Kebudayaan bukanlah sesuatu hal yang dengan sendirinya tertinggal dari progresivitas ilmu dan pengetahuan. Namun, keberadaannya senantiasa menopang akan jalannya ilmu dan pengetahuan. Dalam artian sederhana, kebudayaan dan ilmu merupakan dua aspek yang saling memengaruhi antara satu dengan lainnya. Kebudayaan masa lalu menginisiasi perkembangan ilmu dan pengetahuan baru. Sementara ilmu dan pengetahuan yang berkembang saat ini akan berkemungkinan pada kelahiran kebudayaan baru.
Kendati demikian, kita merasakan bahwa masalah yang menggejala dan kita hadapi bersama dalam pemaknaan keilmuan, acapkali mengaburkan persoalan budaya. Salah satu hal mendasar yang ingin penulis tekankan pada tulisan kali ini adalah keberadaan pengetahuan lokal. Dengan siklus kemajuan akan melesatnya produk sains bernama teknologi, nampaknya penting untuk menyigi keberadaan pengetahuan lokal sebagai basis komunal menjalani peradaban.
Budaya adalah modal sosial jika dikelola dengan baik karena budayalah yang merangkul keanekaragaman yang menjadikan suatu sistem besar dan kompleks bisa resilien (Premana W Premadi, 2023). Pernyataan salah seorang kosmolog tersebut menarik sebagai refleksi bersama untuk telaah lebih lanjut. Tantangan kita sangat jelas ketika mengacu pada perkembangan abad XXI.
Beberapa hal yang terus masih berlangsung di antaranya adalah krisis iklim yang menyeruak dalam berbagai aspek kehidupan dan bayang-bayang kekhawatiran akan ancaman transformasi kecerdasan buatan. Selain itu, perlu menjadi perhatian pula adalah pemersiapan sumber daya manusia ke depan yang memiliki kecakapan ilmu untuk keberlanjutan pembangunan masa depan bangsa.
Apa yang perlu menjadi refleksi? Ada sebuah kritik yang pernah diungkapkan oleh budayawan Radhar Panca Dahana dalam esai “Kebudayaan dan Pendidikan” (Kompas, 8 Mei 2018). Ia menjelaskan pentingnya membuat jembatan sebagai integrasi antara kebudayaan dan pendidikan. Tegasnya, pendidikan akan menginternalisasi bahkan menanam benih kekuatan terbesar yang dimiliki bangsa ini: kebudayaan. Pada saat yang bersamaan, dengan kebudayaan sebagai ruh dari pengetahuan alamiah (baca: ilmiah), kita mendapat garansi untuk memperoleh generasi yang memahami dan mempraktikkan dengan baik aturan moral, etika, hingga di tingkat praksis semacam kesantunan.
Paradoks Teknologi
Teknologi menyajikan dua aras yang berseberangan. Pada satu sisi membantu persebaran informasi dan juga pengetahuan secara efektif dan efisien, sementara di sisi lain memunculkan tantangan yang tak terkira pada distorsi informasi. Kelajuan akan teknologi informasi dan komunikasi menyisakan gejolak yang di sana ada kecamuk dalam persoalan kebudayaan. Betapapun, keberadaan ilmu dan pengetahuan juga sarat akan ancamannya.
Sementara itu, watak lain yang memungkinkan dari kenyataan tersebut adalah acuan terhadap ilmu dan pengetahuan berbasis kebaruan, asing, dan modern. Hal itu kemudian membuat rancu dan mudah membuat negasi pada pengetahuan lokal atau berbasis kebudayaan, yang sejatinya juga mengacu pada metodologi keilmuan. Di sini kita kemudian tergerak untuk melihat beberapa aspek yang ada di lingkungan sekitar.
Ambil contoh sederhana dalam beberapa keterangan berikut. Industri jamu gendong yang melibatkan para buruh bila dikaji secara saksama dalam aspek pengetahuan, di sana bisa menjadi sumber pengetahuan mengenai ilmu kimia dan farmasi. Keberadaan keris bisa menjadi sumber pengetahuan terkait dengan teknik penyepuhan besi dan pemahaman akan jenis logam. Pemahaman mengenai jenis pangan lokal menyiratkan pengetahuan akan ketahanan pangan. Gamelan dapat menjadi sumber pengetahuan tentang pengetahuan metalurgi.
Berkaca pada hal tersebut, di sini menjadi titik pentingnya kebudayaan dalam lanskap keperluan riset dan inovasi. Untuk menghubungan keduanya butuh jembatan bernama etnosains. Metode itu tidak lain merupakan langkah atau cara mengelaborasi pembelajaran keilmuan sains kealaman dengan kebudayaan di lingkungan sekitarnya (Joko Priyono, 2022). Itu menjadi penghargaan dan dialog antara kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Solusi dan Tawaran
Jika mendasarkan pada gagasan di atas, agaknya perlu untuk melakukan rincian bagaimana basis pengembangan riset dan inovasi yang perlu dilakukan. Hal tersebut tak terlepas sebagai bagian integralisasi budaya bangsa dalam mengembangkan keilmuan dan lebih-lebih mempersiapkan Indonesia Emas 2045. Di sini akan ditekankan pada beberapa aspek yang saling terkait antara satu dengan lainnya.
Pertama, dalam aspek pendidikan. Pendidikan sangatlah berperan dalam keperluan pengarusutamaan kebudayaan yang terkoneksi pada ilmu dan pengetahuan. Secara gradual, hal itu dapat diwujudkan pada kepentingan relasi anak-anak sekolah terhadap referensi yang digunakan di sekolah, baik dasar hingga menengah. Referensi itu tentu dapat mengacu pada buku teks pelajaran maupun buku bacaan penunjang yang sesuai jenjangnya.
Dari sana kita tahu, bahwa perlu instrumen yang mengikat dari kebijakan pendidikan terhadap penyediaan referensi. Kebijakan perlu menyaratkan bahwa penyusunan buku bacaan untuk keperluan sekolah perlu memosisikan kebudayaan lokal sebagai basis wacana. Dengan demikian, di sana mengemuka fakta bahwa tiap daerah bisa saja memiliki perbedaan—yang itu sebagai kekhasan.
Dengan kata lain, kita perlu sadar bahwa logika pendidikan yang sentralistik berpeluang besar mengasingkan individu dari daerahnya sendiri. Tercerabut dari kebudayaan lokal. Dibutuhkan perangkat yang memadai. Kebijakan yang terintegralisasi dari pusat ke daerah untuk pelibatan kebudayaan dalam susunan teks sangat perlu diperkuat. Ini menjadi fondasi mendasar dalam mengupayakan kesajaran sejak dini akan pentingnya kebudayaan.
Kedua, kelembagaan riset. Jalan riset maupun penelitian perlu mengimbangi dalam produksi pengetahuan yang mengarah ke pengembangan kebudayaan dalam aspek ilmu pengetahuan. Di sini kehadiran negara sangatlah penting melalui lembaga-lembaga riset yang dimilikinya. Lembaga tersebut saling gayung bersambut membuat kebijakan dalam kerja-kerja riset yang menjadikan penelitian pada aspek kebudayaan dan ilmu pengetahuan sebagai arus utama.
Hal itu juga menjadi bagian upaya menjawab kepercayaan lembaga riset terhadap publik. Betapapun, secara mendasar publik menantikan jawaban konkret akan masalah yang menggejala dalam perubahan zaman. Korelasi tersebut kemudian menjadi bahan pertimbangan untuk menyusun kebijakan. Seturut dengan uraian astronom Bambang Hidayat dalam buku Kepalungan Budaya: Batas Pengetahuan, Pemberdayaan Iptek dan Ilmuwan Masa Depan (2022): “Keseimbangan di antara keduanya harus tetap menjadi panduan sumbangsih kepada masyarakat dan tatap muka ilmuwan dengan birokrat.”
Ketiga, keperluan media. Fungsi mendasar dari media tiada lain adalah sebagai publikasi. Hal tersebut dibutuhkan sekali, mengingat teknologi digital yang terus menggeliat. Sebagai muara dari hasil riset dan inovasi, hasil yang didapatkan perlu dijadikan bahan untuk transformasi pengetahuan kepada khalayak umum. Itu juga tak terlepas, bagaimana kepentingan ke depan hasil riset membentuk kesadaran banyak orang bahwa banyak hal di lingkungan sekitar yang terdefinisikan sebagai kebudayaan menjadi sumber pengetahuan.
Matematikawan Iwan Pranoto dalam buku Kasmaran Berilmu Pengetahuan (2019) menegaskan: “Keterlibatan dan peran serta media dalam menggelorakan kasmaran berilmu pengetahuan di negara ini juga perlu direncanakan bersama. Sejalan dengan itu, pada sisi ilmu pengetahuan, perlu upaya sistematis para akademisi dalam menularkan kegairahannya berilmu pengetahuan ke masyarakat luas lewat sajian publik dan tulisan populer.” Tanpa kemauan untuk melakukan publikasi, ilmu dan pengetahuan hanya akan berkemungkinan diketahui sebagian kelompok saja.
Kesadaran tersebut lantas membuat komitmen dan keteguhan dalam menjalani kehidupan yang senantiasa terus berkembang. Muara tersebut berupa cakrawala bahwa kebudayaan perlu dijaga, dirawat, dan ditelaah secara mendalam. Hal itu berpangkal pada satu hal mendasar, bahwa kebudayaan menjadi barang yang begitu berharga dan kepedulian terhadapnya akan menjadi bekal berharga untuk menghadapi perubahan dan perkembangan zaman.[]