
Salah satu karya monumental Ḥujjāt al-Islām al-Gazālī di bidang tasawuf ialah Minhāj al-‘Ābidīn. Disebutkan, sufi yang filsuf itu menulis kitab tersebut menjelang wafatnya, sebagai upaya warning terhadap titik-titik kelemahan manusia berikut cara mengatasinya. Sebagaimana judulnya yang dalam Bahasa Indonesia berarti “Pedoman Bagi Para Ahli Ibadah.”
Hemat penulis, kitab ini bisa menjadi pedoman bagi mereka sebagai upaya menjauhi intervensi setan yang tak ubahnya berusaha menyeret mereka ke jalan yang sesat, yang dalam konteks ahli ibadah dapat dimaknai agar mereka lupa dengan maksud dan tujuan ibadah yang dilakukan. Selain itu, kitab ini juga nampak mencoba menjawab pertanyaan tentang bagaimana menemukan kehidupan yang tenang dan damai.
Secara garis besarnya, kitab ini memetakan dan menguraikan tahapan-tahapan dalam upaya seorang hamba menjalankan ibadah kepada Allah swt. Imām al-Gazālī mengistilahkan hal tersebut dengan “aqabah,” yakni “jalan yang sukar ditempuh”. Dalam pemetaannya, terdapat tujuh aqabah, yang dengan mempelajarinya seorang hamba bisa lebih mendekatkan diri kita kepada Allah swt. Tujuh aqabah atau tahapan itu meliputi: (1) tahapan ilmu, (2) tahapan taubat, (3) tahapan menaklukkan penghalang, (4) tahapan rintangan, (5) tahapan motivasi, (6) tahapan perusak ibadah, dan (7) tahapan memuji dan bersyukur kepada Allah swt.
Dalam upayanya menguraikan aqabah-aqabah beserta cara mengatasinya, beliau juga kerap menggunakan tamsil atau perumpamaan dari kisah-kisah dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sudah barang tentu dimaksudkan agar setiap orang yang mempelajarinya dapat dengan mudah memahami uraian-uraian yang diberikan.
Dalam pada itu, Imām al-Gazālī menandaskan, bahwa ilmu dan ibadah merupakan dua komponen pokok yang saling berkaitan erat, dan sangat penting diperhatikan bagi seorang hamba. Dalam hal ini, beliau mengemukakan, bahwa ilmu memang lebih penting daripada ibadah. Namun, seseorang yang berilmu tanpa beribadah niscaya ilmunya akan sia-sia. Hematnya, ilmu laksana pohon, dan ibadahlah yang menjadi buahnya.
Sementara itu, Imām al-Gazālī juga mengemukakan, bahwa taubat adalah suatu usaha dari beberapa pekerjaan hati. Hematnya, melalui taubat seseorang tengah berupaya membersihkan hatinya dari dosa-dosa yang telah dilakukannya. Hal ini nampaknya penting dikemukakan, karena menurut beliau, seseorang yang tak ubahnya melakukan dosa dan maksiat akan membuat hatinya menjadi hitam. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan lagi, ia bisa saja dijauhkan dari taufik dari Allah swt. Lantas, hanya kekufuran dan kesengsaraan yang akan didapatnya.
Dalam hal ini Imām al-Gazālī menegaskan, “bertaubatlah dari segala perbuatan maksiat. Dan jauhilah empat penghalang manusia kepada Allah, yaitu dunia dan isinya, makhluk tuhan, setan, dan hawa nafsu.” Menurut beliau, jika dapat mengatasi penghalang (‘awāriḍ) tersebut, insya Allah seseorang bisa mencapai kesempurnaan ibadahnya kepada Allah swt. Adapun untuk mengatasi ‘awāriḍ tersebut, beliau menyarankan agar melawannya dengan cara bertawakal, menggantungkan semua urusan kepada Allah, berserah diri, dan bersabar.
Berkaitan dengan hal tersebut, lanjut Imām al-Gazālī, manusia harus memiliki sifat zuhud agar terhindar dari fitnah dunia. Begitu pula pesan beliau, agar memilih teman yang baik agar selalu terjaga dalam jalan yang lurus, selalu berlindung kepada Allah dari godaan setan, hingga signifikansinya dalam melawan hawa nafsu.
Termasuk juga keharusan ditanamkannya sikap berharap kepada Allah (rajā’) atas segala pertolongan dan perlindungan-Nya dan takut (khauf) atas segala hal yang dapat membawanya kepada jalan selain-Nya. Keduanya itu harus seimbang dalam benak, berjalan pada jalan yang lurus, dan meresapinya dengan sebenar benarnya, sesuai dengan batas-batasnya.
Setelah aqabah dapat dilewati dengan baik, sebagai tahapan yang terakhir, seseorang semestinya selalu bersyukur dan memuji Allah swt., karena terlewatinya sekian tahapan itu tak lain juga semata-mata karena anugerah dari-Nya. Kendati sebagai anugerah, semestinya juga ia telah diberikan kenikmatan hidup yang begitu besar, dan karenanya itu ia harus senantiasa bersyukur. Dengan bersyukur pula setiap kenikmatan yang diberikan akan ditambahkan dengan kenikmatan yang lainnya lagi, sebagaimana yang telah Allah janjikan kepada para hamba-Nya.
Alhasil, sesuai dengan judul karya, sistematika pembahasan, hingga tamsil yang digunakan, kitab karya Ḥujjat al-Islām selayaknya dipelajari dan diamalkan sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.