Di Indonesia, penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri kerap melahirkan perbedaan (ikhtilaf) dan pro kontra. Karenanya umat Islam di Indonesia disuguhkan tontonan menggelikan dari berbagai lapisan masyarakat terutama para simpatisan ormas yang saling berdebat kusir. Alih-alih menjadikan perbedaan sebagai rahmat untuk saling menghargai dan menghormati, tak jarang justru melahirkan cacian, hinaan bahkan fitnah dan merasa paling benar. Indikasi ini sangat terasa minggu-minggu ini di berbagai jenis media terutama di medsos. Di bulan Ramadhan sejatinya semua pihak menahan ego dan amarahnya.
Perbedaan itu (ikhtilaf) sebenarnya ada solusinya dan bisa diselesaikan. Jika masing-masing pihak menyadari dan mengalah untuk meninggalkan ijtihadnya demi kepentingan yang lebih besar, yakni kemaslahatan, persatuan dan kebersamaan dalam berbangsa. Perbedaan penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri adalah masalah fiqh, yang dapat disatukan demi persatuan umat.
Fiqh dan Ikhtilaf
Fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersumber dari al-Quran, hadits, ijma dan qiyas yang digali berdasarkan nalar ijtihad. Dengan kata lain fiqh adalah produk ulama. Fiqh adalah tempatnya perbedaan (ikhtilaf). Masalah yang menjadi objek kajian fiqh adalah permasalahan furuiyyah (cabang). Karenanya, dalam fiqh terkenal adagium, taghayuru al- ahkam bi taghayuri al-ajminah wa amkinah wa ahwal (hukum atau fatwa bisa berubah karena perubahan zaman, situasi dan kondisi.
Karena dihasilkan dari nalar manusia (ulama), menjadikan fiqh multi tafsir, tidak tunggal, dan hasilnya relatif. Alias bisa salah (khata) dan benar (showab). Contohnya seperti, perbedaan qunut subuh, wajibnya niat wudhu dan perbedaan penentuan 1 syawal 1444 H seperti yang terjadi tahun ini.
Hal ini berbeda dengan syariat yang sumber hukumnya langsung dari Allah SWT. Objek kajian syariah adalah ushul (pokok). Karenanya, tidak ada lagi tafsir dan ta’wil, juga tidak ada ruang bagi nalar manusia (ijtihad), kebenarannya absolut dan tidak mengalami perubahan. Kewajiban puasa, kewajiban Shalat fardu, Shalat isya empat rokaat, Subuh dua rakaat, hukum mencuri, berzina, membunuh tanpa sebab dan lain sebagainya, adalah contoh hukum syariat.
Penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri jelas masuk dalam ranah fiqh. Para ulama di berbagai ormas menggunakan segenap nalarnya dalam menggali hukum untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri dengan memahami nash hadis.
Hadits dimaksud adalah “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (HR Bukhari-Muslim)
Hadits di atas menunjukan dua cara yang diajarkan Nabi Muhammad SAW yaitu rukyat (melihat bulan) dan ikmal (menggenapkan) hitungan bulan, bila bulan tak terlihat.
Namun dalam perkembangannya ada yang memakai teori hisab, yakni perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah. Metode ini lahir dengan mengkaji situasi dan kondisi disiplin ilmu astronomi di masa Nabi SAW yang berbeda dengan masa sekarang. Di mana kajian astronomi sekarang, jauh lebih sistematis dan akurasinya, menurut pendapat ini, lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Itulah dua metode ijtihad yang dipakai umat Islam. Ditambah lagi perbedaan wujudul hilal yang dipakai Muhammadiyah dan imkanur ru’yah yang dipakai pemerintah, misalnya. Karena metodenya berbeda, maka akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dari kedua metode ini telah melahirkan tafsir dan perbedaan (ikhtilaf). Namun kedua-duanya adalah benar. Inilah wilayah fiqh, yang selalu menghadirkan beragam wajah tafsir. Karenanya, akan ada ormas Islam yang berbeda dengan ormas lain atau dengan pemerintah dalam penentuan 1 syawal seperti tahun ini. Untuk itu, kita dituntut untuk saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.
Solusi Fiqh
Namun, perbedaan tersebut bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Dari sinilah fiqh menawarkan solusinya. Solusi yang ditawarkan fiqh berupa etika dalam menyikapi perbedaan demi menggapai persatuan dan menghindari perpecahan. Bahwa persatuan harus didahulukan dari pada perbedaan.
Menurut para ulama, perbedaan harus diupayakan dihindari dan diselesaikan. Ini sesuai dengan adagium fiqh, “al-huruj min al-khilaf mustahabbun, keluar (menghindari) perbedaan pendapat itu disunnahkan.”
Artinya perbedaan yang muncul dari hasil ijtihad masing-masing itu bisa diselesaikan dan hindari. Dan akhirnya bersama-sama mengambil satu ijtihad yang disepakati sebagai sarana untuk menggapai kebersamaan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, pemerintah harus menjadi wasit yang adil yang bisa menyatukan perbedaan menjadi persatuan. Dan keputusan pemerintah dituntut bisa menyelesaikan perbedaan tersebut. Adagium fiqh mengatakan,“ Hukmu al-hakim ilzamun wa yarfa’u al-khilaf, keputusan hakim (pemerintah) bersifat mengikat dan menyelesaikan perselisihan pendapat.” (Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha’ir). Di sinilah ormas-ormas harus rela meninggalkan ijtihadnya, dan meraih persatuan dan kebersamaan dalam berhari raya.
Mewujudkan persatuan adalah dambaan, harapan dan keinginan semua orang. Namun cita-cita luhung ini hanya akan terwujud, jika pribadi, kelompok atau ormas yang berbeda mau merendahkan egonya dan berlapang dada meninggalkan ijtihadnya.
***
Suatu hari Imam Syafi’i dan pengikutnya berkunjung ke Bagdad yang mayoritas penganut mazhab Hanafi. Ketika shalat subuh tiba, tokoh mazhab Hanafi menyuruh Imam Syafi’i jadi imam Shalat. Saat rakaat kedua Imam Syafi’i tidak melakukan qunut subuh. Padahal menurut ijitihadnya, qunut Subuh adalah sunnah dan harus diganti sujud syahwi jika ditinggalkan. Fenomena ini merupakan kejanggalan bagi kedua komunitas mazhab Syafi’i dan Hanafi. Ketika ditanya alasan meninggalkan qunut subuh, Imam Syafi’i menjawab, “ta’adduban, untuk menghormati penganut mazhab Hanafi.”
Contoh bijak Imam Syafi’i tersebut kemudian diteruskan Buya Hamka, ulama dan sastrawan, penulis Tafsir Al-Azhar. Saat beliau berkunjung ke Blitar, panitia mempersilahkan Buya Hamka menjadi Imam Shalat Subuh. Di sana Buya Hamka melakukan qunut subuh untuk menghormati makmumnya yang mayoritas warga Nahdlatul Ulama (NU). Padahal Buya Hamka tidak biasa qunut dan menurut ijtihadnya tidak ada qunut Subuh.
Kisah di atas menjadi pembelajaran bagi umat Islam Indonesia. Imam Syafi’i dan Hamka lebih mencintai persatuan daripada perbedaan. Kedua ulama tersebut tahu, bahwa meninggalkan keyakinan ijtihadnya, demi persatuan tidaklah berdosa.
Fiqh persatuan harus didahulukan di atas fiqh ikhtilaf. Persatuan melahirkan cinta, kedamaian dan ketenangan. Sementara perbedaan jika tidak dikelola dengan baik akan melahirkan kebencian, curiga dan prasangka seperti yang terjadi minggu-minggu ini. Fiqh persatuan mencintai kemaslahatan dan keharmonisan.
Semoga kita bisa meneladani Imam Syafi’i dan Buya Hamka yang rela meninggalkan ijtihadnya demi keharmonisan berbangsa dan bernegara. Dan itulah hikmah Ramadhan, agar kita lebih senantiasa meneguhkan persatuan dan persaudaraan antar sesama. Selamat berhari raya! Walllahu a’lam