Rasa trenyuh, perih, dan gembira silih berganti menyambangi hati tatkala menuntaskan membaca buku anyar bertajuk “Bersyukur Tanpa Libur: Catatan Kehidupan Arswendo Atmowiloto” (2020).
Banyak informasi baru yang diunduh dalam pustaka mengenai kehidupan sang sastrawan ini.
Sedikit yang tahu bahwa Arswendo semasa kecil pernah diasuh oleh mbokde dan pakdenya di kampung Gading Kidul, Solo. Ia kadung lengket dengan budhe, sampai-sampai rela melakoni apa saja agar bisa tidur di rumah budhe yang membuka warung itu.
Kampung Gading begitu melegenda, tak hanya bagi Arswendo. Kampung ini juga ditempati pahlawan nasional Slamet Riyadi. Yang menarik, publik acapkali salah memahami terminologi “gading” yang bertemali dengan pengalaman sejarah lokal.
Di Kota Bengawan, muasal “gading” tiada sangkut pautnya dengan jejak gading gajah, meski di utaranya dijumpai Kampung Gajahan yang era kerajaan dijadikan kandang gajah sebagai salah satu hewan kesayangan golongan aristokrat.
Maksud lema “gading” yang dicomot sebagai tetenger (identitas) daerah ini adalah nama tatacara yang mengatur pemakaman keluarga raja Keraton Kasunanan. Sungguh berbeda praktik ngopeni (mengurusi) jenazah hingga ke tempat pemakaman antara kelompok bangsawan dengan wong cilik kebanyakan.
Wajar jika kampung tersebut bersebelahan dengan Kampung Gurawan yang tempo doeloe dihuni abdi dalem khusus menangani jenasah penghuni istana. Beda lingkungan, beda pengalaman sejarah, juga berlainan makna.
Beberapa tahun lalu, saya melakukan riset lapangan di Magelang. Peta kota saya bentangkan, dan memergoki nama Kampung Karanggading. Muncul sepotong pertanyaan yang mengusik hati, apakah kata “gading” ini bertemali juga dengan gajah atau urusan jenazah seperti di Surakarta?
Saya tidak mau buru-buru mengambil kesimpulan. Langkah pertama yang saya ambil adalah menelisik unsur ekologi budaya, vegetasi, dan lintasan sejarah panjang Magelang. Rupanya di wilayah ini banyak ditemukan nama-nama kampung berlatar flora.
Bisa dipastikan bahwa yang maksud “gading” di sini merupakan buah kelapa berwarna kuning. Pendek kata, Kampung Karanggading di masa lampau merupakan area pekarangan yang banyak ditumbuhi pohon gading.
Magelang melewati fase Hindu-Buddha. Dalam tradisi masyarakat Hindu Jawa, kelapa merupakan unsur utama yang sering dijumpai manakala upacara di pura atau tempat lainya. Merujuk pada sejarah kebudayaan, teringat akan cengkir gading.
Merujuk Bausastra Jawa (1939), cengkir merupakan krambil enom ngarepake dadi degen. Atau, kelapa muda yang siap menjadi degan.
Cengkir gading adalah buah kelapa berwarna kuning seperti gading. Kelapa dua biji yang dilukis sepasang tokoh wayang Kamajaya dan Kamaratih ini dipakai saat upacara brojolan.
Dukun bayi dan masyarakat Jawa klasik punya pandangan cengkir gading adalah simbol bayi yang masih di kandungan. Kelak, ia jika seorang pria akan setampan Kamajaya, dan bila perempuan kecantikannya seperti Kamaratih.
Di lingkungan Jawa pedalaman, tradisi tingkepan pada perempuan hamil hingga sekarang masih bisa ditemukan. Serat Tatacara yang disusun sastrawan Ki Padmasusastra awal abad XX merekam perjalanan manusia mulai masih dalam kandungan, menikah, hamil hingga tutup usia.
Dalam serat lawas itu, banyak ritual yang menyertainya. Dalam ritual itu, ada brojolan berasal dari kata “brojol”. Artinya, lepas-jatuh dari lubang (mrucut metu ing bolongan).
Brojolan adalah tahapan yang dilakoni usai orangtua calon ibu bersama sesepuh memberi toya suci. Calon ibu memakai lurik yuyu sekandhang, lantas orangtua calon ibu berikut sanak saudara turut memegangi kain.
Orangtua (ibu) menjatuhkan atau mbrojolake cengkir gading ke bawah, sedangkan bapak dari bawah menerima cengkir dan menggedongnya memakai selendang. Setelah itu, degan dibawa keluar dari hadapan tamu undangan guna dipecah.
Brojolan bermakna pengharapan keluarga besar terhadap calon ibu dapat melahirkan dengan lancar, selamat, dan cepat.
Setelah itu, warga pêcah dêgan. Memecah degan bergambar dewa Kamajaya dan Kamaratih oleh bapak calon ibu memakai bendho (sejenis parang berukuran kecil).
Dalam sekali tebas, tepat di tengah dan air mencuat keluar, dipercaya bahwa bayi yang lahir nanti laki-laki. Namun, bila membelahnya melenceng atau tidak sekali tebas, bayinya kelak perempuan.
Pesan antropologisnya ialah, orangtua mengusung harapan jika lahir perempuan bisa seayu dewi Kamaratih, dan bila pria setampan Kamajaya.
Mencermati serangkaian simbol di muka, dapat ditegaskan bahwa kelapa merupakan perlambang kesakralan dan simbol dari para dewa.
Itulah yang menyebabkan para kalangan usadawan atau balian sering memakai kelapa sebagai sarana pengobatan. Diyakini kelapa telah diberkati para dewa dan memiliki kemampuan mengusir kekuatan negatif, apalagi penyakit yang disebabkan ilmu hitam.
Dalam upacara Hindu, kelapa bermakna magis dan mistik. Sebab, secara tak langsung kelapa telah melewati rangkaian upacara dengan bermacam penyucian, penyupatan, dan pasupati, sehingga mengandung kekuatan dewata atau energi positif.
Sementara dari pengalaman empiris masyarakat tradisional, air kelapa gading berfaedah bagi kesehatan tubuh. Caranya, kelapa gading muda dikupas sampai ketemu batok lunaknya. Lalu haluskan dari cangkang yang keras ambil bagian kelapa yang lunak.
Airnya dikeluarkan dan direbus bersamaan dengan daging kelapa. Air direbus hingga berubah warna memerah menyerupai warna darah, lantas diminum selagi hangat.
Ringkasnya, masyarakat Jawa punya ikatan emosional dengan buah gading untuk kepentingan kesehatan maupun religi, hingga terekam dalam identitas kampung.
Perlu diketahui pula, buah gading di pekarangan merupakan bagian dari fungsi pancagaran sumber daya genetis kelapa yang terwujud dengan adanya banyak jenis yang ditanam di pekarangan.
Setiap jenis itu terdiri dari banyak varietas. Ragam sifat tersebut banyak yang diturunkan, sehingga terdapat dalam gen.
Sebab itu, pekarangan mengandung sumber daya genetis yang kaya. Sayangnya, seiring menyusutnya pekarangan dan pategalan digunakan untuk ruang hunian, keberadaan gading kini mulai tergerus.
Demikianlah, “gading” bukan hanya sekadar nama kampung dan petunjuk waktu sejarah. Gading juga merupakan bukti kedekatan manusia Jawa dengan alam sekitar, ritual budaya yang membungkus kearifan lokal, dan menghargai kekayaan alam di Nusantara.
Jadi, “gading” yang merasuk dalam memori kolektif, jangan hanya urusan soto. Bisa juga soal pengetahuan tentang lingkungan hidup yang diwariskan kakek moyang. (SI)