Nurcholish Madjid, atau lebih akrab disapa dengan Cak Nur merupakan satu dari sedikit “public intelektual” Indonesia yang mempunyai daya kompleksitas tinggi dalam setiap gagasan dan pemikirannya.
Walaupun Cak Nur berangkat dari kalangan pesantren, namun sebagai sosok intelektual yang multiliterat, dan juga egaliter, Cak Nur mampu merobohkan sekat-sekat garis demarkasi keagamaan yang memenjarakan jiwa dan pemikirannya.
Praktis, selain sebagai seorang pemikir, beliau juga merupakan sosok aktivis serta pemimpin yang ulung, baik dari segi keagamaan, sosial hingga kancah perpolitikan.
Sebagai sosok intelektual yang multilitetat, tak sedikit kompleksitas pemikiran serta praksis Cak Nur yang tidak mudah dipahami dengan baik oleh berbagai kalangan masyarakat Indonesia, hususnya di kalangan pesantren tertentu yang berbasis salafiyah.
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang menentang keras bilik-bilik pemikiran dan praksis Cak Nur, karena dianggap berbahaya bagi umat Islam. Hingga mereka melabeli Cak Nur sebagai sosok yang sekuler. Label sekuler mulai dilontarkan kepada dirinya, ketika Cak Nur melemparkan gagasan “Sekularisasi Yes, Sekulerisme No.”
“Sekularisasi Yes, Sekulerisme No”
Jika dicermati, gagasan tentang “Sekularisasi Yes, Sekulerisme No” merupakan pengejawantahan dari upaya Cak Nur agar umat Islam melakukan ‘sekulerisasi’ terhadap hal-hal yang bersifat ‘sekular’ (keduniawian) yang sudah terlanjur disakralkan di kalangan umat Islam, sehingga merusak kemurnian tauhid. Lewat jalan ‘sekurelisasi’, Cak Nur dengan tegas ingin memurnikan ajaran tauhid dari hal-hal yang bernilai ‘profan’, yang bisa menjerumuskan umat Islam ke dalam jurang-jurang kemusyrikan.
Pada saat yang sama, Cak Nur juga mengproklamirkan tentang penolakan dirinya terhadap asas sekulerisme. Dalam kacamata saya, ‘sekulerisme no’ ala Cak Nur ini baik untuk keutuhan NKRI. Ini adalah salah satu “legacy” dari Cak Nur yang cukup fenomenal.
Dengan kata lain, Cak Nur mengamini jalan politik para “founding fathers” kita yang memilih Indonesia dibangun dengan bentuk republik dan tidak berdasarkan agama. (dalam hal ini agama Islam, sebagai berometer wajah agama di Indonesia yang dianut oleh 88,5 persen atau sekitar 265 juta jiwa). Namun sebaliknya, berdasarkan rumusan Pancasila yang menempatkan agama dalam posisi yang adiluhung, dengan sila pertamanya yang berbunyi; ‘Ketuhanan Yang Maha Esa.’
“Islam Yes, Partai Islam No”
Tidak berhenti pada sekulerisme saja, gagasan Cak Nur yang tak kalah ‘frontal’ juga membersamai perjalanan politik di Indonesia. Tepatnya yaitu pada masa awal orde baru. ‘Islam Yes, Partai Islam No’, itulah gagasan yang dilontarkan oleh Cak Nur, yang sempat membuat ‘gempa politik’ pada masa orde baru.
Di tengah-tengah arus mainstream para ulama yang mengkampanyekan politik Islam, Cak Nur malah ‘mbalelo dan mbrengkolo’ terhadap ulama, dengan melontarkan gagasan ‘Islam Yes, Partai Islam No.’
Gagasan ‘Islam Yes, Partai Islam No’ sendiri muncul akibat dari rasa prihatin Cak Nur atas perpecahannya politik Islam pasca Kemerdekaan, yang berdampak negatif terhadap ‘iklim sosial politik’ umat Islam itu sendiri. Karena pada saat itu masih ada orang-orang partai yang mengklaim bahwa mereka berdiri mewakili Islam. Seperti partai Nahdlatul Ulama, Partai Serikat Isilam Indonesia, Partai Islam PERTI, dan juga Partai Muslimin Indonesia. Padahal mereka tidak lebih dari ‘pengasong agama’ dengan embel-embel partai Islam untuk mendulang suara pada setiap pemilu.
Namun demikian, gagasan tersebut juga menuai pro dan kontra di kalangan umat Islam. Banyak yang menuding, bahwa Cak Nur sedang memainkan ‘catur politik’-nya. Seperti yang pernah dilontarkan oleh Muahammad Kamal Hasan, bahwa ‘Islam Yes, Partai Islam No’ merupakan ‘rekayasa pemikiran’ untuk mendukung politik rejim orde baru, kala itu. Kebetulan, pada saat yang bersamaan Presiden Soeharto juga menolak aspirasi dari kalangan umat Islam yang ingin menghidupkan kembali partai Masyumi, sebuah partai besutan H.M. Nasdir dkk
Tegasnya, dengan menolak partai Islam Cak Nur secara gamblang menolak bebagai macam klaim partai, yang mengaku representasi dari suara umat Islam, padahal mereka tak lebih dari ‘pengasong agama’ dengan melabeli partainya sebagai partai Islam.
Lebih jauh lagi, garis besar penolakan tersebut, merupakan langkah konkret dari Cak Nur untuk menyelamatkan umat Islam itu sendiri dari berbagai macam ‘friksi’ dan ‘bencana politik’ yang berkepanjangan. Cak Nur juga mengingatkan agar umat Islam tidak mudah larut atas klaim partai Islam secara sepihak, dan sebaliknya bersatu di dalam Islam.
“Kawin dengan Oposisi”
Langkah ‘bidak catur politik’ Cak Nur begitu sangat dinamis, publik tentu sempat dikejutkan dengan cara mainnya yang cenderung ‘ugal-ugalan’ kala itu. Setelah sebelumnya melemparkan gagasan ‘partai Islam no’, ahirnya Cak Nur harus ‘kawin’ juga dengan pihak oposisi yang kala itu dimotori oleh partai berlambang kakbah.
Tak tanggung-tanggung, ‘mahar’ yang diberikan oleh Cak Nur begitu fantastis. Dalam pemilu 1977, Cak Nur langsung maju menjadi juru kampanye partai berlambang kakbah tersebut, dan berikrar untuk memompa ‘ban kempes’ ‘kendaraan politik’ tersebut. Sikap inkonsistensi ini menimbulkan ‘gempa politik’ kembali di kalangan masyarakat Indonesia, utamanya para akademisi dan juga rekan-rekan Cak Nur pada saat itu.
Sikap ‘kawin’ dengan oposisi yang dipilih oleh Cak Nur menimbulkan pertanyaan; apakah cak nur sudah berubah, atau tidak konsisten dengan sikap dirinya yang menyebutkan ‘partai Islam no’ ? Jejak sejarah menuliskan, para motor penggerak partai berlambang kakbah tersebut dulu pernah mengkalim, bahwa partai tersebut merupakan representasi dari suara umat Islam, karena PPP sendiri lahir dari peleburan partai-partai islam atas kebijakan tiga partai pada rejim Soeharto kala itu.
Hemat saya, sikap Cak Nur tersebut merupakan pengejawantahan dari keinginan dirinya untuk tetap menjaga ‘roda-roda demokrasi’ agar tetap berjalan dengan baik, walau Cak Nur juga menyadari, rejim Soeharto tidak menjalankan demokrasi kala itu.
Cak Nur juga menyadari akan pentingnya ‘civil society’, sebagai benteng terahir demokrasi, agar terus didorong untuk melakukan ‘check and balance’, terhadap sistem demokrasi di Indonesia, utamanya pada masa rejim Soeharto kala itu.
Cak Nur juga faham betul, bahwa ‘partai kubus’ yang telah diperjuangkannya hanyalah ‘ban kempes’ semata. Namun demikian, ‘ban kempes’ tersebut perlu dipompa terus, agar ‘kendaraan politik’ tersebut bisa tetap berjalan dengan baik, di tengah-rengah politik rejim Soeharto yang cenderung refresif.
Bagi Cak Nur, ‘kawin’ dengan oposisi itu sebuah kemuliaan, walau Cak Nur sendiri ahirnya menyadari, usaha tersebut gagal total, karena rejim Soeharto terlalu tangguh untuk dilawan. Langkah ‘kawin’ dengan oposisi kemudian berlanjut ketika Abdurahman Wahid (Gus Dur), naik tahta menjadi presiden ke-10 (Sukarno, Soeharto, Soeharto, Soeharto, Soeharto, Soeharto, Soeharto, Soeharto, Bj. Habibie, Gus Dur).
Walau sesama putra Jombang, Cak Nur tidak ‘ewuh’ untuk mengkritik Gus Dur. Sikap profesional tanpa tedeng aling-aling dan tidak tebang pilih tersebut, menyadarkan Gus Dur sendiri untuk tidak merekrut Cak Nur dalam lingkaran kekuasaan. Gus Dur sadar, Cak Nur akan lebih bermanfaat jika bermain di luar kekuasaan, sebagai ‘CCTV hidup’ demokrasi. Alhasil, hingga Gus Dur ‘mangkat’ dari jabatannya sebagai presiden ke-10, Cak Nur tetap berada di luar lingkaran kekuasaan.
“Kawin dengan Partai Beringin”
“Gempa politik” dengan skala yang cukup besar kembali melanda Indonesia pada tahun 2004. Gempa itu berpusat di Jl. Anggrek Neli, Slipi, Jakarta Barat yang merupakan markas besar dari ‘partai beringin.’ Penyebabnya adalah pergeseran “lempeng politik” Cak Nur yang kala itu ikut maju dalam kontestasi politik praktis, dengan mengikuti konvensi ‘partai beringin’ menjelang “hari raya” Pilpres 2004 yang digagas oleh Akbar Tandjung.
30 Juni 2004, Cak Nur mendeklarasikan dirinya untuk maju dalam konvensi ‘partai beringin’ tersebut. Cak Nur tidak berpangku tangan, beliau langsung bergerak melakukan safari politiknya dengan mengunjungi DPD-DPD yang mempunyai ‘golden ticket’ dalam ajang konvensi tersebut.
Namun, suara gemuruh dan badai mulai datang menerpa Cak Nur. Visi dan misi telah disampaikan kepada mereka, namun nampaknya visi-misi saja tidak cukup bagi mereka untuk mendukung Cak Nur dalam konvensi tersebut. Mereka mempertanyakan “gizi” sebagai amunisi perjuangan mereka dalam memenangkan Cak Nur.
Cak Nur ahirnya menyadari, politik praktis ternyata begitu bengis. Tak berselang lama, ahirnya Cak Nur ‘mundur alon-alon’ dari bursa konvensi partai beringin tersebut. Cak Nur tetaplah Cak Nur, walaupun sempat mencicipi dunia politik praktis, namun beliau tetaplah sosok guru bangsa, yang multiliterat dan juga egaliter.
29 Agustus 2005, sosok berhaja tersebut menghembuskan nafas terahirnya, dan menghadap sang khaliq. Kemudian jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, Kalibata, bersama para guru bangsa yang lainnya yang telah mendahului Cak Nur.
Selamat jalan Cak Nur, gagasan jenengan tetap abadi, membersamai cita-cita bangsa Indonesia, untuk menjadi bangsa yang madani.