
Apa tanda-tanda Ramadan sebentar lagi tiba? Beberapa orang mungkin bakal merujuk pada sidang itsbat, sebagaimana beberapa orang mungkin dapat dengan mudahnya menyimpulkan: Ramadan sebentar lagi tiba saat fenomena komodifikasi agama mulai marak di mana-mana.
Sirup, yang tidak punya agama, tiba-tiba lewat iklan sinematiknya di layar kaca jadi komoditas yang identik dengan minuman sekelompok umat beragama di momen tertentu. Tapi pertanyaannya adalah: apa benar si dia yang sedang menjual sirup ini dengan iklan kerennya hanya sedang ‘jualan agama’? Atau sebaliknya, mungkin saja si penjual sirup ini sedang mensyi’arkan agama lewat iklan kreatif sirupnya?
Rumitnya Kesalehan
Pertanyaan inilah yang mengantarkan kita pada pembahasan tentang dinamika kompleks kesalehan (the complex dynamic of piety), sebagaimana diistilahkan oleh seorang antropolog kelahiran Finlandia, Samuli Schielke (2009), di artikelnya yang berjudul, Being Good in Ramadan: Ambivalence, Fragmentation, and the Moral Self in the Lives of Young Egyptians.
Fenomena kesalehan seseorang itu sejatinya rumit, tidak mesti benar-benar murni karena agama, atau murni dimotivasi karena faktor dunia. Maka dalam hal ini, mereka yang sedang jualan sirup di bulan Ramadan dengan iklan kerennya butuh penjelasan-penjelasan yang mendalam dari segala faktor yang ada, untuk bisa disebut saleh atau tidak saleh. Lagi pula tugas seorang antropolog bukanlah menyimpulkan itu, melainkan mengamati fenomenanya apa adanya.
Antara Komodifikasi dan Komersiaslisasi
Pembahasan ini jadi lebih menarik kalau kita ikuti penelitian Noorhaidi Hasan, The Making of Public Islam: Piety, Agency, and Commodification on the Landscape of the Indonesian Public Sphere (2009) yang meneliti fenomena kesalehan di Indonesia semenjak tiga dekade belakangan. Noorhaidi berargumen, bahwa komodifikasi agama sejatinya harus bisa dibedakan dengan komersialisasi agama.
Komersialisasi adalah jualan agama untuk mendapat keuntungan sebanyak- banyaknya. Adapun komodifikasi agama, merujuk pada diktum bahwa menjual ideologi lebih penting daripada menjual barang. Maka dalam studi kasus kita ini, maknanya Islamnya lebih penting untuk dipromosikan daripada sirupnya ketika jadi iklan.
Lewat definisi ini seakan Hasan ingin bilang, si dia yang jualan sirup dengan iklan kreatifnya di bulan Ramadan ini, tidak perlu diburu- buru dilabel sedang jualan agama untuk meningkatkan laba, jangan-jangan dia malah orang yang tulus sedang mempromosikan Islam, daripada sirupnya.
Komodifikasi Tak Melulu Negatif
Meski pada akhirnya saya lebih curiga, kalau pialang saham merek sirup ini sejatinya memang sedang jualan agama demi cuan di bulan Ramadan daripada menyiarkan Islam. Tapi paling tidak, lewat argumen Noorhaidi, kita jadi punya definisi baru terkait komodifikasi agama yang selama ini selalu diasosiasikan secara negatif.
Negatif dalam artian, upaya mendakwahkan Islam lewat budaya populer, sarana modern, dan pembawaan yang menarik dan sederhana seringkali dianggap sebagai Islam yang dangkal, bahkan dipertentangkan dengan Islam yang moderat sehingga disebut radikal.
Itulah yang boleh jadi menimpa para ustadz-ustadzah yang dikategorikan sebagai influencer. Seperti Hanan Attaki, Felix Siauw, Oki Setiana Dewi, atau Dennis Lim, misalnya.
Padahal bisa saja lewat definisi Noorhaidi, komodifikasi agama yang mereka lakukan dapat diartikan sebagai, upaya mengemas Islam secara kreatif untuk menarik perhatian dan menyentuh kalangan-kalangan yang selama ini tidak bisa tersentuh oleh dakwah Islam yang memakai sarana dan pendekatan lama.
Sehingga alih-alih ditengarai sebagai Islam yang dangkal atau radikal, komodifikasi ini bisa jadi sesuatu yang lebih produktif. Sebagaimana menurut Noorhaidi, fenomena komodifikasi agama harus bisa dilihat sebagai upaya kreatif yang menantang otoritas keagamaan dalam bentuknya yang kuno.
“Lah kok bisa, penjelasan al-Qur’an Felix Siauw lebih diminati kalangan muda daripada penjelasan Quraish Syihab yang merupakan guru besar Tafsir dan Ilmu al-Qur’an İulusan al-Azhar,” misal. Celotehan tersebut dapat memicu sebuah persaingan sehat untuk mengemas dakwah agar selalu bisa lebih memikat, kekinian, dan progresif, sebagaimana iklan keren sirup di bulan Ramadan.