Moderasi beragama, yang bagaimana pun akan melahirkan sikap toleran terhadap perbedaan, ternyata cukuplah sederhana untuk dilakukan. Di Kabupaten Ponorogo, tepatnya di Dukuh Kebonagung, Kesugihan, Pulung, terdapat sebuah komunitas, atau yang oleh para warganya disebut “pirukunan,” Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU).
“Ati legawa, guyub keluarga,” kata Nyi Mariyam, seorang isteri dari mendiang sesepuh PAMU di daerah Pulung, Ki Mangun Joyo, yang merupakan putra dari Ki Marto Oetomo, seorang “wakil wirid” yang konon ditunjuk langsung sang pendiri, Ki Ageng Djojo Poernomo, yang dikenal pula dengan nama Arya Papak atau Pangeran Notoprojo. Arya Papak inilah yang pernah diabadikan oleh seorang Adurrahman Wahid dalam sebuah esainya, “Kematian Seorang Pangeran.”
Meskipun Nyi Mariyam juga seorang warga PAMU, namun ia tetaplah melakukan syari’at Islam tak sebagaimana mendiang suaminya, Ki Mangun Joyo, yang hanya cukup beragama dengan cara PAMU. Ataupun juga salah satu anaknya yang justru beragama Kristen di samping juga seorang warga PAMU.
Keadaan yang majemuk semacam itu adalah sebuah bukti bahwa PAMU, sebagaimana pula aliran-aliran penghayat kepercayaan lainnya, tak pernah menempatkan identitas keagamaan sebagai sebuah persoalan.
“PAMU adalah wadah agama-agama,” jelas Nyi Mariyam yang sore itu ditemani oleh putranya, Ananto Pratikno, seorang pegawai pemerintah setempat.
Ngangsu kawruh di Panti Prihatin, sebutan untuk pesanggrahan PAMU di daerah Pulung, memang tak hanya diikuti oleh orang-orang yang beragama Islam ataupun bersuku Jawa saja. Agama apapun ternyata ada. Dan bahkan pernah pula, kata Pratikno, sebuah tarekat besar di Jombang, Shidiqqiyah, ikut berbaiat pada Ki Mangun Joyo, mencecap kawruh PAMU, tanpa perlu menanggalkan status ketarekatannya.
Hidup dalam kebhinekaan yang nyata, sebagaimana yang dialami oleh Nyi Mariyam, tentu bukanlah hal yang gampang untuk dilakoni seandainya hanya mengandalkan kacamata Islam syari’at belaka. Tentu terdapat sebuah dasar yang kuat untuk membangun sebentuk moderasi beragama yang tak sekedar klaim semacam itu.
Bayangkanlah ketika, misalnya, dengan latar-belakang Islam syari’at yang kuat, dan bahkan konon keturunan seorang kyai, sang suami, Ki Mangun Joyo, tak begitu gumregah ketika diajak shalat, bahkan pun oleh besannya yang merupakan seorang Muhammadiyah.
“Duluan saja,” kisah Nyi Mariyam yang konon merupakan jawaban Ki Mangun Joyo.
Namun, begitu shalat berjamaah sudah selesai dan Ki Mangun tak juga nongol, ketika kembali dikorek oleh Nyi Mariyam, “Sudah telat, shalatnya sudah selesai,” kilah sang pemangku wirid itu.
Berbeda dengan Nyi Mariyam, Pratikno memiliki penjelasan yang lain tentang bentuk shalat mendiang Bapaknya, yang konon hanya memerlukan kesucian batin dan bukannya kesucian lahir.
Untuk membuat hati yang lega atas apa yang berbeda, tentu membutuhkan pemahaman keagamaan yang tak sekedar ala kadarnya. Ki Ageng Djojo Poernomo, berdasarkan namanya sebagai Arya Papak atau Pangeran Notoprojo, konon merupakan cucu dari seorang pahlawan nasional, Nyi Ageng Serang, yang masih merupakan keturunan Sunan Kalijaga.
Tercatat, Nyi Ageng Serang merupakan penasehat perang Pangeran Dipanegara dalam perang Jawa, yang juga merupakan besan dari HB II. Jadi, benarlah bahwa Pangeran Papak adalah memang seorang pangeran.
Seorang antropolog, Andrew Beatty, pernah mengisahkan sang pangeran itu dalam catatan antropologisnya, Varieties of Javanese Religion: An Anthropological Account (1999). Dalam catatan itu, Ki Ageng Djojo Poernomo disamarkan menjadi “Ki Ageng Joyokusumo” dan PAMU menjadi Paguyuban “Sangkan Paran” yang membabarkan kawruh kamanungsan (knowledge of humanity).
Jadi, ketika dirunut, meskipun berstatus sebagai sebuah aliran penghayat kepercayaan, PAMU adalah sebentuk kajian agama dalam perspektif hakikat. Karena itulah di PAMU juga dikenal sanad keilmuan laiknya tarekat-tarekat islami yang bersambung sampai Abu Bakar dan Nabi Muhammad.
Namun, karena berpokok pada hakikat, dan inilah perbedaannya dengan tarekat, sanad keilmuan itu pun akhirnya juga berstatus sebagai “sanepan” yang mesti diungkai. Maka, terdapat pula perspektif bahwa PAMU pada dasarnya adalah sebentuk spiritualitas yang sudah ada di Jawa sejak kuno makuno, yang identik dengan kearifan perenial yang konon saling bersinggungan dengan agama atau sistem spiritual apapun dan di mana pun. Bukankah manusia dan kemanusiannya senantiasa sama tak peduli warna kulit ataupun status sosialnya?
Moderasi beragama, yang otomatis akan membuahkan toleransi pada perbedaan, dalam kesimpulan saya atas PAMU, dilakukan dengan dua strategi utama: substansialisasi agama dan, untuk menghindari istilah “pribumi,” lokalisasi agama.
Substansialisasi agama yang dilakukan PAMU tak mesti dimaknai dengan lenyapnya identitas keagamaan sebagaimana yang selama ini dituduhkan pada pluralisme. Keluarga Nyi Mariyam yang seorang muslimah, dengan mendiang suami yang seorang kejawen tulen, seorang anak yang Kristen, dan seorang lagi yang Muhammadiyah, adalah bukti bahwa kerukunan—dimana istilah “pirukunan” mendasarkan diri—adalah segala-galanya. Sebagaimana prinsip tilaran sang pangeran: rukun tangga jiwa, rukun tangga wisma, rukun tangga desa, dan rukun tangga negara.
Maka, bukankah ujung terjauh dari segala olah batin, olah spiritual, olah nalar atau pengkajian agama adalah keadaan ridha yang oleh orang Jawa disebut sebagai legawa, dan bukannya yang neka-neka sebagaimana angan orang yang hendak menempuh jalan?
Demikianlah sepenggal kisah Pirukunan Purwa Ayu Mardi Utama yang merupakan tilaran sang pangeran, yang konon menyuguhkan rembulan yang teduh menerangi siapa pun tanpa membeda-bedakan.
Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.