Sedang Membaca
Empat Pantangan bagi Cerdik Pandai
Fikri Mahzumi
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Empat Pantangan bagi Cerdik Pandai

Dalam kitab Ayyuhal Walad, Imam al-Ghazali berpesan, ada delapan perkara yang perlu diperhatikan oleh para cerdik pandai. Delapan perkara itu dipecah menjadi dua, empat pantangan dan empat anjuran.

Jika delapan nasihat dapat dipegang teguh, maka seorang ahli ilmu akan merengkuh manisnya ilmu dan terhindar dari keburukan (Arab: afat).

Empat perkara yang perlu dihindari oleh orang berilmu adalah debat kusir, nasihat kosong, serong dengan kekuasaan, dan menerima hadiah. Adapun empat perkara yang dianjurkan ialah ihlas, simpatik,  arif, dan selalu cukup atas dunia.

Mari kita obrolkan empat pantangan bagi cerdik pandai itu.

Pertama, debat kusir. Kenapa debat menjadi pantangan bagi ahli ilmu? Karena dalam suatu debat, ego lebih dikedepankan. Sikap merasa lebih atas dari lawan debat sering ditonjolkan dari pada kesetaraan. Alasan berikutnya, debat seringkali identik menang-kalah. Tidak mengarah pada terjadinya kesepahaman yang setara.

Benar-salah sering menjadi samar dalam debat. Bisa saja pandangan yang keliru menang dalam debat karena argumentasi yang kuat. Begitu sebaliknya, kebenaran akan mudah terkalahkan jika lemah dalam faktum yang diajukan. Sehingga perdebatan tidak selalu memberi hasil kebenaran, tapi lebih ke arah siapa mengalahkan siapa.

Oleh karena itu, perdebatan perlu dihindari. Musyawarah (wa syawirhum fil amr) lebih baik dari debat karena di dalamnya ada upaya saling memberi kesempatan berpendapat dan tidak saling mengalahkan. Selagi masalah bisa selesai dengan menjaga kepala tetap dingin agar kesepahaman dapat tercapai, lalu kenapa masih berdebat?

Baca juga:  Oto Iskandar Dinata dan Teks Proklamasi

Kedua, nasihat kosong. Menasihati itu berat. Jangan ringan memberi nasihat (Jawa: wejangan) jika tidak yakin bisa melaksanakan. Dalam ucapan harus ada perbuatan, itulah teladan. Bibir itu lebih ringan dari gerak kaki dan tangan. Omong doang (nasihat kosong) itu berbahaya seperti pisau di tangan tuan yang salah. Bisa saja karenanya banyak nyawa melayang.

Herannya, penceramah justru menjadi profesi. Karena menasihati orang bisa menjadi sumber ekonomi. Berbekal peci dan sepenggal kutipan ayat suci berceloteh begini-begitu, seolah semua telah dilakukan tanpa sisa. Baik memang, karena manusia butuh diingatkan. Asal ingat, apa yang diucapkan jangan hanya sampai di bibir. Tapi juga lakukan.

Ketiga, serong dengan kekuasaan. Ahli ilmu seyogianya tidak dekat dengan jabatan. Sebab kadang kedekatan dengan kekuasaan bisa menjadi bumerang bagi ilmu agar selalu ada di jalan kebenaran. Kritik yang tajam sangat sulit terjadi pada hubungan yang terlalu dekat. Ewuh pekewuh demikian orang Jawa menyebut. Seorang alim harus selalu di posisi netral biar bisa tajam mengkritik penguasa yang kadang butuh diluruskan.

Kekuasaan sering pula memaksakan apapun termasuk ilmu. Sudah banyak amsal  ketika seorang alim serong dengan penguasa. Jadinya, Ilmu dipaksa tunduk menyokong kekuasaan. Seperti yang kian marak dalam beberapa peristiwa. Tak tanggung, dalil agama yang mestinya wilayah otoritatif kaum cendekia yang hanya memihak pada kebenaran, dibelokkan layaknya peluru untuk menghabisi lawan atau mendukung kawan. Pada akhirnya, ilmu yang sublim menjadi rawan ternodai.

Baca juga:  Islam Jawa dan Budaya Indonesia yang Melekat

Keempat, terima hadiah dari orang yang sedang berkuasa. Pemberian selalu memiliki maksud. Suatu ketika hadiah bisa menumpulkan ketajaman ilmu. Dan saat ahli ilmu berhadapan dengan pemberi hadiah yang khilaf, amat sulit ilmu bisa tetap pada posisinya yang tak memihak. Ilmu akan terpasung oleh hadiah yang tak sebanding dengan kebenaran yang membisu.

Ilmu tidak bisa ditukar dengan kenikmatan apapun di dunia. Sebab ilmu harus duduk paling tinggi dari apapun yang duniawi agar tidak terjajah. Kalau ilmu sudah tergadai, pastinya tak akan ada harapan objektifitas di dalamnya. Pada saat itu, seorang alim tak lebih dari budak-budak kekuasaan yang selalu tunduk pada tuanya.

Apa yang dipesankan al-Ghazali agar ahli ilmu menghindari empat perkara di atas relevan dengan jaman now. Di Indonesia, banyak orang pandai, tapi bisa dihitung yang integritasnya kokoh. Ada professor yang tersandung korupsi. Ahli agama terbelit kasus asusila. Amat mencengangkan bukan. Bisa jadi, semua ini karena ada yang terlupa dari amanat ilmu.

Islam melalui al-Qur’an dan hadis sangat mengapresiasi para ahli ilmu. Sampai-sampai memposisikannya sebagai pewaris para Nabi dan meninggihkan derajatnya di atas kaum awam. Tapi harus tetap diingat bahwa ada konsekuensi yang mesti ditanggung karena ilmunya itu. Setidaknya nasihat dari kitab Ayyuhal Walad mengingatkan kembali bagi para cerdik pandai agar selalu berpegang pada etika keilmuan. Kehati-hatian adalah ciri dari seorang berilmu. Sedang  ilmu selalu ada di pihak yang benar.

Baca juga:  Iklan dan Martabat

Jangan gampang mengaku alim, Fulan. Tanggung jawabmu berat. Biar yang pantas saja..

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top