Salah satu kawasan di Asia Tenggara Daratan populer dengan nama Indocina inilah mengalir sebuah sungai bernama Mekong (berasal dari kata Mae Nam Khong). Mekong mengaliri pada enam negara, hulu sungai ini berada di Cina, tepatnya di Tibet. Dari Tibet sungai mengalir ke Provinsi Yunan, kemudian sungai itu berlanjut memasuki Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, dan bermuara di Vietnam kemudian ke Laut Cina Selatan.
Panjang sungai yang mencapai 4.909 kilometer ini menjadikan Sungai Mekong sebagai sungai terpanjang di Asia Tenggara dan salah satu terpanjang di Asia dan dunia dan awal mula terciptanya peradaban-peradaban di Asia Tenggara dengan Bacson-Hoabinh nama peradaban itu. Peradaban itu terletak di Vietnam sebagai awal kemunculan manusia Asia Tenggara hinggan menyebar ke Kepulauan Nusantara. Bukti-bukti seperti nekara dan moko ditemukan serupa dengan alat-alat di Kepulauan Nusantara (Dermuluk, 2015).
Di Indonesia sendiri, sebelum terjadinya migrasi skala besar pada periode Neolitihic (3000-2000 SM), penduduk asli Indonesia yang disebut sebagai wajak hidup secara primitif dengan cara menangkap ikan dan berburu. Selain itu penangkapan ikan hiu juga telah dilakukan ribuan tahun silam oleh penduduk asli Indonesia terutama mereka berada di wilayah timur Indonesia. Kemudian pada sekitar abad ke 15 dan ke 16 kelompok etnis Bajini, Makasar, Bugis, dan Bajo merintis perdagangan tripang dan trochus untuk diperdagangkan dengan pedagang asal Cina (Banowati, 2014, hal. 04).
Kerajaan Sriwijaya termasuk perdagangan maritim dengan memanfaatkan selat dan sungai. Sriwijaya mengendalikan dan memanfaatkan potensi perdagangan maritim selat Malaka, suatu kawasan paling penting dalam pelayaran utara India dan Cina. Eksistensinya terletak pada kemampuannya dalam mengorganisasi pertukaran komoditas niaga Asia Tenggara untuk pasaran Cina dan Barat dipusatkan di delta sungai Musi penghubung antara Palembang dengan pesisir pantai daerah pedalaman. Para raja Sriwijaya memperhatikan ini dalam membangun ekonomi dan politik negerinya (Hamid, 2013, hal. 51-52).
Kerajaan Majapahit juga tidak berbeda dengan kerajaan Sriwijaya dalam memanfaatkan sungai, masyarakatnya di Trowulan, tampaknya mempunyai kecerdasan yang cukup tinggi dalam memanfaatkan kondisi alam sekitar. Trowulan sebagai pusat kerajaan berada di daerah pedalaman, namun memiliki akses ke luar melalui jalur-jalur air, memanfaatkan sungai, kemudian dikembangkan pembangunan kanal sebagai perpanjangan dari sungai-sungai.
Di dalam Negarakertagama disebutkan bahwa pada barang-barang yang akan dibawa ke Majapahit dari daerah laut diturunkan di pelabuhan besar, kemudian diangkut dengan menggunakan kapal-kapal kecil melalui sungai dan kanal. Tampak di sini bahwa pemanfaatan transportasi air dimaksimalkan. Sungai Brantas sebagai penghubung utama antara daerah pesisir dengan pedalaman telah memberi kontribusi positif terhadap perkembangan peradaban pada masa Majapahit.
Keberadaan sungai dan pelabuhan selain digunakan sebagai pendukung faktor ekonomi, juga digunakan sebagai jalur diplomasi, politik, penyebaran agama, dan kebudayaan. Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap berkembangnya Kota Trowulan (Adrisijanti, 2012).
Selanjutnya negeri Singapura tempo dahulu, sungai sebagai penghubung perdagangan besar dalam memakmurkan negeri tersebut; berdekatan dengan pelabuhan pinggir laut, yang diperuntukkan kapal-kapal kecil. Muara sungai dilindungi oleh meriam-meriam. Ada pula sebuah meriam dna barak militer yang ditempatkan di atas bukit, tepat di bagian tengah kota. Di tempat yang sama juga terdapat sinyal untuk kapal pos dan mercusuar yang memandu kapal-kapal masuk ke teluk (Bastin, 2011, hal. 112) Bahkan hingga sekarang, sungai dan selat Malaka menjadikan Singapura sebagai pusat transaksi bisnis dan niaga internasional.
Lain lagi dengan negeri Brunei Darussalam dijadikan sungai sebagai lokasi tempat tinggal bagi warganya. Mereka tinggal di tengah-tengah sungai besar di Brunei Darussalam. Dari sungai tersebut mereka mencari penghidupan sendiri untuk kebutuhan makanan berupa ikan dan hasil sungai lainnya, dan untuk kebutuhan sandang dan papan mereka akan keluar kampung tersebut menuju ke wilayah daratan yang ada pasarnya, dan kampung tersebut dinamai dengan Kampung Ayer yang letaknya juga tidak jauh dari bibir laut Cina Selatan.
Di era kolonial Belanda di Indonesia juga pernah membuat perubahan terhadap sungai dengan mengendalikan banjir yang pernah terjadi. Seperti yang diterangkan Namanya Verslag Over De Burgelijke Openbare Werken In Nederlandsch-Indie, Over Het Jaar 1908, Batavia Landsdrukkerij 1910. “Isinya sebuah laporan pekerjaan umum sipil di Hindia Belanda pada 1908, tapi diterbitklan 1910,” papar pentolan Komunitas Sejarah Moeara, Timur Sri.
Buku itu secara spesifik memaparkan fenomena di sejumlah sungai di Solo yang terjadi banjir. Diterangkannya banjir bertahan hingga 80 jam. Residen mengeluarkan surat perintah untuk meliburkan sejumlah pegawai pemerintah. Alasannya untuk menjaga kesehatan pegawai. Begitu pula dengan banjir di 1904 di mana ketinggian air masih bertahan 88 cm. Memang tidak ditunjukkan spesifik sungai mana yang menyebabkan banjir.
Namun jika dilihat di kepala petanya, naskah ini dengan jelas menunjuk Sungai Sambeng, Larangan, dan Jenes sebagai penyebab banjir. Kemungkinan dipicu oleh luapan Kali Pepe hingga menimbulkan luapan ke anak sungainya. “Yang jelas naskah ini menunjukkan bahwa tempo dulu banjir surut bukan dalam hitungan jam namun sampai berhari-hari bahkan sampai hitungan pekan.” Alasan itulah Kolonial Belanda memulai proyek-proyek pengendali banjir di Kota Solo. Salah satu yang paling ikonik seperti pembuatan banjir kanal yang kini lebih dikenal dengan sebutan Kali Anyar (Perdana, 2019).
Dengan demikian, sungai pada “tempoe doeloe” Asia Tenggara merupakan sarana penyebaran manusia dan budaya ke berbagai daerah di Nusantara. Setelah perkembangan zaman, sungai-sungai di Asia Tenggara dimanfaatkan untuk kebutuhan perniagaan dan jalur transportasi diplomasi politik, di samping merupakan prasarana transportasi yang menghubungkan antara daerah tepian dengan daerah pedalaman.