Baharthah namanya. Dia lahir pada 1903 di kota Al-Ghurfah, Yaman Selatan. Dia berasal dari keluarga miskin, tapi kelak menjadi saudagar kitab terkenal di Indonesia. Kemiskinan keluarga membuatnya terpaksa berlayar merantau ke Singapura pada 1924.
Sejak 1915 saat masih remaja Baharthah sudah mulai mengikuti jejak dagang sang bapak, Umar Baharthah, dengan berdagang di Aden dan Mukalla.
Pada 21 tahun, Baharthah berlayar ke Singapura. Perjalanan perbaikan ekonomi ternyata tidaklah mudah. Meski berada di Singapura yang sudah jadi pusat perdagangan Asia Tenggara, nasib ekonomi Baharthah hanyalah sebagai tukang sapu toko.
Dia tak punya pendidikan formal modern dan tidak bisa membaca huruf Latin di kawasan niaga internasional itu. Namun, perbaikan ekonomi sudah jadi tekadnya sejak meninggalkan kampung halaman. Berkat pengalaman sedikit-sedikit, Baharthat diterima magang menjadi pembantu pedagang batik.
Pada tahun 1930, Baharthah pindah ke Medan dan mulai merintis jadi pedagang batik sendiri sampai tahun 1935. Kota Medan belum membuat ekonominya semakin membaik.
Baharthah pindah ke Cirebon. Di kota ini, awal mula keberuntungan ekonomi mulai menampakkan titik terang. Baharthah bekerja di toko kitab “Mesir” yang dipimpin Abdullah bin Afif, seorang saudagar yang tangguh dan mengerti manajemen modern.
Darinyalah Baharthah belajar dan mengerti bisnis modern dan niaga kitab-kitab agama Islam yang diimpor dari Timur Tengah (Mesir dan Libanon). Baharthah bekerja di toko “Mesir” dari tahun 1935 sampai 1943.
Dari pengalaman dan ilmu sebagai pegawai toko buku “Mesir”, Baharthah mulai berpikir: “Daripada menjual buku-buku agama Islam yang diimpor dari luar, mengapa tidak memprodusir di dalam negeri? Bukankah Indonesia berpenduduk mayoritas Islam? Bukankah ini berarti “pasar raksasa”?”
Sejak akhir abad ke-19, terjadi kebangkitan saudagar kitab akibat kemunculan mesin cetak modern (litografi) di kawasan Nusantara. Kawasan pesisir Jawa dan Sumatra termasuk yang pertama kali memunculkan niaga kitab cetak modern (litografi), seperti Surabaya, Semarang, Pelembang, dan seterusnya. Kitab tertua dengan sistem cetak litografi modern yang sampai sekarang masih tersimpan di Perpustakaan Leiden adalah dari Surabaya dengan tahun 1853 (Nico Kaptein, 1993).
Tentu saja, niaga kitab sebagai komoditas urban yang membutuhkan masyarakat (ter)pelajar, teknologi cetak yang maju, dan kemajuan niaga, hanya berkembang di pusat-pusat perkotaan seperti Surabaya, Bandung, Jakarta, Medan. Maka dari Cirebon, Baharthah pindah ke Bandung yang perniagaannya jauh lebih ramai dan maju.
Pada tanggal 14 Desember 1949, bersama Abubakar M.A. dan A. Hassan, Baharthah mendirikan PT Alma’arif. Inilah salah satu penerbit buku paling berhasil di Indonesia sejak Indonesia merdeka sampai tahun 1980-an.
Selama tahun 1950-1955, seperti dikatakan Baharthah, PT Alma’arif mencetak Alquran 10.000 eksemplar per bulan! Pada tahun 1980-an, PT Alma’arif melesat meningkat sampai pada angka 50.000 eksemplar bahkan sampai 150.000 jilid Alquran per bulan! PT Alma’arif adalah salah satu aktor utama yang membuat Quran menjadi penghuni paling dalam rumah-rumah kaum muslim Indonesia.
Berkat percetakan modern yang memungkin niaga kitab secara massal, bocah kecil yang belum balig di perbagai pelosok Indonesia juga bisa punya Alquran yang sudah berusia satu milenium lebih.
Pada tahun 1980-an, PT Alma’arif sudah berhasil menerbitkan 800 judul buku, dengan oplah di atas 20.000.000 eksemplar. Tapi, bagi Baharthah, jumlah ini masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim Indonesia.
“Adakah batas yang bisa dilampaui penerbit buku-buku agama Islam? Menurut saya tidak. Negeri ini merupakan “pasar raksasa” buat jenis buku-buku itu. Hanya saja, ada beberapa syarat yang mesti dipenuhi dulu,” kata Baharthah.
Ada lima syarat untuk meningkatkan dan mengembangkan oplah eksemplar buku-buku keislaman. “Pertama, modal. Kedua, mesin. Ketiga, transportasi. Keempat, bea masuk kertas. Kelima, ongkos kirim,” kata Baharthah membeberkan rahasia perusahaannya. Yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa minat baca yang tidak dimasukkan sebagai kendala niaga buku.
“Masyarakat sebetulnya cukup punya ‘minat baca’ itu. Soalnya sekarang, apakah penerbit bisa memenuhi selera masyarakat, dan apakah masyarakat ada uang untuk membeli. Apalagi, konsumen buku-buku agama pada umumnya terdiri dari mereka yang keadaan ekonominya lemah. Harus ada jalan yang bisa mengatasi persoalan ini,” kata Baharthah.
Kita pun tahu strategi niaga kitab yang akhirnya dilakukan Baharthah di penerbit PT Alma’arif: “Memproduksir buku sebanyak-banyaknya, dengan harga yang semurah-murahnya.” Ini adalah resep ekonomi sangat lawas yang sudah diketahui semua pedagang.
Dalam masyarakat ekonomi lemah, menyambung nyawa memang lebih berharga dan didahulukan daripada memelihara otak dan hati dengan membeli buku. Tubuh itu primer, otak hanya sekunder. Dan inilah tantangan utama seorang niaga buku dari zaman sangat dahulu kala sampai di masa depan kelak.
Tentu saja, strategi produksi banyak dan harga murah sebenarnya sudah sangat dibantu oleh teknologi cetak modern (litografi dan tipografi) yang sungguh sangat bisa mencetak massal daripada tangan manusia yang digunakan pada zaman manuskrip. Tantangan kedua adalah harga kertas: sang bahan material utama tiap buku.
Pada masa Baharthah yang tetap bertahan sampai sekarang, bea masuk kertas halus (yang biasa digunakan untuk buku) sebesar 60 persen, sedangkan kertas koran dan majalah (lawas) hanya 20 persen. Inilah sang biangkerok utama harga buku di Indonesia tetap mahal jika dibandingkan dengan negara-negara lain.
Ajib Rosidi, teman Baharthah yang sekaligus sastrawan yang juga berniaga buku, selalu marah-marah terhadap pemerintah tapi sampai sekarang tidak ada perubahan. Kertas dimasukkan dalam barang mewah, seperti zaman kerajaan sangat dahulu kala, sebelum industri kertas modern! Kertas, sang bahan dasar pengetahuan di seluruh jagat selama satu milenium lebih, tidak dianggap sebagai kebutuhan dasar rakyat banyak! Indonesia termasuk negeri yang keparat sampai sekarang terkait dengan peraturan kertas.
Tentu saja, sebagai akibat, kertas buku di Indonesia selalu kalah kualitas karena penerbit harus mensiasati antara keuntungan dan kuasa beli masyarakat agar perusahaan bisa tetap beroperasi dan bertahan. Akibat lanjutannya, banyak sekali buku yang tidak bisa bertahan lama karena kualitas kertas yang rendah dan buruk.
Di Indonesia PT Alma’arif harus menghadapi semua itu. Memang ia cukup beruntung karena yang dicetak adalah kitab-kitab agama yang punya daya edar lama dan hampir pasti laku.
“Mari saya jelaskan rahasianya. Sebagai bisnis, menerbitkan buku agama itu tidak ada ruginya. Mengapa? Karena kita tidak perlu khawatir dengan oplah yang sebanyak-banyaknya. Konsumennya berjuta-juta. Taruhlah tidak laku sekarang, bulan depan atau tahun depan pasti dibeli orang. Tidak mungkin buku-buku agama itu dijual orang per kilo buat kertas bungkus. Dia akan dimaki-maki publik. Satu-satunya jalan, apabila memang belum laku terjual, adalah bakar. Tapi, di mana di dunia ini ada orang waras yang membakar harta bendanya sendiri? Artinya, cepat atau lambat, buku yang diprodusir pasti ada pembelinya. Tidak akan hilang percuma.” Tentu saja, tidak semua penerbit bisa dan mau melakukan strategi yang bisa menghentikan alur keluar-masuk modal ini.
Namun, PT Alma’arif sungguh berhasil karena memang berhasil menekan biaya produksi seminimal mungkin. Surat Yasin, sebagai contoh, dijual seharga Rp. 50- pada tahun 1985. Alquran hanya seharga Rp 900. Kitab I’anatuttholibin yang empat jilid hanya Rp 6000. Meskipun dengan harga sangat rendah ini, PT Alma’arif tetap untung dan berkemang sampai mempunyai 900 karyawan yang bekerja siang dan malam. Ini belum termasuk para pedagang “tukang gendong” yang dapat rabat 40 persen.
Mereka berkeliling jualan kitab-kitab PT Alma’arif di kampung-kampung, terminal, atau pusat keramaian lainnya. Tentu saja, yang paling menguntungkan adalah saat mendapatkan pesanan cetak Alquran. Pada tahun 1981, PT Alma’arif mengerjakan pesanan cetak Quran sejumlah 5 juta eksemplar dari Rabitah Alam Al Islam di Arab Saudi.
Keberhasilan Baharthah bersama PT Alma’arif mulai meredup pada tahun 1990-an. Salah satu penyebabnya bukanlah strategi Baharthah sudah ketinggalan zaman tapi empat anaknya dari Albin Lubis yang dinikahinya pada 1959 “tidak berbakat dagang dan bersemangat” apalagi di dunia penerbitan. Inilah salah satu kelemahan utama bisnis yang berujung pada kekuatan ahli waris, bukan pada sistem menejeman modern.
Yang jelas, jasa dakwah penerbitan Baharthah, sang saudagar kitab dari Al-Ghurfah, telah menyentuh masuk ke dalam rumah-rumah umat Islam Indonesia, masuk ke dalam pikiran dan hati mereka. Allah akan membalasnya. Terima kasih H.M. Baharthah dan PT Alma’arif dengan seluruh karyawannya.
Terimakasih bapak.. artikel anda sangat membantu studi saya.
Selain informasi di atas, apakah bapak punya informasi lain tentang beliau atau penerbit al-Ma’arif?