkaji kitab salafiyah tapi belum mampu mengaplikasikannya di tengah-tengah masyarakat dengan metode yang dapat diterima.

GM: Tidak semuanya benar, buktinya saya dapat menjadi anggota MPR, pak Kyai Maimoen dan Pak Dimyati juga MPR. Kan ini berarti beliau dapat hidup di tengah-tengah masyarakat dengan metode yang dapat diterima di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat bahkan berbangsa.

QD: Lantas urgensi madrasah dan pesantren di era globalisasi kira-kira bagaimana?

GM: penting dan harus dipertahankan nilai-nilai kesalafiyahannya, kalau hal-hal semacam ini nanti ditinggalkan lantas apa filternya. Tapi, ya jangan sampai mengesampingkan nilai-nilai yang lain.

QD: Dengan adanya UU Pendidikan dasar 9 tahun, kira-kira bagaimana prospek madrasah dan pesantren kedepan?

GM: Bagus, justru menguntungkan.

QD: Fenomena yang nampak pada era sekarang, orang banyak yang enggan memasukkan anaknya ke madrasah salafiyah atau pesantren. Menurut Gus Mus, apa yang melatarbelakangi fenomena tersebut?

GM: Ya seperti yang saya ungkapkan dalam ceramah tadi, orang hanya percaya pada hal yang dhohir saja. Tapi ingat lho, ini kebanyakan bukan berarti semuanya. Pada zaman seperti ini,kita sulit mencari orang yang percaya pada hal-hal yang ghaib. Sama juga halnya dengan madrasah salafiyah atau pesantren. Ia kan tidak menjanjikan prospek masa depan dengan duniawi yang jelas secara dhohir, memberi ikatan dinas tidak, mencarikan pekerjaan juga tidak. Mana ada orang di dunia ini yang suka melihat anaknya kere dan nganggur. Kalaupun ada ya jauh presentasenya. Makanya kalau di zaman ini masih ada orang yang percaya tentang ghaib itu, pahalanya lipat enam puluh. Ha..ha…

QD: Mengapa kebanyakan mereka mempunyai pemikiran  yang  demikian?

MD: Karena motivasi hidupnya hanya berlandaskan materi. Padahal  kalau kita lihat di Indonesia, setiap hari ada bayi lahir dan penduduknya bertambah, sedangkan apa tingkat pendapatannya mesti baik? Kan tidak juga. Karena tidak itu, orang semakin memburu dan berlomba mendapatkannya dengan segala cara.

Baca juga:  Haul Kiai Bisri Syansuri ke-43: Sang Kiai, Aktivis, dan Politisi Tingkat Tinggi

QD: Memburu dan berlomba itu untuk apa Gus?

GM: Ya semata-mata untuk menutupi kebutuhan dan menuruti nafsu. Tapi ini tidak semuanya.

QD: Lantas bagaimana prospek madrasah salafiyah dan pesantren di   era globalisasi nanti?

GM: Tergantung pengelolanya, ya tadi, globalisasi kan  zaman  persaingan, tinggal madrasah atau pesantren itu mampu bersaing atau tidak hidup di zaman seperti ini.

QD: Lalu, baiknya bagaimana Gus?

GM: Karena globalisasi itu zaman mutakhir yang serba keras, sebelum kita bicara tentang baiknya, ya terlebih dahulu kita tanya pada diri masing- masing. Mampukah kita bersaing, karena yang namanya bersaing itu harus terlebih dahulu mempunyai kemandirian. Padahal sementara ini kita lihat banyak yang belum mandiri.

QD: Kok bisa Gus?

GM: Bisa juga,selama ini kan madrasah salafiyah dan pesantren tidak terpaku dengan tahun, tapi diukur dengan kualitasnya bukan kuantitasnya. Kalau ukuran itu kan dasar. Jadi selama ini kita sudah berpendidikan dasar 9 tahun.

QD: Kira-kira peminatnya dengan UU tersebut bagaimana?

GM: Sama juga, saya kira kalau kita bisa memodifikasikannya dengan baik, justru akan mempunyai nilai plus dibandingkan dengan lembaga lain. Ini abad kualitas kok bukan kuantitas.

QD: Bagaimana caranya?

GM: Ya macam-macam, misalnya meningkatkan ketrampilan dan membekali pengetahuan yang mapan. Di samping itu, faktor manajerial juga perlu ditata.

QD: Kalau demikian, bukankah akan menghilangkan setidaknya mengurangi aktivitas ngajinya?

GM: Kalau kita ingin maju, saya kira itu dapat diatur. Teknis kan itu. Jadi saya beranggapan tak ada masalah.

QD: Bagaimana madrasah salafiyah yang baik menurut Gus Mus pada pembangunan jangka panjang tahap II (PJPT II) nanti?

GM: Ya, madrasah yang mandiri dan mengeluarkan santri yang kontekstual tadi. Tidak picik dan membeda-bedakan antar ilmu agama dan ilmu umum lainnya. Itu ciri pendidikan kolonial, sekarang sudah tidak zamannya lagi.

QD: Ada sebagian kebiasaan dalam tubuh santri, yaitu kebiasaan lillahi ta’ala dalam menuntut ilmu, bagaimana menurut Gus Mus?

Baca juga:  Masyarakat Harus Mengetahui Proses Penetapan Produk Halal

GM: Lillahi ta’ala yang bagaimana, kalau lillahi ta’ala menuntut ilmu itu bagus. Berarti landasannya dalam belajar didasari oleh keikhlasan. Tapi kalau lillahi ta’ala ditafsirkan dengan persepsi seenaknya diri sendiri, saya tidak setuju. Ini akan menghambat dan menunda keberhasilannya.

QD: Bagaimana menumbuhkan santri agar lebih giat mengejar ketertinggalannya dalam ilmu pengetahuan umum?

GM: Yaitu dengan cara menghilangkan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Katakanlah ilmu hanya satu, yaitu ilmu Allah. Sehingga cabang ilmu itu, semua berasal dari Allah dan wajib dipelajari. Ini perintah Nabi, ya nggak?

QD: Yang terakhir Gus, kira-kira apa saja  sumbangsih  madrasah  salafiyah dan pesantren dalam PJPT II nanti?

GM: Banyak, tapi yang paling mendasar adalah meningkatkan keimanan dan ketaqwaan manusia Indonesia. Dengan semakin banyaknya alumni madrasah dan pesantren yang melembaga dengan masyarakat dengan kultur yang berbeda, tapi mereka tapi mereka tak terpengaruh sama sekali, saya kira itu suatu sumbangan pesantren yang besar terhadap bangsa, terutama dalam pembangunan manusia. Ini kan zamannya sumber daya manusia. Ya , yang kita sumbangkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ya kan….ha….ha….

Melihat jawaban Gus Mus di atas, semakin menegaskan bahwa beliau adalah orang yang linuwih, jawaban serta pemikirannya melampaui zamannya. Beliau begitu sangat detail dalam memaknai era globalisasi dengan segala tantangan dan peluangnya bagi dunia madrasah atau pesantren pada masa yang akan datang.

Pemikiran-pemikiran beliau 27 tahun silam masih sangat relevan hingga saat ini, bahkan dewasa ini banyak madrasah atau pesantren yang membekali para santrinya selain dengan hard skill, para santri juga dibekali dengan soft skill.

Hal ini dilakukan semata-mata untuk lebih menggali potensi yang dimiliki oleh para santri, baik itu potensi spiritual, potensi intelektual, hingga potensi emosional, agar kelak nanti menjadi santri yang kontekstual, yang mampu berakselerasi dengan segala medan dan zaman. Bukan santri yang hanya bisa mengaji kitab kuning semata, sebagaimana yang selama ini disematkan oleh sebagian masyarakat, yang menganggap bahwa budaya pesantren adalah konservatif dan cenderung homogen.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top