Disaat saya mewawancarai Naili dalam tulisan “Islam dan Moderasi: Cara Naili Mengenalkan Keberagaman ke Mahasiswa FISIP UIN Walisongo Semarang”, ia bercerita kalau pernah melakukan riset tentang mainstreaming moderasi di UIN Walisongo dan UIN Raden Mas Said Surakarta. Kesimpulannya adalah bahwa praktik baik yang sudah dilakukan dalam gerakan moderasi itu ada inisiasi akademik dan non-akademik.
Naili menjelaskan bahwa ihwal yang berkaitan dengan akademik contohnya adalah adanya mata kuliah Islam dan Moderasi Beragama untuk mahasiswa di tahun pertama, dan juga workshop/webinar moderasi, ToT moderasi bagi pimpinan kampus, sayembara tulisan/ konten di media sosial dengan tema moderasi, dan KKN bertema moderasi beragama.
Harapannya dengan mendapatkan pemaparan dari ruang akademik tentang konsep moderasi, mahasiswa dapat terinternalisasi dengan nilai-nilai moderasi dan sekaligus dapat menerapkan nilai itu di masyarakat melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Sementara yang non akademik adalah seperti halaqah ulama tentang moderasi, perolehan rekor muri unggahan video moderasi oleh mahasiswa terbanyak, dan dialog lintas agama dengan mengundang tokoh-tokoh lintas agama.
Bagi saya, riset tersebut sangat menarik jika kemudian dibandingkan dengan kampus-kampus lain di Jawa Tengah, apakah ada kemiripan ataukah ada distingsi, perbedaan-perbedaan? walaupun masih sama-sama satu provinsi, namun kampus-kampus Islam ini mempunyai kondisi lokalitas yang berbeda-beda. Hipotesis dari Naili, bahwa UIN Walisongo dan UIN Surakarta mempunyai pola yang hampir sama dalam menerapkan moderasi beragama di kegiatan-kegiatan akademik dan non akademik.
Nah, dalam tulisan ini saya mencoba membandingkan dengan gerakan atau internalisasi nilai-nilai moderasi yang dilakukan oleh pengajar di IAIN Kudus: Muhammad Rikza Muqtada. Saya memilih Kudus karena di kota kretek tersebut terdapat napak tilas Syekh Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus, seorang ulama atau wali yang menjadi simbol toleransi antar umat beragama.
Tentu sudah sangat familiar tentang kisah Sunan Kudus yang menyarankan pengikutnya agar tidak menyembelih sapi disaat hari raya Iduladha atau dalam ritual keagamaan lainnya—karena untuk menghormati pemeluk agama Hindu. Sapi hewan yang disucikan itu diganti dengan hewan lain seperti kerbau. Hal itu terjadi kisaran tahun 1530-1550an, pun masih berlaku hingga hari ini. Dakwah Sunan Kudus ini dinilai bijaksana dan toleran terhadap keberagaman budaya dan agama yang ada.
Merawat Tradisi
Rikza menjelaskan bahwa di IAIN Kudus, secara khusus tidak ada mata kuliah moderasi beragama, namun moderasi ini telah menjadi goal besar yang dicanangkan oleh Kementerian Agama, sehingga seluruh lembaga yang berada di bawahnya harus tetap mengajarkan moderasi beragama pada mata kuliah-mata kuliah atau kegiatan dari Tri Dharma Perguruan Tinggi di kampus. “Tidak langsung secara spesifik berbunyi mata kuliah moderasi beragama, namun makulnya memuat pesan-pesan dari konsep moderasi beragama,”ujarnya.
Sosok doktor di bidang ilmu hadis ini pun mencontohkan perihal penerapan mata kuliah yang memuat moderasi yang diampunya. Semisal terkait dengan mata kuliah hadis-hadis nabi dan isu-isu kontemporer. Di dalam mata kuliah tersebut salah satu materi kuliah berkaitan dengan isu dialog antar agama, bagaimana hadis itu berbicara tentang kegiatan masyarakat yang berkaitan dengan moderasi, khususnya yang berkaitan dengan isu-isu kebudayaan.
Karena dalam konteks Indonesia sendiri, banyak tradisi-tradisi lokal yang dihantam habis-habisan, atau diberangus oleh sekelompok orang yang menggunakan hadis nabi. Menyerang tradisi menggunakan legitimasi hadis nabi, mudahnya begitu. Sementara Rikza akan memberikan gambaran bahwa justru Nabi Muhammad bukan pemberangus tradisi, tetapi merawat tradisi.
“Jadi begitu cara memasukkan materinya, tidak langsung secara spesifik materi moderasi beragama,”terang Rikza.
Tidak hanya sekadar materi, mahasiswa pada penerapannya diminta untuk mempraktikkan apa yang dia dapatkan selama kuliah pada waktu KKN. Disaat sedang melakukan KKN, PR besar mahasiswa adalah bagaimana mengenalkan tentang konsep moderasi. “Makanya tema KKNya adalah KKN Moderasi Beragama”, ujar Rikza.
Lanjut Rikza, bahwa program-program di KKN Moderasi Beragama diorientasikan untuk mendidik masyarakat, khususnya pada merawat tradisi. “Karena tradisi adalah salah satu dari empat indikator yang dicanangkan oleh Kementerian Agama, maka wujud nyatanya adalah mahasiswa mengadakan program seperti maulidan, tahlilan, atau isra’ mi’raj, disesuaikan dengan peringatan bulan hijriah dari pelaksanaan KKN itu sendiri,”jelasnya.
Dalam buku saku Tanya Jawab Moderasi Beragama (2019) dijelaskan bahwa Indonesia bukan negara agama, namun juga bukan negara yang memisahkan agama dengan kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini, warga bangsa kita masih menjaga nilai-nilai agama yang dipadukan dengan nilai-nilai kearifan dan adat istiadat lokal. Jadi kehadiran agama tidak dihadapkan secara diametral—vis a vis dengan budaya, namun keduanya saling terbuka membangun dialog yang menghasilkan kebudayaan baru.
Contoh kasus seperti Tahlilan atau Kenduri. Adalah tradisi untuk mendoakan leluhur yang telah meninggal, ngirim dongo. Tradisi ini tidak hanya untuk mendoakan arwah yang telah mendahului, tetapi bernilai karena memupuk rasa kebersamaan, gotong royong, dan silaturahmi antar sesama, sebagaimana cirikhas masyarakat Indonesia.
Selain itu, salah satu indikator yang dicapai dalam gerakan moderasi beragama adalah sikap ekspresi paham keagamaan dengan komitmen kebangsaan. Di IAIN Kudus diajarkan tentang praktik baik seperti upacara-upacara kenegaraan: 17 Agustus dan Hari Kesaktian Pancasila.
“Ini komitmen kita tentang kebangsaan dan juga moderasi beragama. Sementara melalui sisi lokalitas tradisi, yakni di kampus diadakan pengajian-pengajian dalam memperingati hari-hari besar Islam, seperti Halal bi Halal, Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, dan juga seminar-seminar yang mengarah pada tema moderasi beragama,”jelas Rikza.
Dalam seminar atau workshop, IAIN Kudus mengundang langsung narasumber dari para pejabat Kemenag pusat atau kampus PTKI, baik dari Yogyakarta, Surabaya, Mataram, Lampung, dan ada juga dari luar negeri seperti Maroko, Uzbekistan, dan negara lain yang mereka dikenal dengan wajah islam wasatiyah-nya.
Melihat hal ini, penerapan praktik baik moderasi beragama di IAIN Kudus lebih ditekankan pada aspek tradisi, merawat nilai-nilai kearifan yang sudah mengakar di masyarakat. Penanaman moderasi di kampus ini semakin menguatkan mahasiswa supaya menjaga warisan para ulama atau leluhurnya, termasuk cara dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus, toleran terhadap keberagaman budaya.
Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.