
Ketika kita membaca kitab-kitab klasik seperti Fathul Qorib, Fathul Mu’in, dan lainnya, mungkin kita sering menemukan pembahasan-pembahasan yang terasa jauh dari kehidupan kita saat ini.
Misalnya, dalam bab mu’amalah ada pembahasan tentang akad syuf’ah (pengambilan hak secara paksa), dalam bab pernikahan dibahas tentang istibra’, lalu ada juga dalam bab jinayat pembahasan tentang qisas, peradilan, perbudakan, dan lain-lain.
Ketika mempelajari hal-hal tersebut, mungkin muncul pertanyaan di benak kita: “Apa gunanya kita mempelajari semua ini, jika kenyataannya sudah tidak bisa diterapkan dalam kehidupan sekarang?”
Saya teringat sebuah pembahasan dalam kitab Nidhamul Islam saat mempelajari fikih siyasah di jenjang Marhalah Ula (M1) dulu. Di sana dijelaskan bahwa Islam tidak menentukan bentuk baku suatu sistem kenegaraan, tetapi Islam memberikan prinsip-prinsip dasar yang bisa diterapkan dengan berbagai bentuk dan cara, sesuai dengan zaman dan kondisi masyarakat.
Kalau kita melihat sistem kenegaraan di Indonesia, tentu berbeda jauh dari sistem yang dijelaskan dalam kitab-kitab klasik. Tapi kalau kita perhatikan, nilai-nilai dasar Islam sebenarnya masih ada. Pancasila misalnya, lima silanya mengandung nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini bisa menjadi alasan bagi kita untuk tetap lapang dada, bahwa meskipun bentuk penerapannya tidak sama seperti dulu, tapi nilai-nilai Islam tetap hidup dalam sistem negara ini.
Hal yang ingin saya sampaikan, Menurut saya, inilah pentingnya mempelajari kitab-kitab klasik, meskipun isinya terasa tidak relevan lagi. Tujuan utamanya bukan semata-mata untuk diterapkan secara langsung, tapi untuk memahami prinsip-prinsip ajaran Islam. Kita meyakini bahwa ajaran Islam akan selalu relevan, kapan pun dan di mana pun. Meskipun kita tidak bisa menerapkannya secara utuh, setidaknya prinsip-prinsip itu bisa menjadi pegangan hidup kita dalam bersikap dan bertindak.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Al-‘Ulama’ Al-Mujaddidun karya KH. Maimoen Zubair:
فالأحكام القرآنية أو الشرعية التي لم نستطع العمل بها لا يجوز تبديلها وتغييرها من قبل أنفسنا، ولا سيما بدعوى الاجتهاد والاستنباط. وإنما الواجب علينا تجاهها العمل بما أمكن في حدود أنفسنا وأهلينا وخدامنا ومن تحت رعايتنا، قال تعالى: لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا.
Hukum-hukum yang berasal dari al-Qur’an atau syariat yang belum bisa kita amalkan, tidak boleh diubah atau ditinggalkan, karena ia adalah pesan dari Allah. Kewajiban kita adalah berusaha menerapkannya semampu kita, mulai dari diri sendiri, keluarga, orang-orang terdekat, hingga orang yang menjadi tanggungan kita. Allah berfirman:
“لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا”
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Sebagai contoh, dalam pembahasan perbudakan, khususnya dalam akad kithabah (memerdekakan budak dengan syarat cicilan), disebutkan dalam kitab Fathul Mu’in:
ﻭﻟﺰﻡ ﺳﻴﺪا ﺣﻂ ﻣﺘﻤﻮﻝ ﻣﻨﻪ
Secara pemahaman: “Wajib bagi tuan (pemilik budak) untuk meringankan beban budaknya, seperti mengurangi cicilan atau membantu pelunasan cicilannya agar si budak bisa merdeka.”
Perbuatan tersebut wajib dilakukan dalam rangka memberi pertolongan kepada budak.
Kalau kita tarik ke konteks sekarang, prinsip seperti ini bisa diterapkan dalam urusan utang-piutang. Jika ada orang yang berutang kepada kita dan sedang kesulitan, kita bisa meringankan beban mereka, misalnya dengan memberi keringanan atau menunda pembayaran. Ini adalah contoh bagaimana ajaran Islam bisa tetap diamalkan dengan bentuk yang berbeda sesuai dengan zaman.
Kesimpulannya, meskipun kita tidak bisa menerapkan isi kitab-kitab turats secara rinci (furu’), namun mempelajarinya tetap penting. Setidaknya, dari situ kita bisa memahami prinsip-prinsip ajaran Islam yang bersifat universal agar bisa diamalkan seiring berjalannya waktu. Semuanya ini sejalan dengan bunyi kaidah:
ما لا يدرك كله لا يترك كله
“Apa yang tidak bisa dilakukan secara keseluruhan, jangan ditinggalkan semuanya.”