Alumni Pascasarjana UGM, Penikmat Sejarah dan Tasawuf asal Jakarta.

Jaringan Keilmuan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Dari Tanah Suci ke Kalimantan

Jaringan Keilmuan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari: Dari Tanah Suci ke Kalimantan

Mengalirnya jamaah haji ke Tanah Suci (Makkah dan Madinah) pada era awal Islam Asia Tenggara tidak hanya didorong oleh keinginan untuk beribadah haji semata tetapi juga bertujuan untuk menuntut ilmu. Studi Azyumardi Azra mencatat bahwa di antara generasi awal terpenting muslim Jawi yang belajar di Haramayn pada abad ke-17 adalah Syekh Nuruddin al-Raniri, Syekh Abd al-Rauf Sinkili, dan Syekh Muhammad Yusuf al-Makassary.

Setelah itu menyusul generasi berikutnya yakni, Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, Syekh Abdurrahman Misri, Syekh Abdul Wahab al-Bugisi, dan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Kehadiran muslim Jawi baik pada abad-17 ataupun abad-18 untuk menuntut ilmu di Haramayn melahirkan sebuah jaringan intelektual secara internasional yaitu, jaringan ulama Timur Tengah dengan ulama Asia Tenggara.

Ulama Asia Tenggara pada abad-18 yang terlibat dalam jaringan ulama Nusantara dengan Timur tengah setelah kembali ke tanah airnya masing-masing mereka melanjutkan transmisi intelektual kepada masyarakat lokal. Dari sinilah kemudian terbentuk jaringan intelektual antara guru dan murid. Salah satu contoh paling jelas dalam hal ini adalah kemunculan jaringan ulama yang bersumber dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari yang mengabdikan dirinya di tanah Banjar setelah kembali dari Tanah Suci.

Pola Jaringan Intelektual Ulama

Secara teoritik, jaringan intelektual ulama (intellectual networks of the ulama) lazimnya berpusat pada seseorang atau tokoh sentral yang memainkan peranan kunci dalam pembentukan dan pengembangan jaringan intelektual. Kewibawaan intelektual seorang tokoh menjadi salah satu daya tarik terpenting yang membuat penuntut ilmu berkerumun di sekelilingnya sehingga terbentuk suatu jaringan intelektual.

Baca juga:  Ribuan Manuskrip Nusantara "Diawetkan" di Perpustakaan Inggris

Selain itu, proses terbentuknya jaringan ulama berawal dan dilandasi oleh tradisi rihlah ilmiyah untuk thalab al-ilm. Proses itu terjadi karena adanya hubungan yang tercipta dalam pencarian ilmu melalui lembaga pendidikan seperti, masjid, madrasah, pesantren, dan surau. Secara umum, ada beberapa pola jaringan yang tercipta dalam jaringan ulama. Pola jaringan dapat terbagi menjadi dua, yakni: 1). Pola intellectual-geneology, yaitu jaringan dalam bentuk hubungan guru dan murid, 2). Pola mystical-geneology, jaringan dalam bentuk hubungan mursyid-khalifah dalam tradisi tarekat.

Jaringan Intelektual Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari

Tidak diragukan lagi bahwa dibandingkan ulama Banjari lainnya pada masanya, Syekh Arsyad al-Banjari adalah ulama yang memiliki peran paling besar dalam transmisi Islam dan proses intelektualisasi masyarakat muslim Banjar di kawasan Kalimantan. Sejumlah keturunannya terutama anak, cucu, dan bahkan cicitnya menjadi generasi awal ulama Banjar setelah dirinya di kawasan Kalimantan Selatan. Pengaruh al-Banjari dan keturunannya merupakan bagian dari kesinambungan dan perpanjangan pengaruh Haramain.

Pengaruh al-Banjari mulai kuat dan dominan dalam membentuk intelektualisme Islam Banjar pada abad ke-19 tidak hanya melalui karya-karya intelektualnya tetapi juga melalui keturunannya. Keturunan al-Banjari yang tersebar di Nusantara, Asia Tenggara hingga Timur Tengah turun serta membawa karya-karya al-Banjari bahkan mengajarkannya dimana pun mereka berada. Mereka memiliki peran besar dalam mendorong dinamisme intelektual Islam di kawasan Kalimantan Selatan di samping meneruskan warisan pemikiran Syekh Arsyad al-Banjari.

Baca juga:  Sabilus Salikin (29): Zuhud

Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari memiliki tiga puluh orang anak (14 anak laki-laki dan 16 perempuan). Pada akhir abad ke-18, Syekh Arsyad sangat intens mendidik keturunannya. Anak-anaknya seperti, Qadhi Abu Su’ud, Qadhi Abu Na’im, Syekh Syahabuddin, Mufti Jamaluddin, dan Mufti Ahmad yang kelak menjadi ulama pada awal abad ke-19. Kemudian dari kalangan cucunya seperti, Mufti Muhammad As’ad, Qadhi Mahmud, Muhammad Said Jazuly Nambau, dan Mufti Abdul Jalil. Mereka semua adalah murid-murid Syekh Arsyad (sang kakek).

Tradisi belajar di kalangan internal keluarga zuriyat Syekh Arsyad terus berlangsung dan semakin meningkat pada abad ke-19. Pada periode ini anak-anak Syekh Arsyad kemudian menjadi guru di kalangan anak-anak dan keponakan mereka yang jumlahnya semakin banyak dan menyebar di mana-mana, termasuk hingga sampai pada K.H. Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Abah Guru Sekumpul.

Produk Intelektual Ulama Banjar

Produk pemikiran yang dihasilkan oleh ulama Banjar melalui karya intelektual mereka dapat diklasifikasikan dalam bentuk model pemikiran secara tipologis disiplin keislaman yakni, pemikiran tauhid (akidah atau kalam), pemikiran fiqih, dan pemikiran tasawuf. Pertama model pemikiran tauhid yang berkembang pada abad-18 adalah pemikiran tauhid yang cenderung “hitam putih” dan kritis terhadap aliran di luar Ahlussunah Waljamaah. Kemudian pemikiran tauhid yang berkembang pada abad-19 dan 20 adalah model pemikiran tauhid sifat 20, sebuah pemikiran yang berinduk pada teologi Asy’ariyah.

Kedua, adalah pemikiran fiqih, setidaknya ada empat model pemikiran fiqih ulama Banjar, diantaranya: 1). Fiqih praktis, yakni fiqih yang membahas masalah ibadah. 2). Fiqih polemis, yakni fiqih yang membahas Gerakan pemurnian (salafisme) dan pembaharuan (modernisme) yang berkembang di Kalimantan Selatan. 3). Fiqih sufistik, yakni fiqih yang membahas masalah batiniah. Pemikiran fiqih ini dapat dilihat dalam karya Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari berjudul Asrar al-Shalah. 4). Fiqih model fatwa, yakni fiqih yang merupakan hasil jawaban tertulis ulama Banjar yang dikonsultasikan kepadanya.

Baca juga:  Sedikit Membincang Metodologi Tafsir Gus Awis dalam Karyanya Hidāyatul Qur’ān

Ketiga, adalah pemikiran tasawuf, produk pemikiran tasawuf yang berkembang di Kalimantan Selatan secara tipologis adalah; 1). Pemikiran tasawuf falsafi (wujudiyyah). 2). Neosufisme, 3). Pemikiran tasawuf sunni bercorak akhlaki-amali. Pada abad ke-20, ajaran sufisme al-Ghazali sangat dominan di kalangan masyarakat Banjar. Beberapa ulama Banjar menulis risalah tasawuf yang dipengaruhi oleh al-Ghazali seperti Risalah Tafakur karya Muhammad Khalid. Sebuah kitab tentang tafakur dalam ihya.

Dinamika intelektual Islam yang berlangsung di Kalimantan Selatan tidak lepas dari dinamika intelektual Islam yang berlangsung di Timur Tengah secara umum. Kehadiran Syekh Arsyad al-Banjari secara tidak langsung telah membentuk suatu pola jaringan ulama yang kuat dan kokoh dalam transmisi keilmuan di Kalimantan, khususnya. Dan di Nusantara pada umumnya.

Judul               : Jaringan Intelektual Ulama Banjar Abad XIX dan XX

Penulis            : Rahmadi, S.Ag., M.Pd.I

Penerbit          : Antasari Press

Tahun              : 2019

Halaman         : 334 hlm

ISBN                : 978-602-0828-88-6

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top