Di tengah ciutnya rasa kebangsaan dan persaudaraan, Muktamar Sastra sukses digelar pada 17-19 Desember 2018 di sebuah presantren besar, situs Muktamar ke-27 Nahdlatul Ulama pada 1984, yakni Pondok Pesantren Salafaiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo.
Adalah Sang Pengasuh, KH R Ahmad Azaim Ibrohimi yang layak bersemat bintang. Sesuai perhelatan Seminar dan Khalaqah memperingati 33th Anniversary Khittah NU pada awal 2017 ide itu lahir. Khittah Nahdliyyah adalah konseptualisasi visi-misi organisasi yang digali dari mukadimah Qanun Asasi dan spirit luhur para pe diri , disuguhkan dalam strategi dan narasai kebudayaan yang utuh sebagai landasan berpikir, bersikap dan bertindak Nahdlatul Ulama di masa kini. Khittah NU dirumuskan melalui Munas Alim Ulama NU 1983 dan dikukuhkan dalam Muktamar ke-84 NU setahun setelahnya di prsantren yang sama, di Pondok Sukorejo yang akhirnya ditahbiskan sebagai miqat (titik berangkat) gerakan kebudayaan bernama Muktamar Sastra.
Perbincangan di paseban ruang tamu pengasuh Pondok Sukorejo itu berlanjut pada sintesa gagasan yang lebih serius hingga di sebuah sore, tibalah kami perwakilan Pondok Sukorejo, LTN NU Jatim dan TV9 Nusantara di ndalem KH Ahmad Mustofa Bisri di Leteh Kota Rembang, untuk menyampaikan salam Kiai Azaim sambjl memintakan nasehat akan ide Muktamar ini. “Saya setuju. Saatnya, kebudayaan menjadi panglima, dan pesantren mengambil peran pentingnya melalui sastra” dhawuh Gus Mus sambil menyarankan kami semua yang sowan untuk meminta arahan ke dua nama: KH D Zawawi Imron dan Emha Ainun Najib.
Tuhan Maha Memberi kemudahan. Tanpa disangka, tak dinyana, tiba-tiba Kiai Zawawi bersilaturahim ke Kantor TV9 Nusantara. Dalam jeda tak lama, saya dan Gus Najib Arsyeb, Ketua LTN NU Jatim bisa ngopi bareng Cak Nun di sebuah hotel Surabaya di sela agenda padatnya. Dengan penuh empati beliau mengapresiasi. Maka kamipun bekerja layaknya cerita ‘Roro Jonggrang’ yang harus berpacu dengan waktu, membangun integritas dan kualitas perhelatan hingga persiapan event yang sepertinya mustahil digelar.
Sastrawan Pondok Sukorejo, Zainul Walid menyatukan energi dengan Sang penggerak Puisi Menolak Korupsi, Sosiawan Leak, Peneliti, sastrawan dan penulis buku Sastra Santri, Raedu Basha, Sang peniliti/akademisi Bahasa Sastra yang juga representasi Lesbumi NU, Mashuri, Gus Penyair Rumah Sastra, Haidar Hafeez, hingga Mas Jibril, tangan kanan Kiai Azaim di Shalawat Bhenning. Mereka semua bekerja maraton sebagai tim kurator, yang mengkaji tema kajian di pleno atau panel plus narasumbernya, peserta mewakili etnis dan entitas (lintas iman) sastra di nusantara hingga meyakinkan semua pihak bahwa Muktamar Sastra adalah sebuah ikhtiar kebudayaan dari ketulusan relung hati pesantren untuk melalui sastra kita bersama menggali kenusantaraan, membangun kebangsaan.
Bagi kami, sastra mempunyai peran penting dan strategi dalam pembangunan peradaban sebuah bangsa. Melalui sastra, seseorang dapat mengembangkan ide, imajinasi, harapan serta cita-cita tentang masyarakatnya. Melalui sastra, nilai-nilai kearifan masyarakat dapat terwariskan. Generasi mendatang bisa menggali nilai-nilai yang sudah dikembangkan oleh generasi sebelumnya. Membangun peradaban dengan demikian tidak bisa meninggalkan peran sastra. Peradaban yang terbaik, salah satu indikatornya adalah ketika sastra ditempatkan pada tempat yang selayaknya dan tidak diacuhkan.
Sastra memiliki daya penggerak, daya perubahan dalam masyarakat. Selain itu, sastra juga memiliki daya penggugah jiwa, daya pencerahan bagi jiwa-jiwa manusia. Sastra memiliki kedekatan dengan agama, karena adanya daya dan potensi yang dimilikinya bagi manusia dan kemanusiaan. Ini bukan berarti menyamakan kedudukan sastra dan agama. Ada nilai dalam sastra yang mampu menggugah jiwa manusia untuk lebih mendalami agama. Melalui sastra, manusia bisa mengungkapkan masalah dan pengalaman manusia, suka dan dukanya. Termasuk pengalaman manusia mengenai adanya Tuhan serta peran Tuhan dalam hidupnya diungkapkan dalam sastra. Oleh karena itu, sastra harus diberi tempat yang wajar dan terhormat dalam kehidupan kelompok beragama.
Berbagai daya yang dimiliki oleh sastra dapat diarahkan untuk pembentukan karakter bangsa. Hal itu cukup beralasan sebab sastra mengandung nilai etika dan moral yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Sastra tidak hanya berbicara tentang diri sendiri (psikologis), tetapi juga berkaitan dengan Tuhan (religiusitas), alam semesta (romantik), dan juga masyarakat (sosiologis). Sastra mampu mengungkap banyak hal dari berbagai segi. Sastra, agama dan karakter bangsa dengan demikian hal saling berkaitan dan tak terpisahkan.
Karya sastra mengandung nilai etis dan moral mengacu pada pengalaman manusia dalam bersikap dan bertindak, melaksanakan yang benar dan yang salah, serta bagaimana seharusnya kewajiban dan tanggung jawab manusia dilakukan. Sudah sejak dahulu karya sastra diperlakukan sebagai wahana penyimpan dan perawat nilai etis dan moral.
Bangsa Indonesia memiliki kekayaan dan keragaman karya sastra yang melimpah. Tidak hanya soal kebahasaan, tetapi juga menyangkut pengalaman sosial dari setiap elemen bangsa ini. Suku bangsa yang menjadi penyangga Indonesia demikian beragama, maka beragam pula pengalaman mereka. Melalui sastra, pengalaman hidup kelompok masyarakat dan suku bangsa di Indonesia dicurahkan dan diekspresikan.
Karya-karya sastra yang demikian memberikan gambarkan tentang keanekaragaman pandangan hidup, filosofi, nilai dan cita-cita setiap kelompok masyarakat. Melalui sastra pula, mereka bertemu dan membangun persatuan yang lebih besar yakni persatuan kebangsaan Indonesia di atas keanekaragaman karya sastra yang mereka miliki. Cita-cita hidup bersama tidak hanya untuk kepentingan kelompok atau suku, tetapi kebersamaan sebagai bangsa Indonesia.
Pesantren adalah sebuah subkultur yang juga memiliki kekayaan dan keragaman kesusasteraan. Tanggungjawab terhadap masa depan bangsa, tidak hanya milik satu kelompok tertentu. Pesantrenn memiliki tanggung jawab yang sama untuk menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Jejak historis peran pesantren dalam merebut kemerdekaan dan menjaganya tidak bisa dipungkiri. Demikian pula terhadap sastra, pesantren memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengembangkan sastra di Indonesia. Karenanya, Muktamar Sastra merupakan ikhtiar yang dilakukan oleh para santri dan para sastrawan bersama-sama berusaha menempatkan sastra sebagai media dalam menjaga keanekaragaman budaya nusantara dan menguatkan persatuan bangsa Indonesia.
Untuk mengabadikannya, sebuah buku diterbitkan oleh LTN Pustaka Surabaya khusus sebagai saksi sekaligus rekaman gagasan dan optimisme dari proses pertemuan yang bukan sekadar perjumpaan itu. Judulnya, Muktamar Sastra, Menggali Kenusantaraan, Membangun Kebangsaan, sama dengan titwl even dan temanya. Buku itu merekam peristiwa budaya selama tiga hari bulan Desember 2018 yang padat itu, di tengah gerah suasana politik jelang kontestasi kepemimpinan nasional yang ketat dan keras, ada 150-an pegiat sastra yang rela mondok di pesantren. Para muktamirin bahkan ada yang baru pertama masuk dan mengalami tinggal di pesantren.
Mereka menggali nilai-nilai kenusantaraan sebagai kekayaan dan keragaman budaya bangsa Indonesia. Perbedaan justru menyatukan kami semua untuk bersama menjadikan sastra sebagai media menguatkan dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Dan puncak dari pesan perhelatan ini adalah ‘Piagam Sukorejo’ yang dibacakan sendiri oleh Kiai Azaim Ibrohimy sebagai Ketua Panitia Pengarah (Steering Committe) di Singgasana Panggung Gelar Budaya yang megah menggetarkan hati, menandai telah sempurna digelarnya Muktamar Sastra untuk pertama kalinya. Muktamar Sastra Kedua sedang dipersiapkan, akan dihelat di pulau puisi, pulau kebudayaan, Madura.