Sedang Membaca
Pangeran Joyorogo dan Gagalnya Proyek Geopolitik Sang Senapati
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Pangeran Joyorogo dan Gagalnya Proyek Geopolitik Sang Senapati

(Makam Pangeran Joyonegoro dan “sandi” pohon Tanjung)

“Kakang Mas sekalian, mulai dari sekarang Kakang Mas saya silahkan untuk beristirahat di sini untuk selamanya. Tidak diperbolehkan keluar dari sini tanpa mendapat perintah dari raja. Selamat bertempat tinggal di sini, dan saya akan meneruskan perjalanan,” demikianlah pesan Pangeran Pringgoloyo dalam Babad Ponorogo (Purwowijoyo) kepada seseorang yang mesti menanggung hukuman pengasingan atas pembangkangan dan pemberontakannya pada Mataram.

Jamak diketahui bahwa islamisasi di tanah Jawa terjadi secara bergelombang. Setidaknya, di samping islamisasi dengan motif dagang, yang dikenal dengan islamisasi gelombang kedua, islamisasi Jawa disebabkan pula oleh tersisihnya secara politik para sufi dari tanah asalnya, yang kemudian lazim dikenal sebagai islamisasi gelombang pertama di Jawa.

Dengan kenyataan itulah kemudian juga terdapat anggapan mengenai keberadaan dan sepak-terjang para ulama-sufi yang konon terjadi semata karena kalah perang, yang biasanya anggapan ini dilancarkan oleh gerakan-gerakan keislaman yang cenderung formal-struktural.

Namun, tentu saja, soal olok-memperolok, gerakan-gerakan keislaman yang cenderung formal-struktural itu tak pula suci dari “aib historis”: dagang.

Dalam Sejarah Indonesia Modern, M.C. Ricklefs mengungkapkan bahwa penyebaran agama Islam atau islamisasi adalah suatu proses yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Apalagi ketika kita membicarakan kerajaan-kerajaan pasca Majapahit.

Demak, Pajang, dan Mataram, seolah tak dapat tumbuh dan berkembang tanpa mengaitkannya dengan penyebaran agama Islam. Entah keberadaan agama Islam di sini sekedar menjadi faktor pembeda dengan tatanan lama, Majapahit, atau secara substantif memang menjadi identitas kerajaan-kerajaan pasca Majapahit, relasi kuasa-pengetahuan pada masa Demak, Pajang, dan Mataram, memang sama sekali tak dapat dilepaskan dari agama Islam.

Taruhlah gelar “Sultan” ataupun “Khalifatullah” yang dipakai pada masa Demak, Pajang, dan Mataram, yang akan terkesan sulit ketika kita tak menyertakan sedikit pemahaman akan agama Islam pada saat menyikapinya.

Di Ponorogo Selatan, Jawa Timur, terdapat seorang bangsawan tersisih yang kemudian melahirkan jejaring para pangeran tersisih atau ulama-ulama yang lebih memilih menyisih dari pusat-pusat kekuasaan.

Bangsawan itu adalah Raden Mas Barthotot, Pangeran Joyorogo, atau juga dikenal sebagai Adipati Joyonegoro di Kadipaten Gading Rejo, Sambit, Ponorogo. Pangeran Joyorogo adalah salah satu putra dari Panembahan Senapati yang membangkang terhadap kepemimpinan sang adik, Hanyokrowati atau Mas Jolang, sebagaimana yang dilakukan pula oleh Pangeran Puger di Demak.

Pangeran Joyorogo sendiri, sebagai saudara tua, tampaknya memang tak puas dengan pemilihan Mas Jolang atas tahta Mataram sebagaimana Pangeran Puger di Demak. Namun, dalam Babad Sangkala dari tradisi Merapi-Merbabu (Catatan Sebuah Peristiwa Pada Masa Amangkurat I dari Naskah Merapi-Merbabu, Manuskripta, Jurnal Manassa, Vol. 6), pada masa ini memang tengah terjadi konsolidasi sisa-sisa wilayah kekuasaan Demak-Pajang di Bang Wetan untuk menghadapi ekspansi atau proyek geopolitik Panembahan Senapati.

Baca juga:  Mengenang KH A. Wachid Hasjim: Perjalanan Terakhir Menuju Sumedang, 18 April 1953

Perlawanan atas ekspansi Mataram di bawah kepemimpinan Senapati itu sangat kentara berpusat di Madiun, dengan Pangeran Timur atau Adipati Rangga Jumena sebagai konsolidator. Peristiwa ini, dalam Babad Sangkala dari tradisi Merapi-Merbabu, disebut dengan peristiwa “Pasenapati Balik” atau pengkhianatan Senapati pada Adipati Rangga Jumena.

Dalam catatan silsilah dari makam salah satu cucunya, Ki Ageng Mantup atau Kyai Nursalim, di Desa Ngasinan Ponorogo, Pangeran Joyorogo adalah anak Panembahan Senapati dengan Raden Ayu Retna Dumilah, putri dari Panembahan Madiun II atau Raden Mas Petak. Namun, mengingat selisih masa antara Panembahan Madiun II dan Pangeran Joyorogo, Panembahan Madiun di sini sebenarnya adalah Panembahan Madiun I atau Pangeran Timur (Adipati Rangga Jumena), penerus dinasti Demak dan Pajang yang konon terpikat kemolekan Nyi Adisara yang sengaja dilepaskan Senapati untuk melemahkan pertahanannya (politik rantai emas khas Mataram).

Silsilah Ki Ageng Mantup
(Silsilah Ki Ageng Mantup yang juga bersambung pada Sultan Trenggana dan Raden Ayu Pembayun)

Sementara, menurut versi Kajoran Klaten, menyatakan bahwa Pangeran Joyorogo adalah anak Senapati dengan, dalam catatan De Graaf (Runtuhnya Istana Mataram), Raden Ayu Mataram, yang merupakan salah seorang putri dari pendiri trah Kajoran, Panembahan Agung Kajoran, yang kelak menurunkan otak dari runtuhnya kerajaan Mataram Pleret, Panembahan Rama, sang mertua Trunajaya.

Sebelum menarik jalur genealogis ke Kajoran dan Bayat, genealogi Pangeran Joyorogo sebenarnya singgah dahulu di Ponorogo. Sebab, Panembahan Agung Kajoran, yang mengawali trah Kajoran di Klaten, adalah anak dari Panembahan Agung Ponorogo atau adipati kedua Kadipaten Ponorogo. Ia dikenal pula sebagai Pangeran Wotgaleh atau Sayid Kalkum yang merupakan adik dari Sunan Bayat.

Dengan demikian, cukup beralasan ketika Sang Pangeran Tumpak Swangon, atau lebih dikenal sebagai Pangeran Joyorogo atau Adipati Joyonegoro ditugaskan oleh kerajaan Mataram untuk memimpin wilayah Ponorogo Selatan atau Kadipaten Gadingrejo, mengingat ia adalah cucu dari Bathara Katong, sang pendiri Kadipaten Ponorogo.

Nisan Pangeran Joyorogo
(Nisan Pangeran Joyorogo yang jauh dari kemegahan seorang pangeran)

Versi Kajoran terbilang cukup kuat mengingat proyek geopolitik Senapati yang konon disematkan pada gelar-gelar yang disandang oleh para anaknya untuk menakhlukkan wilayah Bang Wetan atau berbagai wilayah di Jawa Timur sekarang, sisa-sisa pemerintahan Demak dan Pajang.

Taruhlah gelar Pangeran Joyorogo yang sebermulanya, selepas Danang Sutawijaya bergelar Panembahan Senapati Ing Alaga, merupakan gelar yang disematkan pada Raden Mas Bathotot. Istilah “Joyorogo” memang cukup identik dengan istilah “Ponorogo,” sebagaimana juga istilah “Balitar” pada gelar Pangeran Balitar dan istilah “Puger” pada gelar Pangeran Puger yang identik dengan wilayah-wilayah di Bang Wetan.

Jadi, gelar-gelar kepangeranan yang disematkan pada anak-anak Senapati, selepas mengangkat diri menjadi penguasa Mataram, adalah sebentuk strategi militer dari proyek geopolitik Sang Senapati untuk total menakhlukkan wilayah-wilayah Bang Wetan yang kelak dituntaskan oleh Sultan Agung.

Baca juga:  Ahli Fatrah dan Status Kedua Orang Tua Nabi

Namun, sejarah berkata lain, selepas Senapati mangkat, ketika Mas Jolang dinobatkan menjadi raja Mataram, proyek-proyek geopolitik Senapati yang jenius itu tengah di ambang kegagalan. Pangeran Puger, sebagai adipati Demak, yang barangkali sebermulanya diniatkan untuk menakhlukkan daerah Puger (Jember sekarang), membangkang dan memberontak.

Sementara, dalam catatan Babad Ponorogo, Pangeran Joyorogo mengubah gelarnya menjadi Joyonegoro yang secara terang-terangan ingin menyaingi kekuasaan sang adik, Hanyakrawati atau Mas Jolang, di Mataram.

Mas Jolang pun tak tinggal diam. Ia lekas mengutus adiknya, Pangeran Pringgoloyo, yang juga merupakan adik dari Pangeran Joyorogo, untuk memastikan apakah benar Adipati Gadingrejo itu memberontak: “Adi Mas Pringgoloyo. Kamu jangan enggan dan takut untuk bertindak. Sekarang kamu kuperintahkan untuk pergi ke Gadingrejo. Buktikan keadaan Kang Mas Joyorogo. Pastikan apa yang telah menjadi tekadnya. Kamu saya beri wewenang untuk bertindak. Jika dia di pihak musuh, jangan enggan. Tangkap dan asingkan di masjid batu. Namun jika melawan, habisi saja.”

Kemudian, Pangeran Pringgoloyo memastikan bahwa Pangerang Joyorogo memang membangkang dan memberontak pada Mataram. Penyebutan berada “Di pihak musuh” dalam keterangan Babad Ponorogo itu memang membuktikan bahwa Pangeran Joyorogo terlibat dalam konsolidasi wilayah-wilayah Bang Wetan yang sebelumnya telah digalang oleh Pangeran Timur atau Adipati Rangga Jumena.

Jadi, tak sebagaimana yang selama ini diyakini bahwa faktor kecemburuan adalah faktor yang menjadi pemantik pemberontakan di masa Mataram awal, konsolidasi Bang Wetan, yang merupakan sisa-sisa wilayah kekuasaan Demak-Pajang, adalah yang menjadi faktor penentu pembangkangan dan pemberontakan. Sebab, siapa pun tahu, bahwa putra dari permaisurilah yang akan meneruskan tahta Mataram.

Pangeran Joyorogo pun diberi hukuman pengasingan dimana, tanpa titah Hanyakrawati atau Mas Jolang, dilarang untuk keluar dari Gunung Loreng yang sekarang berada di ujung Selatan Kabupaten Ponorogo.

Namun, meskipun Pangeran Joyorogo ditundukkan kembali oleh Mataram, prinsip hidup dan independensinya tetap terburai dengan gamblang. Perdikan Tegalsari di Ponorogo dan Perdikan Sewulan di Madiun adalah beberapa bukti dari ketaktundukan Pangeran Joyorogo pada Mataram.

Baca juga:  Hikayat Kurma; Dari Mesopotamia Kuno Hingga Tradisi Islam

Dalam pengasingannya, Pangeran Joyorogo telah melahirkan seorang yang menjadi pusat dari penguasa-penguasa agama di Bang Wetan, yang seakan meneguhkan kembali identitas Demak dan Pajang di tanah Jawa.

Anak itu kemudian lebih dikenal dengan nama Pangeran Dugel Kesambi atau Ki Ageng Kasan Buntoro, seorang yang dikenal sebagai kyai kelana penyebar agama Islam di wilayah Ponorogo Selatan.

Makan Ki Ageng Kasan Buntoro
(Makam Pangeran Dugel Kesambi, leluhur Tegalsari Ponorogo dan Sewulan Madiun)

Untuk wilayah Ponorogo, khususnya pada abad ke-18, kita mungkin hanya mengenal nama Kyai Ageng Mohammad Besari sebagai pusat penyebar agama Islam atau islamisasi di wilayah Ponorogo Selatan dan Madiun—yang mungkin juga wilayah Jawa Timur secara umum mengingat berbagai pesantren besar di sini banyak yang menautkan nasab dengannya.

Memang benar, secara ideologis, Kyai Ageng Mohammad Besari adalah pusat dari corak Islam-Jawa di Jawa pada abad ke-18. Namun, secara genealogis, Pangeran Joyorogo adalah yang menjadi pusatnya.

Pangeran Dugel Kesambi, yang merupakan putra satu-satunya Pangeran Joyorogo, memiliki anak yang dikenal sebagai Ki Ageng Mantup atau Kyai Nursalim, yang merupakan mertua dari Kyai Ageng Mohammad Besari (pemberi suaka PB II yang melarikan diri dari Kartasura). Dan juga ayah dari Nyai Imam Muhyi yang merupakan ibu dari Bagus Harun Basyariyah atau Ki Ageng Sewulan yang merupakan murid terkasih dari Kyai Ageng Mohammad Besari. Jadi, Bagus Harun merupakan sepupu dari Nyai Ageng Mohammad Besari.

Makam Ki Ageng Mantup Dan Pohon Tanjung
(Makam Ki Ageng Mantup dan “sandi” Pohon Tanjung)

Maka, dapat dipahami ketika Bagus Harun pernah menampik jabatan Adipati Banten atas jasanya dalam memadamkan peristiwa Geger Pacinan di Kartasura, dan lebih memilih menyisih untuk menjadi kyai-sufi. Langkah itu diikuti pula oleh Kanjeng Kyai Kasan Besari, cucu dari Kyai Ageng Mohammad Besari, yang konon juga pernah melepaskan kesempatan untuk menjadi seorang raja dan sekedar menerima seorang putri triman dari PB IV di Kasunanan Surakarta.

Demikianlah para anak keturunan Pangeran Joyorogo yang ternyata lebih sesuai dengan tipikal sang pusat Islam-Jawa pada masa Demak dan Pajang, Sunan Kalijaga, daripada Panembahan Senapati di Mataram. Ketika ditarik ke atas, ternyata mereka semua masih merupakan anak keturunan yang lebih menghidupi detak jantung kekuasaan Demak dan Pajang daripada Mataram. Apalagi ketika garis keturunan mereka ditarik dari silsilah Ki Ageng Mantup yang merupakan anak dari Retna Dumilah dan cucu dari Rangga Jumena, anak dari Trenggana dan Pembayun, putri dari Sunan Kalijaga.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top