Kalau tak salah ingat. Ketika saya duduk di bangku Madrasah Aliyah. Almarhum paman saya, KH Fatah Hidayat, salah seorang pengelola Pesantren Pulosari Limbangan Garut, pada sebuah acara Isra Miraj, mengundang Kang Jalal sebagai penceramahnya. Beliau bukan hanya datang, namun juga tepat pada waktunya.
Saya masih ingat bagaimana Kang Jalal menerangkan kalimat “barakna haulahu linuriyahu min ayatina” dengan memikat. Sambil mengutip bait-bait Alfiyyah Ibnu Malik. Disampaikan tentu saja dengan menggunakan bahasa Sunda. Bahkan selepas pengajian dihadiahkannya kitab at-Tabarruk. Kang Jalal sebentar singgah di kobong rais pesantren dan nampak dua bukunya tergeletak di meja tamu, “Islam Alternatif” dan “Islam Aktual” dengan jilid yang nyaris lepas karena dibaca santri senior secara bergiliran. Nampak wajahnya “bungah”.
Kelebihan Kang Jalal yang tak dimiliki cendekiawan lain: menarik ketika menuliskan gagasannya juga memukau tatkala menyampaikan secara oral pikiran-pikirannya. Buku-bukunya sama baiknya dengan senarai ceramahnya.
Selamat jalan
Pada 15 Februari 2021, Kang Jalal (lahir di Bandung, 29 Agustus 1949 ) sudah tiba pada Tuhannya. Menyusul istri tercintanya, Euis Kartini yang telah wafat empat hari sebelumnya di tempat yang sama, RS Santosa Bandung. Keduanya dimakamkan di pemakaman keluarga di Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Seorang intelektual yang selepas mendapatkan gelar master komunikasi dari Iowa State University bergabung dengan Universitas Padjadjaran sebagai staf pengajar. Pada fase ini ditulisnya buku-buku komunikasi yang sampai sekarang menjadi bacaan wajib di S1, S2 dan S3 terutama program studi komunikasi. Sebut saja Psikologi Komunikasi, Retorika Moderen, dan Metode Penelitian Komunikasi.
Ternyata Kang Jalal tidak berhenti di Fikom Unpad, menikmati zona nyaman sebagai tenaga pengajar, namun terus melakukan pengembaraan ilmiah terutama pada studi keagamaan yang dipadukan dengan filsafat, psikologi dan sosiologi.
Karyanya yang melimpah menjadi jejak yang menggambarkan seorang yang terlibat aktif dalam percakapan intelektualisme nusantara. Seperti Islam Alternatif (1986), Islam Aktual (1991), Renungan-Renungan Sufistik (1991), Catatan Kang Jalal (1997), Reformasi Sufistik (1998), Jalaluddin Rakhmat Menjawab Soal-Soal Islam Kontemporer (1998), Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik (1999), Tafsir Sufi Al-Fâtihah (1999), Rekayasa Sosial: Reformasi Atau Revolusi? (1999), Rindu Rasul (2001), Dahulukan Akhlak di Atas Fikih (2002), Psikologi Agama (2003), Meraih Kebahagiaan (2004), Belajar Cerdas Berbasiskan Otak (2005), Memaknai Kematian (2006), Islam dan Pluralisme, Akhlak Al-Quran dalam Menyikapi Perbedaan (2006).
Menuju “Agama Madani”
Salah satu obsesinya adalah memastikan bahwa keberagamaan (keislaman) itu identik dengan sikap memuliakan pikiran, menghormati kemanusiaan dan menjunjung perbedaan. Ruang publik multikultural semestinya diisi pertukaran argumentasi dan komunikasi deliberasi yang berporos pada semangat saling memahami dan lapang dada.
Bagi Kang Jalal, sebagaimana dalam sebuah wawancara HU Kompas (2011) bahwa dalam latar keindonesiaan yang beraneka suku, agama dan budaya, pemunculan agama harus mengutamakan sisi nilai universal dan aspek kebaikan bersama. Inilah yang disebutnya sebagai “agama madani”. “Kita perlu mengembangkan pemahaman agama madani. Ini bukan agama baru, melainkan pemahaman yang mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dan berkonsentrasi memberikan sumbangan bagi kemanusiaan dan peradaban,”
Dalam menjelaskan agama madani, Kang Jalal mengutip filsuf kelahiran Swiss, Jean Jacques Rousseau, yang hidup pada zaman Revolusi Perancis (abad ke-18 Masehi). Rousseau menyebut la religion civile (agama civil) sebagai agama yang relevan untuk kehidupan moderen. Agama sipil yang memiliki kesanggupan menyatukan keragaman warga sebagai antitesa dari “agama resmi” yang acapkali justru menimbulkan sengketa atasnama dogma.
Masih dalam wawancara Kompas, Kang Jalal memetakan fenomena pemahaman keislaman di Indonesia menjadi tiga jenis Islam: Islam fiqhiy, Islam siyasiy, dan Islam madani. Islam madani merupakan pencapaian akhir dari dua tahapan pemikiran sebelumnya. Islam fiqhiy memusatkan perhatian pada ajaran fikh yang dipraktikkan sehari-hari. Islam menjadi sangat ritual. Kesalehan diukur dari ritual. Pemahaman ini umumnya hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. Islam siyasy memandang Islam sebagai kegiatan politik yang memusat pada perjuangan untuk merebut kekuasaan lewat konsep negara Islam, menegakkan syariat Islam, atau mendirikan khilafah. Keselamatan bukan untuk sekelompok Islam, tetapi untuk seluruh umat Islam, rahmatan lilmuslimin.
Dengan kata lain, sebagaimana disampaikan pada saya pasca acara sebuah seminar di Bandung pertengahan 2018, bahwa Pancasila yang menjadi ideologi Bangsa Indonesia bukan hanya tepat namun juga menjadi jawaban meyakinkan atas ruang keindonesiaan yang multikultural. Pancasila adalah ekspresi dari “agama madani”. Pancasila yang sejak kelahirannya pada sidang 1 Juni 1945 diniatkan sebagai “falsafah mendasar” dan “pandangan dunia” yang menjadi titik temu semua keanekaragaman sekaligus payung tempat berteduh seganap warga tanpa tersekat alasan perbedaan agama, budaya, dan suku. Politik kewargaan jauh lebih penting dan berfaedah ketimbang politik yang diacukan pada identitas ekslusif dan sempit.
Menjebol Dogmatisme
Dari Kang Jalal juga kita belajar keberaniannya dalam menafsir teks-teks keagamaan secara kontekstual dan penuh tanggungjawab. Sekaligus keberanian bersikap membela kebenaran, pendampingan terhadap kelompok minoritas dan keikhlasannya membantu banyak kalangan.
Tentang keragaman Kang Jalal dengan tegas menyebutnya sebagai realitas eksistensial yang harus diterima dan menjadi pintu masuk menebar serbuk kebaikan satu dengan lainnya. Lewat keragaman kita menjadi “ada” sekaligus menjadi berguna di hadapan yang berbeda. Dalam bukunya Madrasah Ruhaniah: Berguru Pada Ilahi di Bulan Suci, Kang Jalal menulis, “Seluruh agama pada awalnya adalah agama samawi.”
Dalam bukunya yang lain, Islam dan Pluralisme: Akhlak Quran Menyikapi Perbedaan, Kang Jalal mengatakan bahwa seorang ekslusif sebagai kawanan yang berkeyakinan secara tertutup, “hanya pemeluk agamanya saja yang selamat dan masuk surga. Di luar lingkungan agama kita, semuanya masuk neraka.”
Dalam buku itu dihadirkan sebuah telaah tentang kecenderungan klaim masuk surga yang seringkali menjadi awal tergelarnya konflik keagamaan mengerikan.
“Umat Islam akan pecah menjadi 73 golongan. Semua masuk neraka, kecuali golonganku. Lebih lanjut, dalam golonganku, semuanya masuk neraka kecuali mereka yang ikut kepada Ustaz Fulan sana. Maka rahmat Allah yang meliputi langit dan bumi sekarang diselipkan di sudut surau yang sempit.”
Seakan tidak cukup dengan narasi itu, pada halaman lain “dipanggilnya” Tuhan untuk menguatkan argumentasinya, “Tuhan tidak menghendaki kamu semua menganut agama yang tunggal. Semua agama itu kembali kepada Allah. Adalah tugas dan wewenang Tuhan untuk menyelesaikan perbedaan di antara berbagai agama.”
Yang Terus Bergejolak
Membaca Kang Jalal, kita seperti tengah menyaksikan seorang peziarah yang tak pernah berhenti pada satu titik. Selalu melanjutkan perjalanan ke tempat entah dan tidak pernah puas lama singgah pada sebuah wilayah. Mazhab sebagai sebuah jazirah bukan untuk menetap selamanya, tapi medan pergumulan pencarian atas kebenaran yang sejak awal diyakini harus dicarinya dengan mengerahkan nalar secara optimum.
Semacam iman yang membebaskan (liberasi) dan meniupkan angin perubahan (transformasi). Iman yang mendebarkan, menciptakan suasana sepi dalam “keheningan mistik” (mystic silence) sekaligus “riang” dalam proses pencarian baik secara ontologis (hakikat keberadaan) atau pun eksistensialis (tentang makna keberadaan).
Iman yang mengingatkan saya pada pujangga besar Sunda Hasan Mustapa. Pada sebuah guguritannya yang menterakan manusia yang selalu disekap kerinduan mencari Tuhan. Dan pencariannya itu tak pernah berujung, menjebol, mengguncang dan tanpa batas. Tapi tak kapok terus mengupayakannya kembali dan (tidak) ditemukan lagi. Iman menjadi serupa labirin.
Ngalantung neangan itu
ieu deui ieu deui
sapanjang neangan eta
itu deui itu deui
sapanjang neangan mana
ieu deui ieu deui.
Pencarian pada yang awal dan akhir atau sekaligus yang awal itu adalah yang akhir. Iman yang tidak bertendensi melakukan pendakuan kebenaran. Seperti dalam Sinom Wawarian:
Jagana jaga iraha
Iraha teu nyaho teuing
da pada baroga jaga
da pada baroga jangji
jangjina sanubari
bari hurung-hurung layung
da kudu geus surupna
rep sirep sirananing pasti
pasti kuring taya kakuranganana
Maka menjadi bisa dipahami kalau Kang Jalal secara tidak terduga seringkali melakukan lompatan “keagamaan” dan tidak betah hinggap pada sebuah ormas. Dalam pengakuannya, Kang Jalal lahir dari kultur Nahdlatul Ulama. Ketika remaja bersemangat masuk Persatuan Islam (Persis) dan aktif di Rijalul Ghad. Setelah itu terlibat di kepengurusan Muhammadiyah dan menjadi pendakwah yang giat menyerang bid’ah, khurafat dan tahayyul ketika pulang ke kampung halamannya.
Tidak berhenti di sana, pada 2001 Kang Jalal mengibarkan Ijabi (Ikatan Jamaah Alhulbait Indonesia) dan menjadi pemimpinnya. Sebuah ormas keagamaan yang secara terang-terangan mendeklarasikan sebagai organisasi komunitas kaum Syiah di Indonesia. Lengkap dengan kesediaannya melayani debat, seminar dan pengajian seputar mazhab ahlul bait di berbagai forum dan beragam kesempatan dengan argumentasi yang tidak mudah dipatahkan. Dengan tekad yang sejak awal dipancangkan: mengokohkan ukhuwah, menjahit tenun kebersamaan.
Kang Jalal, terang jalan di keabadian.