Bicara alif.id adalah bicara kebudayaan nasional sekaligus keislaman di Indonesia. Cara pandang di atas merupakan apresiasi internal saya terhadap alif.id. Segenap potensi yang sudah ada dalam kolektif alif.id itu sudah baik karena Susi bekerja dengan niatan dasar yang lurus, yakni mendedikasikan diri untuk “memberi nilai baru” dalam golongan santri.
Semoga masih membuka masukan dari luar. Karena dari pembicaraan duakali ada niatan baru untuk tujuan pengembangan yang bersifat kelembagaan. Dan sudah semestinya alif.id punya tantangan baru, kerja baru, termasuk keruwetan baru karena masyarakat Indonesia memiliki problem pola-pikir dalam budaya dan keislaman.
Apa yang mesti dilakukan?
“Eksploitasi kemampuan” yang ada. Tancapkan lebih dalam. Tekan lebih kuat sampai benar-benar kokoh menjadi lembaga/padepokan, tempatnya anak-anak muda menggali ilmu dan inspirasi guna mempekuat pergerakan literasi. Jangan geser-geser dari niat awal untuk membangun pola-pikir kebudayaan karena sesungguhnya jatuh-bangunnya peradaban sangat kuat ditentukan oleh praktik literasi/jurnalisme.
“Eksploitasi” adalah kesediaan diri untuk masuk dunia persalinan yang mungkin melelahkan dan butuh energi lebih besar. Ini berbeda dengan strategi eksplorasi yang memilih jalan enak dengan mengedepankan sikap opurtunis yang kemudian sering mengubah visi karena alasan sponsor atau hasutan lain.
Susi dan teman-teman di alif.id sudah teruji menjalani laku progresif selama beberapa tahun. Proses ini adalah tahap pencucian diri untuk menemukan jalan dengan membentuk jati diri kemudian bisa fokus meletakkan arah perjuangan (visi) dan pada sisi lain para pengurusnya sudah merasakan manfaat dan makna kerja sosialnya melayani pembaca sekalipun melayani para penulis pemula.
Dengan kata lain, apa yang diusahakan sudah bisa memberi manfaat bagi orang sekalipun masih terbatas. Tak jadi soal karena strategi organisasi yang baik ialah “berpikir maksimal tentang tujuan dan berpikir minimal tentang hasil.”
Alif.id punya modal besar dari seorang Susi yang punya teman-teman sekultur dari masa lalunya dan saya percaya di alif.id tidak akan mengindak penyakit sektarianisme. Modal besar itu lahir dari hasrat -impian tentang masyarakat beradab- dan punya cara untuk mewujudkannya karena alif.id sudah berpengalaman melakukan kegiatan pendidikan.
Usaha mengatasi kekeliruan pola-pikir masyarakat dengan menyertakan solusi (minimal mengubah cara pandang) atas kekeliruan pola pikir masyarakat adalah langkap yang tepat. Ke depan bisa dimajukan dengan mengombinasikan perubahan transformasional melalui praktik pergerakan dengan semangat jurnalisme sekaligus etnografisme.
Soal bahwa di alif.id punya kelemahan materi itu bukanlah perkara tunggal karena memang tugas jurnalisme bukan diukur untuk menghasilkan jumlah materi. Saya jadi teringat ungkapan Ted Koppel (2017), bahwa yang sejati dari tugas kaum jurnalis tak akan keluar dari pakem dasarnya sebagai pekerja “semi-religius”.
Bahwa kalau kemudian materi menjadi bagian penting itu saya sepakat, tetapi harus diperhatikan pula keseimbangannya sebab nyata terdapat banyak orang yang melimpah materi tetapi lemah energi pada ujungnya sering terperosok dalam jurang kefrustasian.
Alif.id bisa survive karena dua kekuatan, yakni kekuatan yang lahir hasrat dan energi. Untuk mencapai proses memantapkan survival organisasinya selalu membutuhkan proses. Cepat atau lambat itu relatif. Namun menurut saya harus sabar melakoni laku tirakat dengan tiga periode dasar untuk syarat tercapainya “kemapanan institusi” atau munculnya karakter dari hasil kerja dengan durasi 6 tahun, 8 tahun, dan 12 tahun. Periode dasar itu bisa berjalan baik tentu saja jika dibarengi dengan usaha menyeimbangkan empat hal yakni 1) ilmu, 2) energi, 3) waktu dan 4) materi.
Susi punya ilmu yang mencukupi, dan punya energi yang terjaga serta punya waktu setelah memutuskan pensiun dari pekerjaan formalnya sebagai wartawan. Soal materi saya kira tidak perlu dijadikan satu-satunya perkara sebab tak ada yang menuntut untuk meraup kelimpahan materi.
Tuntutan pada urusan materi hanya muncul dari dorongan alamiah di dalam kolektif kerjanya. Karena itu, jika Susi ingin melakukan optimalisasi atau inovasi dalam alif.id, langkah yang paling bijaksana ialah mensolidkan tim kerja untuk sama-sama sadar tentang keseimbangan dalam empat hal tersebut.
Tiga hal yang sudah dimiliki alif, yaitu ilmu, energi dan waktu, menurut saya harus dimaksimalkan secara kolektif. Susi pasti tahu hukum haramnya berhenti berburu ilmu. Namun yang lebih penting adalah kesediaan lebih sabar berbagi ilmu dengan menyediakan waktu untuk yunior-yuniornya agar kelak dalam masa 12 tahun (masa alamiah kolektif mengalami kerapuhan atau ketangguhan) bisa teratasi.
Pelatihan harus terus ditegakkan. Hamzah Sahal yang mendampingi Susi juga sudah tanggap soal pentingnya memajukan praktik jurnalisme dari sekadar esai/opini dan news ke arah penulisan feature. Dan itu menurut saya tindakan paling terpuji jika serius dijalankan sampai kapanpun; dijadikan kewajiban yang nyaris harus melepaskan angan-angan tentang kesuksesan.
Dengan lebih fokus menjalankan kewajiban untuk berbagi ilmu tanpa target (alias menegakkan altruisme), keadaan psikologi kita akan lebih sehat -toh pada akhirnya hukum alam akan bersaksi bahwa apa yang dilakukan secara sungguh-sungguh tak akan sia-sia.
Selain masukan makro di atas saya juga merasa perlu memberi masukan mikro, bahwa keharusan menjaga kualitas tulisan juga perlu diperhatikan. Saya melihat beberapa tulisan yang kurang matang. Tetapi ini perkara biasa. Apalagi kita sekarang hidup di era serba tergesa-gesa.
Karena itu jika ingin bernilai lebih -dan sejalan dalam usaha menegakkan “eksploitasi kolektif”- menyajikan penulisan dengan kalimat bermutu mesti dijadikan sebagai salahsatu target membentuk ciri khas alif.id.
Tapi sekali lagi, urusan kualitas ini bisa dilakukan sambil jalan karena saya sadar bahwa untuk mencapai derajat bermutu dalam penulisan juga tidak semudah mendapatkan kursi legislatif.