Sedang Membaca
Setelah 95 Tahun, Lalu Apa Pentingnya Proliferasi NU
Amin Mudzakkir
Penulis Kolom

Amin Mudzakkir, peneliti di Pusat Riset Kewilayahan BRIN dan dosen di Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI Jakarta & Program Pascasarjana Fakultas Islam Nusatara Unusia Jakarta. Menyelesaikan S3 di STF Driyarkara (2021).

Setelah 95 Tahun, Lalu Apa Pentingnya Proliferasi NU

Img 20200629 Wa0012

Setelah 95 tahun, lalu apa? Kira-kira itulah pertanyaan yang melintas spontan di pikiranku ketika melihat orang-orang memasang bingkai hari lahir NU ke-95. Tentu saja ini adalah pertanyaan klise, tetapi kiranya tetap perlu diajukan dengan harapan muncul jawaban baru. Siapa tahu ada yang terlewat—dan memang selalu ada yang terlewat.

Soal terlewat ini mungkin sepele, tetapi dampaknya bisa gawat. Seperti tempo hari, Iip Dzulkifli Yahya, penulis buku Ajengan Cipasung: Biografi KH Moh. Ilyas Ruhiat mengontak saya. Dia mengabarkan bahwa kalender 2021 yang diterbitkan oleh PBNU tidak memuat gambar KH Ilyas Ruhiyat, padahal semua rais ‘aam syuriyah dan ketua umum tanfidziyah PBNU termaktub di sana. Lebih gawat lagi, keterlewatan ini ternyata juga terdapat dalam kalender 2020. Ada apa di balik ini? 

Saya sendiri tidak tahu persis apa yang terjadi di balik dua tahun keterlewatan itu, tetapi tampaknya ada sesuatu yang berada di luar urusan teknis. Keterlewatan gambar ajengan Ilyas mewakili keterlewatan NU terhadap warganya di Jawa Barat, khususnya yang berlatar belakang etnis Sunda. Sudah terlalu lama karakter NU didominasi kultur Jawa, sebuah kenyataan tak terelakkan yang pada 95 usianya mestinya mendapatkan perhatian ulang.  

Pertanyaan mengenai keberadaan dan posisi NU di luar lingkungan kultur Jawa sudah menjadi pertanyaan klasik, tetapi sejauh ini belum ada jawaban yang memuaskan. Kaderisasi, misalnya lewat Madrasah Kader Nahdlatul Ulama (MKNU), memang gencar dilakukan, termasuk di kota-kota di Jawa Barat, namun hal itu tampaknya belum menyentuh—atau lebih tepatnya mengakomodasi—muatan lokal yang hidup di sana. Yang terjadi seolah-olah kader NU di manapun didorong agar menjadi kader NU sebagaimana berkembang dalam tradisi pesantren-pesantren Jawa. Islam Nusantara, akibatnya, menyempit menjadi Islam Jawa. 

Baca juga:  Ali Kalora, MIT, dan Kekerasan Atas Nama Agama

Oleh karena itu, saya senang melihat Alif.Id yang belakangan sering menampilkan profil ulama-ulama Banjar. Ini adalah jalan penting menuju proliferasi—pengembangbiakkan—NU di luar lingkungan kultural Jawa. Terlebih lagi Banjar adalah daerah dari mana KH Idham Chalid, Ketua Umum PBNU terlama (1956-1984), berasal. 

Masalah keterlewatan ini berdampak secara politik. Ketika KH Ma’ruf Amin maju menjadi calon wakil presiden, saya menulis di Tempo (5/01/2019) bahwa langkah ini tidak akan terlalu berpengaruh besar di Jawa Barat dan Banten. Signifikansi NU di kedua daerah tersebut, khususnya secara politik, kecil. Memang secara keagamaan dan kebudayaan penduduk Muslim di sana berperilaku seperti orang NU, tetapi bukan NU. Kenyataan sosiologis seperti ini kadang kurang disadari oleh para elit NU di Jakarta—yang umumnya orang Jawa. Makanya, tidak heran, pencapaian suara Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin di Jawa Barat dan Banten di luar harapan.

Dalam hal ini pengaruh Gus Dur cukup paradoksal. Pada satu sisi dia berhasil membawa NU ke tingkat kemajuan pemikiran kultural yang mungkin tidak terbayangkan sebelumnya. Generasi NU di bawah kepemimpinan Gus Dur selama periode 1980-an dan 1990-an tumbuh menjadi lebih kosmopolitan. Akan tetapi, di sisi lain, kemajuan ini meninggalkan sebagian warga NU lainnya di belakang. Mereka tetap memeluk model konservatisme keagamaan dan politik yang hingga titik tertentu bisa dianggap berseberangan dengan Gus Dur.

Baca juga:  Mengurai Makna Kalabendu sebagai Jalan Refleksi Diri

Sekarang, di usia ke-95, adalah saatnya NU mengurai kembali paradoks yang ditinggalkan oleh Gus Dur tersebut. Mereka yang tertinggal di belakang, yang seringkali dianggap konservatif, perlu diajak ulang untuk terlibat dalam keorganisasian. Namun di sini ada syarat. Kritik sektarianisme yang menyasar kelompok konservatif perlu sedikit dikurangi dosisinya. Biarlah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) menjadi urusan pemerintah. Sebaliknya, kritik ekonomi-politik justru perlu ditambah volumenya, sebab melalui kritik inilah NU bisa tersambung kembali dengan kebutuhan sebagian besar warganya yang berada di wilayah ambang ekonomi kecil dan menengah. 

Dengan kalimat lain, kembali ke pertanyaan awal, NU bisa melakukan proliferasi jika ia mau mereformulasi agenda kritiknya. Apa yang selama ini dilakukan lewat MKNU harus dilanjutkan, tetapi di dalamnya perlu ada tambahan. Selain soal peta ideologi Ahlusunnah wal Jamaah, termasuk kritiknya terhadap Wahabisme dan paham Islam radikal lainnya, wawasan mengenai kapitalisme dan dampaknya terhadap NU harus disampaikan. Pokok terakhir ini, menurut saya, bisa merekatkan kerenggangan antara, katakanlah, sayap yang lebih konservatif dan sayap yang lebih kosmopolit.

Walhasil, semoga dengan ini skandal keterlewatan foto KH Moh. Ilyas Ruhiat tidak lagi terjadi, sebab fokus NU ke depan bukan lagi representasi kultural, melainkan transformasi struktural. Dengan ini pula saya berharap orang Sunda, Betawi, Banten, Banjar, dan yang lainnya bisa kembali ke pangkuan NU, sebab mereka akan melihat NU sebagai sarana untuk memperjuangkan kehidupan nyata sehari-hari yang terasa semakin berat akhir-akhir ini.  

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top