Sedang Membaca
Keluarga: Kado Terbaik yang Kadang Tak Dilirik

Mahasantri Mahad Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo, asal dari Majalengka, Jawa Barat. Bisa disapa via IG: llsdrtnfsh_.

Keluarga: Kado Terbaik yang Kadang Tak Dilirik

Kado Terbaik

Dari belasan karya J.S. Khairen, saya cukup tertarik pada bukunya yang ia masukkan dalam ‘paket kenalan’: Kado Terbaik. Berhubung, meskipun saya mengklaim diri sebagai penggemar novel, nama J.S. Khairen masih terasa asing di telinga. Karena itulah saya memutuskan untuk memesan bukunya via online.

Hasilnya tidak mengecewakan. Buku Kado Terbaik yang terbit tahun 2022 itu berhasil membuat saya ‘jatuh cinta pada bacaan pertama’. Cerita yang disuguhkan sederhana namun memukau. Tentang kado terbaik, yang tidak semua orang beruntung memilikinya.

Buku  ini diawali dengan pengenalan si tokoh utama, seorang pemuda bernama Rizki dan dua adik perempuannya, Rizka dan Khanza. Tiga bersaudara ini ‘dibuang’ begitu saja oleh ibu mereka ke sebuah panti asuhan setelah sang ayah tewas tertembak sebagai buron. Padahal, saat itu Rizki masih berusia 14 tahun; Rizka tujuh tahun; dan Si Kecil Khanza baru berumur empat hari. Sialnya, tempat itu bukan panti asuhan betulan. Ia adalah penjara yang mengerikan. Berbagai macam tindak kriminal terhadap anak-anak buangan lengkap sudah di dalamnya.

Di usianya yang masih belia, Rizki dituntut untuk menjalankan peran sebagai ayah, ibu dan kakak sekaligus untuk adik-adiknya. Tentu saja hal itu sangat berat. Apalagi panti yang mereka tinggali bukan ‘rumah’ yang tepat untuk masa pertumbuhan. Anak-anak panti itu dipaksa untuk akrab dengan kerasnya kehidupan jalanan. Kerja paksa, mengemis, bahkan mencopet sudah menjadi keseharian mereka di bawah kungkungan pemilik panti. Pertanyaan yang sangat menohok diajukan Rizki di bagian awal buku; Kalian, saat seusia kami, sedang melakukan apa?

Bertahun-tahun kemudian, Rizki berhasil melarikan diri. Ia kabur berbekal sebuah impian sederhana: ingin mencari pekerjaan yang layak agar bisa membawa dua adiknya keluar dari neraka itu. Namun, kehidupan di luar juga sama kerasnya untuk seorang anak jalanan seperti dia. Tidak punya penghasilan, tidak tahu mau makan apa, juga tidak punya tempat untuk pulang. Dua tahun berlalu, ia masih saja menjadi pemuda jalanan yang serba melarat. Jangankan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk adik-adiknya, untuk biaya makan sehari-hari saja sangat susah.

Baca juga:  Perjalanan di antara Orang-Orang Mualaf: Memandang Kebudayaan Lain dengan “Mata Naipaul”

Alur cerita selanjutnya kemudian mempertemukan Rizki dengan seorang gadis Ibu Kota bernama Rani. Menjelang momen Idul Fitri, gadis itu baru pulang kampung setelah sekian tahun tinggal di Ibu Kota. Namun, pertemuan pertama mereka menyisakan kesan buruk. Pasalnya, Rizki dituduh sebagai pencuri dompet Rani yang tidak sengaja terjatuh saat baru turun dari bus. Padahal, yang mengambil isi dompet itu adalah adiknya sendiri, Rizka dan gengnya.

Kejadian-kejadian selanjutnya mengalir begitu saja. Dengan latar minggu terakhir bulan Ramadan, Rizki mengalami berbagai pengalaman luar biasa. Setidaknya, dalam perspektif  dirinya yang hanya pemuda jalanan. Mulai dari kebutuhan yang memaksanya untuk menjadi pengantar narkoba, terlibat kasus perdagangan manusia, hingga penculikan Khanza dan Junet, adik Rani. Bersama Rani, ia pun mulai menyusun misi penyelamatan adik-adik mereka, tanpa melibatkan polisi. Bagaimanapun, Rizki juga pelaku kriminal. Bagi dia, melapor kepada polisi sama saja dengan bunuh diri.

Apakah misi itu berjalan mulus? Apakah Rizki berhasil menghadirkan keluarga dan kehidupan yang layak untuk kedua adiknya? Bagaimana pula kelanjutan hubungannya dengan Rani? Jawabannya bisa Anda temukan sendiri saat membaca bukunya langsung.

Secara keseluruhan, buku ini menyisipkan banyak sekali pesan moral. Baik itu dari aspek sosial, ekonomi, psikologi, hingga religi. Penulis menyuguhkan sebuah kisah sederhana yang jarang dilirik: potret anak jalanan yang merindukan kehangatan keluarga. Bagaimanapun, tidak semua orang berkesempatan memilikinya. Rizki dan adik-adiknya, misal. Kondisi mereka sangat kontras dengan Rani yang sudah merasa hidup enak di Ibu Kota sehingga mengesampingkan orangtuanya di kampung halaman. Hal ini menjadi refleksi tersendiri bagi kita yang seringkali tergiur untuk melakukan hal-hal hebat di luar sana, namun melupakan permata paling berharga di dekat kita: keluarga.

Baca juga:  Toko Kitab Sapakira Ampenan, NU, dan Sebuah Kota

Buku ini juga bisa menjadi sebuah kritik tajam untuk persoalan hukum dan sosial-ekonomi di negeri ini. Betapa banyak kasus kriminal yang melibatkan anak-anak; panti asuhan illegal, perdagangan organ manusia, hingga kekerasan fisik. Tentu saja hal ini akan berdampak serius pada psikologi dan masa depan anak-anak. Mereka tidak lagi mengenal ajaran moral dan keagamaan. Yang ada hanyalah rasa takut dan trauma yang tak berkesudahan. Sudah sepatutnya kita lebih peka dan mencari solusi terbaik untuk menghadapi kasus-kasus semacam itu.

Uniknya lagi, penulis menyajikan poin-poin spiritual yang anti-mainstream di bukunya. Terbukti dari tokoh Rizki sendiri yang tidak berpuasa Ramadan, tidak pernah salat, hingga mencuri kotak amal. Faktor yang melatarbelakangi hal ini adalah tidak adanya kesempatan untuk mempelajari–apalagi mempraktikkan–ajaran-ajaran agama itu di tengah kehidupan panti yang menyiksa. Meski begitu, penulis  sukses menyajikan kontradiksi ini dengan sangat apik, sehingga kita tidak lagi memandang orang lain sebelah mata.

Dari segi penyampaian, bahasa yang digunakan penulis sangat mudah dipahami. Kalimat-kalimatnya lugas, tapi langsung ngena. Gaya bahasa seperti ini sangat relevan dengan tema yang diangkat penulis: tidak muluk-muluk dan dekat dengan kehidupan. Poin ini jugalah yang membuat saya jatuh hati.

Hanya saja, beberapa teman yang sudah membaca buku ini mengeluhkan ending-nya yang terkesan ‘menggantung’. Secara naluriah, manusia memang selalu menginginkan akhir yang bahagia, meski realitanya tidak selalu seperti itu. Bagi saya pribadi, ending ini sudah cukup memuaskan. Bukankah dalam kehidupan memang akan selalu ada tanya yang tak kunjung mendapatkan jawaban? Lagipula, poin pentingnya bukan soal dia bahagia atau tidak, melainkan tentang bisakah kita mengambil pesan moral darinya atau tidak?

Sebagai simpulan, buku ini sangat recommended untuk dibaca, baik oleh kalangan remaja maupun dewasa. Terlebih oleh mereka yang berstatus sebagai anak pertama atau tulang punggung keluarga. Tokoh Rizki yang berusia dua puluhan kiranya cocok untuk merefleksikan diri kita saat ini: Sudahkah kita sedewasa dan sepenyayang dia? 

Judul buku       : Kado Terbaik

Penulis              : J.S. Khairen

Tebal                  : 248

Penerbit             : Grasindo

Genre                  : Novel (U13+)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top