Sedang Membaca
Pesan Penting dari Kitab ‘Ushfuriyyah

Penulis adalah redaktur pelaksana Alif.id. Bisa disapa melalui akun twitter @autad.

Pesan Penting dari Kitab ‘Ushfuriyyah

pesantren

Sewaktu di pesantren dulu, saya pernah mengaji kitab al-Mawa’izh al-‘Ushfuriyyah, atau yang biasa disebut dengan kitab ‘Ushfuriyyah. Kitab tersebut berisikan 40 hadis nabi yang disusun oleh Syekh Muhammad bin Abu Bakar Al-‘Ushfuri.  ‘Ushfuriyyah artinya “manuk emprit” (burung pipit). Kalau era sekarang, ‘ushfuriyyah mungkin bisa diterjemahkan menjadi: twitter. Anda tahu, kan, twitter? Ya! Itu media jejaring sosial yang berlogo burung, seperti yang jamak kita tahu. Dengan kata lain, Kitab ‘Ushfuriyyah bisa diterjemahkan menjadi “Kitab Twitter”. Ini sekedar bercanda. Tapi saya rasa ada benarnya.

Minat dan kekhusyu’an para santri sangat tinggi ketika pengajian ini berlangsung. Yang biasanya sore itu bermain sepak bola dan pergi ke tenda-tenda warung kopi sebelah pondok, namun untuk hari tertentu, niat tersebut diurungkan demi mendengarkan sajian menarik dari kitab ini.

Memang, kitab itu unik. Setiap hadis dibabarkan dengan menyertakan hikayat dan kisah nyata (karena berasal dari sebuah hadis), sehingga para santri seperti diberikan dongeng sebelum tidur. Di sisi lain, kiai yang membacakannya pun lihai dalam mempreteli kitab berbahasa Arab tersebut dengan terjemahan Jawa-nya yang khas. Sehingga para santri serasa tak berjarak lagi dengan bahasa Arab.

Kitab tersebut berisikan paparan tentang akhlak atau pribadi seorang muslim dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Telah diceritakan suatu ketika sahabat yang sekaligus keponakan dan menantu Nabi Muhammad SAW, Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW, mau menjalankan ibadah shalat jamaah ke masjid. Di tengah perjalanan, beliau berbarengan dengan orang tua yang telah lebih dulu sepersekian menit di depannya, yang ketika berjalan, jalannya sangat lambat sekali. Meskipun berkeinginan untuk mengejar waktu agar tidak ketinggalan sholat berjama’ah, akan tetapi Sayyidina Ali tetap sabar berjalan di belakang orang tua tersebut. Ia tidak mau mendahului.

Baca juga:  Mengenal Gagasan Fikih Nusantara

Nah, ketika hampir mendekati masjid, ternyata orang tua tersebut berbelok arah. Ia ternyata bukan hendak ke masjid, tetapi malah ke tempat lain. Usut punya usut ternyata orang tua tersebut adalah seorang Nasrani. Pun demikian, Sayyidina Ali tidak menyesal. Ia yang notabene hendak ke masjid untuk mengejar shalat jama’ah demi mendapatkan nilai-nilai kesalehan sebagai muslim, tetapi ia masih bisa tetap bersabar dengan tidak mendahului orang tua yang sedang berjalan di depannya. Dari sini, terlihat begitu santunnya akhlak Sayyidina Ali kepada seseorang. Ia tidak memperdulikan status agama maupun keyakinan orang tersebut.

Bila kita cermati kondisi saat ini, tak jarang orang yang pergi ke masjid ‘merasa’ dirinya sudah suci, jauh dari dosa. Bahkan, pekikan “Allahhu Akbarnya” sering digunakan untuk melukai dan mencederai orang lain. Padahal, ketika seseorang pergi ke masjid, seharusnya ia menyadari bahwa dirinya adalah pribadi yang kotor, penuh dosa. Dengan berangkat ke masjid, ia berharap dosa dan kotorannya itu diampuni oleh Allah SWT.

Di dalam kitab tersebut, Sayyidina Ali telah mencontohkan akhlak atau pribadi seorang Muslim yang benar-benar tahu kadar keislamannya. Islam yang diamalkan oleh Sayyidina Ali penuh kedamaian, keselamatan dan penghormatan kepada orang lain. Bukan Islam yang beringas dan suka mencederai orang lain.

Baca juga:  Merdeka, Demokrasi, dan Kritik

Kehadiran agama di bumi ini pada hakikatnya diperuntukkan untuk manusia. Bukan untuk Tuhan. Dengan kata lain, apakah Tuhan mengharapkan persembahan umat manusia di muka bumi ini? Bagaimana kalau misal di muka bumi ini seluruh umat manusia tidak menyembah Tuhan, lalu, apakah Kemahaagungan Tuhan berkurang? Tentu tidak.

Jadi, pada dasarnya agama diciptakan oleh Tuhan tak lain adalah untuk manusia. Agama ada untuk manusia. Keberagamaan dan berbagai macam agama yang ada merupakan sunnatullah dari Tuhan. Perbedaan agama maupun keyakinan tidak bisa ditolak. Begitu juga cara pandang seseorang dalam memaknai agamanya masing-masing. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Dalam hal ini, saya terkadang merasa kurang nyaman manakala banyak di antara umat beragama begitu getol memerangi orang lain, baik sesama agama maupun lain agama, hanya karena beberapa golongan manusia beragama dianggap sesat. Terkadang, beberapa golongan manusia lain tega melukai dan merendahkan kemanusiaan mereka yang dianggap sesat tersebut, lalu, agama kerap selalu dipersalahkan dan dijadikan sebagai sasaran.

Bila kita sadar, bukankah kemanusiaan itu sendiri merupakan cerminan dari sifat-sifat ketuhanan?. Dalam arti, apabila kita saling menghargai dan memuliakan manusia, bukankah kita juga memuliakan penciptanya? Pun sebaliknya, apabila ada seseorang yang menistakan dan merendahkan manusia, ia sama dengan menistakan Tuhan sebagai sang pencipta.

Baca juga:  Suriname, Lebaran, dan Ketupat

Pendek kata, agama hadir tak lain sebagai upaya agar manusia tahu kemanusiaannya. Tidak perlu menjadi penghakim kesesatan orang lain. Kesalehan itu dinilai tidak hanya dari kerajinan ibadah, tetapi juga dari perilaku penjagaan hubungan persaudaraan di alam semesta (memayu hayuning bawono).

Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip sebuah hadis yang saya temukan di dalam kitab ‘Ushfuriyyah tersebut,. “Ar-rahimu yarhamuhumur rahman, irhamuu man fil ardhi, yarhamkum man fissama’i”. Artinya: orang-orang yang penuh kasih sayang, akan disayangi oleh Allah yang Maha Penyayang. Sayangilah makhluk yang ada di bumi, niscaya Dzat yang ada di langit akan menyayangimu. Wallahhu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top