Pembeli dan kolektor buku-buku terbitan Bentang boleh cuma pemandang sampul atau khatam isi buku. Masa itu berlalu dengan mencipta pelbagai nostalgia. Bentang mulai berada di naungan Mizan. Kebijakan-kebijakan berubah, memberi arah tak lagi sama seperti silam. Nama itu masih ada. Nama membawa kebaruan dan “keterputusan”.
Pada abad XXI, orang-orang mengingat Bentang itu Andrea Hirata dan Dee Lestari. Buku-buku dari dua pengarang diterbitkan Bentang sering laris. Buku-buku mengalirkan untung sampai jauh. Dua nama “melekat” di Bentang. Sejarah sedang dibuat oleh penulis dan penerbit. Ribuan orang selalu menanti buku-buku baru Andrea dan Dee terbit. Bentang dinantikan sanggup menghasilkan buku berkemasan apik, harga terjangkau, dan “berhadiah”.
Pada suatu hari, profesor di Malang membuat pengumuman di media sosial: “Sudah 4 Januari 2023. Belum ada almanak di dinding dan/atau meja. Kiriman kalender juga sepi. Apa aku dan yang lain sudah beralih ke almanak digital ya?” Kalimat-kalimat mendapat komentar, bukan dijawab dengan mengirim kalender ke alamat profesor sering membeli buku. Sejak puluhan tahun lalu, ia menjadi kolektor buku, bukan bermaksud menjadi kolektor kalender atau almanak.
Pengumuman dibaca pagi saat kota-kota di Jawa biasa mendung dan gerimis. Detik-detik bergerak tanpa ada tanda-tanda bakal turun hujan (huruf). Siang pun datang tanpa matahari. Di luar rumah, datang Pak Pos dengan suara “merdu”. Ia menaruh sesuatu di serambi. Bungkusan dibuka setelah mengetahui amplop berlogo Bentang. Rumah di sebelah barat Solo kedatangan kalender baru produksi penerbit Bentang.
Penghuni rumah girang. Ia memiliki pemandang berbeda dari ribuan buku dan majalah lama berserakan. Memandang kalender mungkin mengingatkan usia menua tapi nafsu buku belum reda. Kalender di meja mengabarkan buku dan penulis. Bentang memberikan “waktu”, menghadirkan ingatan-ingatan buku.
Kalender dibuka perlahan. Januari itu Andrea Hirata. Foto pengarang kondang itu mesem. Tampang mudah teringat bagi pembaca novel-novel bergelimang nasihat. Ia mungkin pemilik Januari setelah menulis buku-buku “menguntungkan” Bentang. Di bawah foto, kita melihat foto 8 buku gubahan Andrea Hirata.
Kita mengingat Laskar Pelangi. Buku-buku setelah itu mungkin tak teringat sekuat Laskar Pelangi. Andrea Hirata terus menulis novel meski mendapat pesaing-pesaing baru. Pengarang tetap sumber untung. Ia berhak menempati halaman Januari. Kita tak boleh mengubah nama menjadi “Andrea Januari”
Februari milik Dee Lestari. Foto pengarang dilengkapi selusin foto buku. Semula, buku terbit bukan di Bentang. Novel terbit sederhana dengan pemasaran tak “profesional” tapi berhasil memikat ribuan orang. Pada suatu masa, novel berpindah penerbitan ke Bentang. Novel-novel lama mulai bercap Bentang, mengikutkan novel-novel baru sejak mula diterbitkan Bentang. Pada 2023, pengarang itu tetap bernama Dee Lestari, bukan “Dee Februari”.
Dua pengerang terpenting ditempatkan di halaman Januari dan Februari. Kita memandang kalender, memandang foto pengarang. Kita mengenali pengarang gara-gara buku. Kita memuliakan buku dengan membeli atau mengoleksi. Kita pernah mengingat waktu saat berhasil khatam buku.
Kita langsung berhadapan bulan September. Di situ, terlihat tanggal 28 berwarna merah. Keterangan: “Maulid Nabi Muhammad SAW.” Halaman untuk September tak cuma huruf dan angka. Kita melihat foto sosok sedang tertawa kecil. Ia bernama Emha Ainun Nadjib. Dulu, ia disapa Cak Nun. Kini, orang-orang memanggil Mbah Nun. Konon, “mbah” mengartikan usia sudah tua.
Pada 2023, Emha Ainun Nadjib berusia 70 tahun. Ia tak dilahirkan di bulan Mei. Pihak pembuat kalender mungkin salah tempat untuk memamerkan foto dan buku-buku Emha Ainun Nadjib terbitan Bentang. Ia cocok bila ditempatkan di Mei.
Kalender buatan Bentang sama dengan kalender-kalender dari pelbagai institusi. Pewarnaan tanggal “merah” atau “libur” mengikuti kaidah-kaidah umum. Kita tak usah berharap di kalender Bentang bakal ada pewarnaan biru atau kuning untuk peringatan-peringatan berkaitan Ikapi, buku, aksara, atau perpustakaan.
Kalender pemberian Bentang telah masuk dan menghuni rumah. Selama Januari, mata sering memandang foto Andrea Hirata. Foto mengingatkan agar membaca lagi Laskar Pelangi. Kita mungkin tak sanggup lagi membaca bila mengetahui tumpukan buku baru atau lama masih menanti dikhatamkan. Laskar Pelangi telah berlalu. Kita justru mudah bersenandung gara-gara Nidji, gagal mengingat kalimat-kalimat bijak dalam novel. Begitu.