“Sesungguhnya Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadan adalah bulan umatku.”
Demikian penggalan hadis nabi Saw.
Awal tahun baru 2025 bertepatan dengan awal bulan Rajab. Bulan Rajab memiliki memori tersendiri bagi saya. Sebelah timur pesantren saya dulu adalah masjid yang biasa dibuat thariqohan. Jama’ah thariqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang diwariskan oleh almaghfurlah Mbah Arwani Kudus.
Penerusnya adalah Kiai Ulin Nuha dan Kiai Ulil Albab, putra Mbah Arwani, sekaligus mursyid thoriqoh. Selama sepuluh hari, dari hari pertama hingga ke sepuluh bulan Rajab, masjid digunakan untuk kegiatan tawajjuhan, seperti wiridan, ngaji bersama mursyid, dan ibadah lainnya.
Saya sendiri waktu itu tidak tahu persisnya apa saja selama sepuluh hari. Yang saya ingat ketika di bulan Rajab, kami para santri harus berbagi ruang—terutama MCK, dengan simbah-simbah. Tidak hanya itu, beliau selama sepuluh hari juga berpuasa. Ramai sekali suasana menjelang maghrib dengan kehadiran jama’ah thoriqoh ini.
Banyak pengikut thariqoh yang datang dari wilayah pantura, seperti Jepara, Demak, Pati, dan Kudus sendiri. Rata-rata jama’ah dengan usia lansia. Seingat saya, selama satu tahun ada dua kali kegiatan dengan menginap 10 hari di masjid Kwanaran. Rajab dan Ramadan.
Keistimewaan Rajab
Memori bulan Rajab pada masa di pesantren adalah bulan untuk kompetisi. Karena ada kegiatan Rajabiyyahan, seperti lomba-lomba Agustusan, tiap kamar mengeluarkan atlet terbaiknya. Dari perlombaan tingkat umum, seperti sepak bola, catur, dan drama, hingga yang bersifat keagamaan, seperti baca kitab kuning, salat, pidato, dan hafalan alfiyyah.
Setelah saya renungkan, ada benarnya juga jika bulan ini dijadikan sebagai bulan pendekatan diri kepada Sang Pencipta melalui kegiatan seperti tawajjuhan atau thoriqohan, dan juga ajang kompetisi islami.
Bagi sebagian umat Islam, Rajab adalah bulan persiapan menyambut Ramadan. Saya mengibaratkannya dengan lari sprint. Kenapa lari sprint? karena atlet ini harus mengeluarkan seluruh tenaga sejak garis start hingga garis finish dengan jarak tempuh sangat pendek.
Bulan ini dijadikan sebagai pemanasan supaya nanti disaat Ramadan tiba kita tidak kaget berpuasa full sebulan. Bagi sebagian yang lain, bulan Rajab dan Sya’ban (nanti) menjadi bulan nyaur utang puasa.
Selain itu, banyak redaksi hadis yang menyatakan tentang keistimewaan dan fadhilah berpuasa di bulan Rajab. Namun saya tertarik dengan membaca baca QS. At-Taubah ayat 36, yang memasukkan Rajab dalam kategori asyhurul hurum (bulan-bulan yang dimuliakan). Rajab sederajat dengan Dzulhijjah, Dzulqa’dah, dan Muharram.
Dalam sejarahnya, bulan-bulan mulia ini diharamkan berperang. Artinya, bulan ini menjadi simbol perdamaian, rekonsiliasi, dan anti kekerasan. Lebih tepatnya menjadi momentum untuk menghindari permusuhan.
Situasi dunia hari ini banyak yang tengah berkonflik: Gaza, Ukraina, dan Suriah, misalnya. Hadirnya bulan Rajab menjadi refleksi bersama, supaya Rajab menjadi pengingat sekaligus seruan moral bagi umat Islam untuk aktif dalam mengadvokasi perdamaian, menyelesaikan konflik secara diplomatis, dan membantu korban perang atau penindasan.