Indonesia memiliki banyak sumber daya alam yang melimpah ruah, karena luasnya geografis serta memiliki keberagaman. Maka karena itu negeri yang penuh gemah ripah loh jinawi ini dijuluki negeri seribu pulau. Bangsa Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang besar karena menjunjung tinggi, nilai- nilai luhur dan kearifan lokal yang ada. Tetapi dengan tantangan yang ada seperti, globalisasi, imperialisme digital, penjajahan budaya apakah bangsa kita tetap menunjukan eksistensinya? Sebagai bangsa yang besar dan beragam?
Islam merupakan agama yang memiliki ajaran universalitas, dalam melakukan implementasi kepada seluruh elemen yang ada. Karena visi islam adalah rahmat bagi semesta alam. Karena rahmat (kasih sayang) tersebut harmonisasi antara keseimbangan hubungan Tuhan, Manusia, Alam harus tetap dijaga. Wacana Islam dan Lingkungan berawal dari masalah lingkungan hidup, yang semakin kompleks, kepadatan penduduk, iklim yang berubah- ubah, hutan gundul, penggunaan teknologi secara eksploitatif, pembangunan yang tak terkendali.
Masalah- masalah tersebut muncul selalu sebagai usaha manusia reinterpretasi kembali alam dan lingkunganya. Kerusakan alam merupakan bentuk kesalahan manusia terpaut dengan Antroposentris, karena alam bukan sebuah subjek yang mati, bukan juga seperti alat untuk kepuasan keinginan manusia, karena alam juga memiliki jiwa dan juga berkomunikasi dengan kita, melalui bencana alam yang ada sebagai sebuah peringatan. (Harahap: 2015: 4)
Memaknai kembali Islam Nusantara Hijau
Istilah Islam Nusantara di kalangan intelektual NU terletak pada label kata “nusantara” yang mengikuti kata “Islam”. Kata ini bisa mempengaruhi makna Islam yang tidak hanya dimaknai secara normatif, tapi juga variatif. Ketika Islam dan Nusantara menjadi frase Islam Nusantara, artinya sangat beragam. Tergantung cara pandang atau pendekatan yang diambil. Tetapi munculnya Islam Nusantara Hijau, atau kelompok pro- lingkungan dari kalangan nahdliyin, wujud dari gerakan tersebut adanya lembaga seperti FNKSDA atau Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. (Lutfi Muhammad: 2016: 4)
Tetapi dalam praktiknya wacana Marxisme Hijau dan Pesantren adalah kesatuan dalam gerakan tersebut, kita perlu memaknai lebih luas lagi terkait Islam Nusantara Hijau. Islam Nusantara Hijau merupakan Islam yang khas seharusnya tidak memandang suatu golongan manapun untuk memberikan narasi segar akan kelestarian alam. Ekoteologi tidak semerta- merta menjadi amunisi terus menerus akan sebuah perlawanan akan eksploitasi alam. Tetapi Ekoteologi adalah spirit kita sebagai manusia, akan melawan diri kita sendiri yang lalai akan keseimbangan alam. Islam Nusantara Hijau, adalah cara kita berislam dan bernegara mengambil nilai- nilai lokal yang ada, budaya serta tradisi, kearifan lokal yang akan menjaga hubungan alam dengan manusia. Karena pada dasarnya Alam, Manusia, Tuhan adalah satu kesatuan yang saling berhubungan. (Manshur: 2019: 311)
Tradisi, Kearifan Lokal sebagai Gerakan Ekologi
Di negeri seribu pulau ini, Islam Nusantara Hijau seharusnya mengakomodasi keberagaman dan perbedaan tradisi dan kearifan lokal. Karena kearifan lokal dan tradisi merupakan langkah preventif untuk membangkitkan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga alam. Misalnya seperti kearifan lokal masyarakat badui, mereka lebih mengerti cara memotong pohon dan membakar kayu tanpa mengakibatkan kebakaran hutan, kemudian juga dari masyarakat dayak akan simbol sakralitas Burung Enggang, yang Masyarakat Dayak juga mengetahui bahwa spesies istimewa ini merupakan penyebar benih terbaik di hutan dan pelindung alami kelestarian hutan. (Sahertian: 2021: 65)
Kemudian masih banyak lagi seperti tradisi ritual Manten Kucing Ritual ini bertujuan untuk meminta hujan ketika musim kemarau panjang terjadi di daerah tersebut. Tradisi Ritual Sedekah Bumi bentuk rasa syukur kepada alam atas limpahan karunia. Tradisi Bubur Suro di Rancakalong Kabupaten Sumedang sebagai fungsi sarana mencegah persoalan dari alam atau dari sosial budaya. (Yulifar Leli. Dkk. : 2019)
Bangsa Indonesia ini adalah bangsa yang besar dengan keberagaman etnik, suku, tradisi dan budaya serta kearifan lokal. Visi Islam Nusantara Hijau menjaga dan memberikan sublimasi spiritual harus masif, karena Islam Nusantara Hijau ini bukanlah gagasan milik perorangan atau kelompok. Ia harus menyentuh masyarakat yang plural ini, sebagai kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga keharmonisan alam. Islam Nusantara Hijau adalah gagasan yang seharusnya memberikan nafas- nafas untuk menggerakkan gerakan ekologi yang fleksibel dengan nilai- nilai dan budaya yang ada. Bukan hanya persoalan perlawanan kapitalisme dan borjuis, tapi ini adalah persoalan bersama, karena kita hidup beragama pasti memerlukan lingkungan yang aman, dan religius untuk terciptanya Equilibrium antar sesama.
Islam Nusantara Hijau, harus berani mengepakkan sayapnya melindungi tradisi dan kearifan lokal yang ada, atau mengemasnya sesuai dengan zaman. Karena sekali lagi alam bukanlah benda mati, mereka mampu berkomunikasi juga, maka memberikan hubungan mutualisme antara manusia dan alam adalah sesuatu yang sangat kita perlukan di zaman ini. Zaman yang penuh kepalsuan (citra). Semoga tulisan ini bermanfaat, sekian.
Daftar Pustaka
Harahap. 2015. “ETIKA ISLAM DALAM MENGELOLA LINGKUNGAN HIDUP”, Jurnal EduTech Vol .1 No 1. Hlm. 4.
Lutfi Muhammad. 2016. “Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal”, Jurnal SHAHIH – Vol. 1, No 1. Hlm. 4.
Manshur. 2019. “Bersahabat dengan Bumi: Modal Simbolik dalam Mitigasi Bencana Alam”, LWSA Conference Series 02. Hlm. 311.
Sahertian. 2021. “Sakralitas Burung Enggang dalam Teologi Lokal Masyarakat Dayak Kanayatn”, Jurnal EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani; Vol 5, No. 1, Hlm. 65.
Yulifar. Dkk. 2019. “KEARIFAN EKOLOGI DALAM TRADISI BUBUR SURO DI RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG”, Jurnal Patanjala Vol. 11 No. 3.