Sedang Membaca
Ramadan: Dari Rekonsiliasi yang Meleburkan Menuju Rekonsiliasi yang Menyuburkan
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Ramadan: Dari Rekonsiliasi yang Meleburkan Menuju Rekonsiliasi yang Menyuburkan

Gus Dur Dan Pram

Bulan puasa kali ini memang terkesan berbeda dengan bulan-bulan puasa sebelumnya. Di samping berbarengan dengan perayaan Hari Nyepi dan Hari Paskah, yang membuat satu peristiwa nyaris serupa dalam satu agenda personal, moderasi diri, pemilu yang baru saja digelar, dengan segala konsekuensi perbedaan dan pertentangan yang menyertainya, mendapatkan momen untuk setidaknya meminimalisir segala perbedaan dan pertentangan itu. Bulan puasa pun, meskipun sama sekali tak ada kaitannya dengan politik praktis, banyak yang memfungsikannya sebagai ajang rekonsiliasi politik.

Rekonsiliasi secara sederhana dimaknai sebagai sebentuk upaya perdamaian atas segala perbedaan, pertentangan, dan bahkan permusuhan, yang selama ini dianggap ada. Bahkan pun, ketika hukum dipandang sudah tak bisa mengupayakan keadilan yang diangankan, sebagaimana peristiwa ‘65, seringkali rekonsiliasi itu dianggap sebagai sebuah solusi yang menuntut keikhlasan ala malaikat.

Pemaknaan rekonsiliasi cukup gamblang ketika kita kembali menengok dialektika Fichte dan Hegel dalam tradisi filsafat idealis, meskipun rekonsiliasi di situ adalah bagian dari sebentuk logika dan hukum-hukum fisika, yang kemudian dijungkirbalikkan oleh Marx sebagai sebentuk hukum sosial.

Dalam rumus Fichte, rekonsiliasi itu adalah sebuah kemestian setelah sebelumnya terdapat afirmasi yang sepaket dengan negasinya. Atau dalam rumus Hegel, rekonsiliasi itu sepadan dengan sintesa dimana pertentangan antara tesa yang sepaket dengan antitesanya diangkat atau ditarik pada tataran yang lebih luhur yang kemudian membentuk satu identitas yang baru, yang kelak akan menjadi sebentuk tesa yang baru.

Baca juga:  Perbedaan Pendapat itu Rahmat, bukan Laknat!

Pada titik itu sangat tampak bahwa Fichte, dan khususnya Hegel, sangat tampak “islami,” atau setidaknya tampak religius, ketika religiusitas di situ adalah soal sejauh mana seseorang memahami substansi dari pesan-pesan agama.

Dalam kacamata agama, rekonsiliasi memang adalah sebuah laku sekaligus peristiwa yang akan mengangkat nilai rohani seseorang. Ada banyak kisah dalam agama yang mana seorang pendosa besar dapat mendapatkan derajat yang luhur, bahkan surga, hanya karena ia melakukan sebentuk rekonsiliasi diri atau bertobat bulat-bulat. Pun, kisah-kisah dari seorang yang melakukan rekonsiliasi dengan jalan memaafkan orang-orang yang dianggap bersalah pada dirinya, sekalipun kesalahan-kesalahan itu tak terukur dengan nalar.

Namun, karena menjadi bagian dari dialektika, rekonsiliasi pada masa mutakhir pun banyak mendapatkan penggoyahan secara konseptual. Dialektika, menurut banyak pemikir mutakhir, adalah sebentuk kerangka pikir dimana perbedaan (individualitas) yang secara fundamental adalah kehidupan seseorang atau sesuatu akan berpotensi hilang dan otomatis mati yang secara organik akan berpengaruh pada keseluruhan. Totalitarianisme dan otoritarianisme dalam politik dan politik keagamaan adalah sisi gelap dialektika yang memuat prinsip rekonsiliasi itu. Maka, tak salah ketika ada yang menahbiskan bahwa Hegel, di masa Barat-modern, adalah bapak totalitarianisme kiri dan kanan sekaligus.

Dengan demikian, ketika rekonsiliasi di masa mutakhir banyak dianggap dapat berpotensi meleburkan kebinekaan, yang merupakan kerangka dasar sosio-budaya Indonesia, rekonsiliasi yang seperti apakah yang selaiknya diajukan, yang secara historis sudah terbuktikan secara konstruktif?

Baca juga:  Kampus Merdeka, Mahasiswa di Tuntut Merdeka Seperti Apa?

Pramoedya Ananta-Toer, ketika memberi ruang pada seorang Abdurrahman Wahid, hanya sudi menerimanya sebagai seorang teman, sebagai seorang manusia, dan bukannya sang juru islah atau rekonsiliator peristiwa ’65 dimana golongannya pernah terlibat. Dan sebagai seorang yang religius dan juga paham seluk-beluk agama, seorang Abdurrahman Wahid tak pernah pula mempersoalkan sikap dan penyikapan Pram itu. Ia mampu berpikir dan bersikap melampaui sekat-sekat dogma agama.

Bukankah justru sikap yang tak terkesan sok meminta maaf dan memberi maaf kedua tokoh besar itulah yang secara historis terbukti mengangkat mereka pada tataran yang lebih tinggi dan lebih produktif, dimana tesa dan antitesa akan senantiasa berada di ruang liminal, berdialog, untuk menemukan momen penyingkapan dengan sendirinya, yang oleh agama diistilahkan sebagai “hidayah”?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top