Sedang Membaca
Investigasi Masjid, Makam, dan Manuskrip Godegan, Magetan

S3 Ilmu Pendidikan Bahasa, FBSB, UNY (Konsentrasi Filologi). Domisili di Kalasan, Sleman, DIY. Bisa disapa melalui akun IG @ghis_nggar.

Investigasi Masjid, Makam, dan Manuskrip Godegan, Magetan

Makam

Masjid Kuno Godegan memiliki nama resmi Masjid at-Taqwa. Masjid ini terletak di Dusun Godegan, Desa Tamanarum, Kecamatan Parang, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Lokasinya berada sekitar 13 kilometer dari pusat Kota Magetan ke arah selatan. Masjid ini merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Kabupaten Magetan. Sumber tertulis tentang pendirian masjid terdapat pada balok utama masjid berupa ukiran tahun 1840 yang ditafsirkan sebagai waktu pendirian masjid (Sukoco & Rahmawati, 2019).

Beberapa tulisan yang beredar di media masa kompak menyebutkan bahwa pendiri masjid ini adalah KH Imam Nawawi, seorang prajurit Pangeran Diponegoro yang menyingkir ke timur Gunung Lawu setelah Belanda menangkap Pangeran Diponegoro (Sukoco & Rahmawati, 2019; Irwan Kelana, 2019; rasinews, 2024; Fatihah Ibnu Fiqri, 2022; dan Aditya Candra, 2019).

Narasi pelarian seorang pengikut Diponegoro yang membangun Masjid Juno Godegan ini setidaknya disandarkan pada dua bukti. Bukti pertama adalah Masjid Godegan ini dahulu dikelilingi pohon sawo yang besar dan rimbun. Menurut penuturan warga sekitar dan ahli waris saking lebatnya pohon-pohon sawo yang mengelilingi masjid sehingga membuat bangunan masjid tidak terlihat. Pohon sawo merupakan kode khusus pengikut Pangeran Diponegoro di pelarian (Aryono, 2015; Zulfikar, 2019). Bukti kedua adalah kemiripan bangunan masjid dengan bangunan di Kraton Yogyakarta. Kemiripan yang paling menonjol adalah kemuncak masjid yang bertahtakan ornamen seperti bunga yang mekar.

KH Imam Nawawi menjadi tokoh sentral dalam narasi ini. Karena KH Imam Nawawi tidak memiliki keturunan maka Masjid Godhegan diserahkan kepada keponakan istri KH Imam Nawawi yang berasal dari Durenan, yakni Kyai Muhammad Sulaiman. Lalu, karena juga tidak memiliki keturunan, posisi Kyai Muhammad Sulaiman digantikan oleh kemenakannya, Kyai Imam Mughni. Kyai Imam Mughni sendiri menjadi imam Masjid Godhegan hingga meninggal tahun 1970. Kyai Imam Mughni memiliki anak bernama Kyai Hamid (Sukoco & Rahmawati, 2019).

Selain nama-nama di atas juga terdapat nama Mustarim yang dipercaya sebagai pengawal KH Imam Nawawi. Dengan demikian secara tidak langsung Mustarim juga merupakan pengikut Pangeran Diponegoro. Mustarim merupakan keturunan Ki Ageng Sengoro yang melarikan diri ketika terjadi perang antara Majapahit dengan Demak (atk, 2019). Kecuali tahun 1840 yang dipercaya sebagai tahun pendirian masjid, informasi-informasi di atas bersumber dari penuturan lisan atau cerita turun temurun dari masyarakat sekitar. Informasi-informasi di atas sudah terlanjur dipercaya kebenarannya oleh masyarakat dan dikutip oleh berbagai media.

Baca juga:  Berpakaian Islami di Masa Kolonial

Kyai Imam Nawawi dimakamkan di sisi selatan sekitar 100 meter dari masjid. Untuk sampai di makam ini, dari lokasi masjid, pengunjung harus berjalan memutar ke timur lalu ke selatan, dan ke barat lagi melewati kolam dan persawahan. Kompleks makam ini terletak di bawah pohon besar dan terdiri atas tiga teras yang dibatasi oleh pagar. Beberapa nisan dalam kompleks makam ini merupakan nisan kuno yang terbuat dari bahan batu yang berukiran motif tertentu. Sebagian lain merupakan makam baru, dilihat dari nisannya.

Makam Kuno
Makam Kuno di Sekitar Makam Kyai Imam Nawawi

Makam Kyai Imam Nawawi (nomor 1) terletak di teras paling atas di bawah sebuah cungkup. Di bawah cungkup yang sama tepat di sebelahnya adalah makam istri Kyai Imam Nawawi (nomor 2) dan yang terletak di sebelahnya lagi adalah pengikut setia Kyai Imam Nawawi yaitu Kyai Mustarim (nomor 3).

Denah Makam
Denah Makam Kyai Imam Nawawi

Pada tahun 2019 tim Dreamsea dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia terjun ke masjid ini dengan misi melakukan konservasi fisik dan mendigitalisasi naskah-naskah koleksi Masjid Godegan, Magetan. Menurut penuturan ahli waris, Kyai Hamid, dahulu naskah kuno di masjid ini jumlahnya banyak sampai memenuhi sebuah lemari kayu besar berukuran besar. Sekitar tahun 1997 masjid ini direnovasi. Karena pada 1998 terjadi krisi moneter, proses renovasi dihentikan sementara, padahal atap masjid sudah terlanjur dibuka. Akibatnya hujan mengguyur dan membasahi seluruh masjid termasuk naskah-naskah kunonya. Hal ini menyebabkan kerusakan serius pada naskah-naskah kuno di masjid ini hingga tersisa 14 naskah.

Naskah Kuno
Naskah Kuno Koleksi Masjid Kuno Godegan, Magetan

Dalam digitalisasi yang berlangsung pada akhir musim penghujan 2019 ini 14 naskah telah “diselamatkan”. Hasil digitalisasi dapat diakses melalui link berikut https://dreamsea.co/. Di dalam situs ini naskah-naskah koleksi Masjid Kuno Godegan Magetan ditandai dengan nomor kodex DS 0055 00001 sampai DS 0055 00014.  Naskah-naskah ini disalin menggunakan aksara Arab, Pegon, dan sebagian kecil informasi beraksara Jawa. Bahan naskah adalah kertas Eropa dan daluwang, bukan kulit kerbau seperti yang disebutkan dalam chanel youtube https://www.youtube.com/watch?v=mN5STh_5mSc. Daluwang yang dipakai sebagai bahan naskah-naskah di Masjid Kuno Godegan ini diproduksi di Ponorogo, tepatnya dari lingkungan Masjid tegalsari yang dipimpin oleh tokoh kharismatik Kyai Ageng Besari.

Baca juga:  Kiai Abdul Wahid Hasyim dan Pandangan Tentang NU Kembali ke Khittah 1926

Isi teks di dalam naskah tidak banyak berbeda dengan teks-teks keislaman yang jamak ditemui di lingkungan pesantren, misalnya Umm al-Barahin dan Sharh Kalimatay al-Shahadatayn (ilmu teologi Islam), Muqaddimah al-Hadhramiyyah (ilmu fikih), Tafsir al-Jalalayn (ilmu tafsir Alquran), dan Sharh al-Ajurumiyyah (tata bahasa Arab) (atk, 2019). Selain aspek naskah dan teks, aspek lain yang menarik dalam pengkajian naskah-naskah kuno koleksi Masjid Godegan ini adalah nama-nama yang ditemukan di dalam naskah-maskah tersebut. Nama-nama yang terindikasi sebagai penyalin atau pemilik naskah di antaranya Muhammad Idris, Ahmad Anom, Muhammad Saliman, Puspa Sentana (atk, 2019; Mohammad Saifulloh, 2019; dan Irwan Kelana, 2019), dan Kertosemi.

Penyalin
Informasi Penyalin dan Pemilik Naskah Koleksi Masjid Godegan

Pada naskah dengan nomor kodex DS 0055 00008 halaman 67r terdapat informasi yang ditulis dengan aksara Jawa yang berbunyi kathadhan ingkang serat mas puspa sĕtana dan ingkang gadhahi kitab mas puspa sĕtana. Arti teks tersebuat adalah yang menyalin dan memiliki naskah berisi teks Al-‘Awāmil al-Mi’āh ini adalah Mas Puspa Sentana.

Kata Mas memiliki beberapa arti yaitu 1. Sebutan untuk orang yang masih saudara, 2. Sebutan untuk orang yang memiliki kedudukan atau pangkat menengah, 3. Sebutan untuk teman dekat (Poerwadarminta, 1939). Sementara Sentana adalah sebutan untuk saudara priyayi (Poerwadarminta, 1939). Priyayi sendiri adalah 1. Orang yang memiliki kedudukan di Kraton, 2. Orang yang masih memiliki hubungan darah dengan raja, 3. Sebutan untuk pembesar atau raja (Poerwadarminta, 1939). Dengan demikian Mas Puspa Sentana yang disebut dalam naskah dengan nomor kodex DS 0055 00008 ini merupakan seorang bangswan dari kraton.

Besar kemungkinan Mas Puspa Sentanalah yang disebut-sebut pengikut Pangeran Diponegoro yang melarikan diri pascapenangkapan sang pangeran pada 1830. Mas Puspa Sentana, bangsawan Kraton Yogyakarta, sampai di lereng timur Gunung Lawu dan mendirikan masjid, yang selesai tahun 1840, serta pondok di wilayah ini. Dia bersembunyi sambil menyebarkan ideologinya lewat pendidikan. Adanya makam seorang abdi kinasihnya, Mustarim (makam nomor 3), merupakan bukti lain bahwa Imam Nawawi adalah nama samaran Mas Puspa Sentana.

Dalam tradisi pesantren tradisional tidak lazim seorang santri atau bahkan santri kinasih dimakamkan satu cungkup dengan sang kyai. Seorang kyai tidak memiliki pengawal terdekat, hanya bangsawan istana yang memiliki pengawal. Jadi formasi makam seperti yang terlihat pada gambar nomor 5 di atas tidak berasal dari tradisi pesantren melainkan berasal dari tradisi kraton. Selain itu nisan-nisan kuno di kompleks makam ini kemungkinan besar juga merupakan penanda makam para prajurit pengawal Mas Puspa Sentana, bukan santri karena dalam tradisi pesantren santri tidak dimakamkan dengan sang kyai.

Baca juga:  Khalifah Al-Manshur Menundukkan Nabi Palsu dengan Humor
Tim
Tim Digitalisasi Naskah Dreamsea & Perpusnas 2019
(Sumber: Dreamsea)

Kyai Hamid (foto tengah atas, berpeci putih, memegang jam dinding) adalah tokoh penting dalam proses digitalisasi dan penyelamatan naskah-naskah koleksi Masjid Kuno Godegan ini. Kyai Hamid merupakan kerabat jauh Mas Puspa Sentana. Tanpa izin beliau, naskah-naskah ini tidak akan terselamatkan. Pada bulan Juni 2023, awan mendung menyelimuti Masjid Godegan. Kyai Hamid menghembuskan nafas terakhirnya. Beliau dimakamkan kompleks makam Masjid Godegan di samping pusara Ibu Sumiati, istrinya, yang terlebih dahulu menghadap Yang Maha Kuasa tahun 2019. Keduanya dimakamkan di teras paling atas kompleks makam Masjid Godegan, satu teras dengan Mas Puspa Sentana, Istri Mas Puspa Sentana, Mustarim, dan prajurit-prajurit terdekatnya.

Pelarian Mas Puspa Sentana atau Kyai Imam Nawawi dari Keraton Yogyakarta ke lereng timur Gunung Lawu ini merupakan dampak Perang Diponegoro (1825-1830). Perang Diponegoro merupakan dampak Revolusi Perancis (1789-1799). Secara tidak langsung pembangunan masjid, makam, dan penyalinan manuskrip di tempat yang terpencil ini merupakan dampak Revolusi Perancis yang terjadi jauh di seberang benua. Dengan demikian investigasi perlu dilakukan di wilayah-wilayah yang belum terpetakkan yang terdampak peristiwa sejarah yang besar untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai suatu peristiwa yang penting.

Kepercayaan masyarakat yang kuat terhadap kesejarahan tokoh Kyai Imam Nawawi ini dapat dimaknai sebagai keberhasilan penyamaran Mas Puspa Sentana dalam pelarian. Selain itu pada tahun-tahun setelahnya, terjadi proses di mana seorang tokoh mitologi dipercaya kebenarannya sebagai tokoh historis oleh masyarakat pendukungnya. Hal ini nampaknya juga terjadi di berbagai tempat di Jawa, sebut saja Ki Mageti, Prabu Jayabaya, hingga Prabu Brawijaya yang legendaris itu. Kepercayaan masyarakat atas tokoh mitologis yang dianggap sebagai tokoh historis ini merupakan bidang kajian antropologi yang menarik untuk diinvestigasi lebih jauh lagi (GND).

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top