Sedang Membaca
Unsur-Unsur Kristen dalam Arsitektur Masjid
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Unsur-Unsur Kristen dalam Arsitektur Masjid

  • Setelah menelisik kembali buku-buku tarikh ternyata kita temukan bahwa arsitektural masjid itu profan.

Setelah perjalanan hijrah yang melelahkan itu, Ibnu Hisyam mencatat dalam sirah-nya, Rasulullah saw beristirahat di perkampungan Bani Amr bin ‘Auf. Selama kurang lebih empat hari, di sana beliau membangun pondasi seadanya untuk salat.

Tempat itu kemudian dinamakan Masjid Quba’, sebuah masjid pertama di dunia. Peristiwa ini kemudian diabadikan oleh Alquran surat at-Taubah ayat 108.

Dari masjid sederhana di gersangnya dusun Arab itu, arsitektur masjid berkembang lebih pesat. Para raja-raja Islam setelah Nabi, baik di masa Umayyah, Abbasiyyah, atau setelahnya seakan tak mau kalah dengan kemewahan Romawi, Persia, bahkan Mesir kuno. Dari situ kemudian para raja mengadopsi beberapa unsur “asing” yang mereka anggap penting. Bahkan demi memperhias rumah Tuhan itu, tak jarang para raja rela membangun masjid dari gereja. Buku tarikh mencatat bahwa Jami’ Umawi di Damaskus dan Jami’ Qurthuba di Kordoba dulunya adalah gereja.

***

Adalah mihrab. Lubang tempat imam di barisan depan sebuah masjid itu pertama kali di bangun oleh Umar bin Abdul Aziz (ada versi lain, tapi tak akan saya perpanjang) pada tahun 87 H. Ketika itu Umar—yang belum menjadi khalifah—bertugas di Madinah dan diperintah oleh Raja Al-Walid untuk merenovasi masjid Nabi. 

Baca juga:  Catatan Perjalanan: Foto-foto Masjid Nusantara Terpajang 10 Hari di Belanda

Untuk renovasi itu, Al-Walid sampai meminta bantuan Raja Romawi. “Raja Romawi pun mengirim arsitek dari Romawi Syam maupun Koptik Mesir sebanyak 80 orang,” Baladzuri mencatat dalam Futuh-nya. “Waqidi meriwayatkan dari Abdullah bin Yazid,” Samhudi menulis dalam Khulashah, “bahwa orang Qibth (Koptik) ketika renovasi ditugaskan membangun bagian depan masjid, dan orang Rum membangun bagian luar masjid.”

Keterangan dua sejarawan ini memberikan indikasi bahwa pembangunan mihrab adalah inovasi Kristen Koptik. Keterangan ini juga didukung oleh pernyataan Suyuthi bahwa, “mihrab adalah bangunan khas Kristen” dan “kurang disukai sampai abad dua”.

Selain mihrab, menara juga menjadi satu trademark terpenting yang dimiliki masjid. Menara yang menjadi tempat azan yang paling terkenal di masa itu adalah menara Masjid Damaskus. Ibnu Faqih mencatat dalam Buldan-nya bahwa menara itu berasal dari Gereja Kristen Romawi. “Menara yang kini digunakan tempat azan di Damaskus itu,” catat Ibnu Faqih, “adalah peninggalan gereja Yahya (John The Baptist, pen).”

Adopsi menara yang terletak di samping masjid ini meluas. Bahkan rasanya tak lengkap jika masjid tak memiliki menara. Padahal menara di tempat ibadah adalah warisan budaya Kristen Romawi.

Selain mihrab dan menara, ada satu lagi adopsi asing dalam masjid, yakni kubah. Masjib berkubah pertama kali dalam Islam dibangun oleh Abdul Malik dari Dinasti Umayyah. Masjid itu berada di kompleks Al-Aqsha dan dinamakan dengan qubbatus shakhra’, batu berkubah. Kubah sendiri adalah bukan bangunan yang khas Islam—dalam arti dicontohkan oleh Nabi SAW. Malahan sebagian arkeolog yang fokus mempelajari seni arsitektur Islam berpendapat bahwa kubah adalah jenis bangunan yang berasal dari Yunani.

Baca juga:  Ilmuwan Muslim Cum Musisi (5): Ikhwan al-Shafa Mengatakan, Musik Itu Barang Curian dari Surga

Kubah sendiri adalah lambang keperkasaan. Seringkali di masa sebelum Islam kubah dijadikan bangunan gereja. Gereja Saint Sam’an (kanisah qadis Sam’an) adalah salah satu gereja masyhur yang menggunakan kubah di atasnya.

***

Setelah menelisik kembali buku-buku tarikh ternyata kita temukan bahwa arsitektural masjid itu profan. Bangunan-bangunan masjid seringkali malah mengadopsi unsur di luar Islam. Tiga hal yang paling mencolok di masjid (mihrab, menara, dan kubah) ternyata adalah sisa peninggalan budaya “non-Islam”. 

Karena akulturasi, tiga hal ini malah menjadi trademark bagi masjid-masjid agung peninggalan Islam. Fakta ini memperkuat “profanitas” arsitektur masjid.

Namun yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana kita semua bisa memakmurkan masjid-Nya agar, seperti kata Alquran, senantiasa menjadi orang yang beriman sempurna.

*Artikel ini didukung oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi RI

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top