Sekian hari lalu, Emha Ainun Nadjib terbukti tua. Eh, kita memastikan ia berusia 67 tahun. Kita meragu untuk mengatakan lelaki mahir menulis dan omong itu menua. Ia masih keranjingan menulis dan mengucap “ini” atau “itu” ke publik, tak henti-henti.
Oh, melaju! Para pembaca tulisan-tulisan Emha Ainun Nadjib bakal “terkapar” berpamrih khatam album tulisan, sejak masa 1980-an sampai sekarang. Puisi, cerita pendek, dan esai membuat mata pembaca merem-melek diselingi tawa, misuh, teriak, atau bergumam. Ia keterlaluan dalam menjadi penggembala kata. Lihatlah, puluhan buku dengan nama Emha Ainun Nadjib ada di toko buku, dari tahun ke tahun! Sekian penerbit menjadikan buku-buku itu godaan bagi orang-orang mau merenungi agama, politik, seni, sosial, pendidikan, dan lain-lain.
Orang-orang bisa menambahi sinau mengenai Emha Ainun Nadjib dengan mendengar kaset-kaset. Dulu, kaset itu diputar: menikmati tembang dan ujaran. Duh, ia terekam dalam buku dan kaset, mendapat pembaca dan pendengar jutaan orang. Di pelbagai tempat, ia membuat orang-orang berkumpul menikmati jagongan dan omelan. Kini, kaset-kaset itu benda nostalgia, setelah orang-orang bisa menonton di gawai atau menuruti jadwal pemutaran ulang sekian acara Emha Ainun Nadjib di televisi (Jogjakarta). Ia terbukti keterlaluan dalam memberi persembahan: terus dan terus. Kini, ia tua dan menetapi janji “terus”. Melaju! Dakwah tak pernah usai. Buku-buku itu berdakwah. Tembang-tembang dan omongan-omongan itu berdakwah.
“Kalau diusut-usut, tak ada sesuatu pun yang tak berdakwah,” tulis Emha Ainun Nadjib di majalah Matra edisi Agustus 1989. Esai dua halaman dijuduli “Rhoma, Dakwah, Iblis”. Wah, foto Emha Ainun Nadjib terlihat mau ngamuk! Mata itu mencereng. Kumis tebal itu menakutkan. Lelaki ganteng menggoda pembaca memeriksa ulang masalah dakwah: “Pada makna literernya, dakwah belum tentu baik. Dakwah itu artinya panggilan. Panggilan ke mana atau untuk apa? Itulah soalnya. Iklan itu juga dakwah. Ia juga berasal dari bahasa Arah i’laan, Artinya pengumuman.” Oh, Tuhan, Emha Ainun Nadjib mulai mengajak kita senewen, curiga bermula dari kata. Ia sedang mengajari kita berani kurang ajar. Lho!
Di majalah sering memuat foto perempuan-perempuan bahenol dan cantik, esai Emha Ainun Nadjib itu agak “keparat”. Gairah tak biasa saat melihat foto-foto perempuan dan artikel-artikel mengenai “ini” atau “itu” tergantikan lagak renungan. Simak saja: “Tapi kemudian dakwah kita ‘rampok’ untuk dijadikan suatu pengertian dengan denotasi dan konotasi yang positif. Lantas kita lembagakan. Pelakunya kita bungkus dengan status quo da’i atau mubaligh. Dan karena pada dasarnya manusia itu memiliki sifat GR dan sombong, maka konteks dakwah atau tabligh dimonopoli.” Kita perlahan berpikir telanjur basah oleh “siraman rohani”, sejak bocah sampai sekarang.
Tulisan menginginkan “dakwah yang membebaskan”, agak meniru dari judul buku Emha Ainun Nadjib terbit pada 1984: Sastra yang Membebaskan. Kini, orang-orang melakukan sekian hal mengaku “berdakwah”. Segala tontonan dan seliweran kata di media sosial disangka “dakwah”. Keluarga membuat grup dengan nafsu mengirimkan segala tontonan atau semburan kata meresmikan itu sudah “berdakwah”. Eh, “dakwah-dakwah” malah menakutkan, memaksa, menuduh, merendahkan, memusuhi, dan lain-lain. Kita boleh mencomot esai Emha Ainun Nadjib untuk “melindungi” diri dari kedatangan segala hal bercap “dakwah” berdatangan dan berkerumun di gawai. Kita membatin ingin “dakwah yang membebaskan” tapi “dakwah-dakwah” itu selalu saja menjadi polemik, pertengkaran, dan heboh, terjadi hampir setiap hari. Begitu.