
Sudah banyak orang yang mencatat serta mendokumentasikan perjalanan hajinya―lantas mempublikasikan dalam bentuk buku. Baik yang bernada sastrawi, kronika, catatan jurnalis, hingga yang bersifat ilmiah sekalipun. Sebut saja yang paling terkenal―buku Orang Jawa Naik Haji karya Danarto, sastrawan senior asal Sragen. Atau buku Bersujud di Baitullah― karya Dr. Moeslim Abdurrahman yang semula merupakan disertasinya di University of Illinois, Urbana, USA. Dan masih banyak lagi buku yang sejenis, salah satunya Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto.
Buku setebal 242 halaman tersebut, pertama kali diterbitkan oleh Departemen Agama RI pada bulan Mei 1993, dua tahun pasca Ibadah Haji Pak Harto (16-26 Juni 1991). Dalam kata pengantarnya, Menteri Agama Tarmizi Taher mengatakan, semula buku itu dicetak 5000 eksemplar dan dibagikan kepada masyarakat. Namun, atas saran Menteri Penerangan, Harmoko, dan berbagai pihak, buku itu dicetak kembali pada tahun 1994 oleh PT Gunung Agung dengan tujuan agar mudah ditemui di banyak toko buku (hlm x).
Buku Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto menempati posisi yang istimewa. Bukan saja mengisahkan kronik perjalanan haji seorang kepala negara. Namun sempat menuai kontroversi. Banyak pengamat berpendapat bahwa perjalanan haji Presiden Soeharto tak lebih sekadar ibadah politis. Pasalnya, Haji itu ditunaikan oleh Pak Harto 25 tahun pasca ia menjabat sebagai presiden. Lebih-lebih dilaksanakan pada tahun 1991, setahun menjelang pemilu 1992. Kala itu muncul istilah “Politik Ijo Royo-royo”, sebuah metode pendekatan baru Orba terhadap politik umat Islam. Hal itu dibuktikan dengan dibentuknya ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), Bank Muammalat, UU Peradilan Agama yang di inisiasi Rezim Soeharto di era 90-an (Idris, 2018: 46).
Terlepas dari itu semua, buku Ibadah Haji Pak Harto tetap menarik untuk dibaca. Bukan hanya sebagai dokumentasi, tetapi menggambarkan bagaimana seorang Soeharto berangkat haji bukan sebagai presiden, tetapi sebagai hamba Allah. Seperti yang dikatakan oleh Menteri Agama, Munawir Sjadzali, “Presiden naik haji bukan sebagai kepala negara tetapi seorang muslim hamba Allah dan warga negara Indonesia,” (hlm 14).
Rombongan Presiden Soeharto beserta Keluarga Cendana sebanyak 28 orang, berangkat ibadah haji pada tanggal 16 Juni 1991. Rombongan itu tergabung pada kloter 97, kloter terakhir yang diikuti oleh 213 jamaah Haji. Mereka menaiki pesawat Boeing 747 Garuda Indonesia yang lepas landas dari bandar udara Halim Perdanakusuma tepat pukul 10.00 WIB (hlm 79). Dan landing di Bandara King Abdul Azis Jeddah pada pukul 17.15 waktu setempat. Rombongan Pak Harto disambut oleh Gubernur Mekah sekaligus adik kandung Raja Fahd, Pangeran Abdul Majid Abdul Azis didampingi Menteri Agama Munawir Sjadzali, Mensesneg Moerdiono, Panglima ABRI Try Sutrisno dan beberapa pejabat lainnya.
Dalam perjalanannya, rombongan Pak Harto terlebih dahulu berziarah ke Madinah. Mereka menziarahi makam Rasulullah, Masjid Qiblatain, dan Masjid Khamsah. Baru setelah itu bertolak ke Makah pada tanggal 19 Juni untuk melaksanakan ibadah haji dan umrah. Saat Pak Harto berthawaf di Ka’bah, tak ayal mengundang perhatian jamaah haji lain, terutama asal Indonesia, antara kagum bercampur haru. “Saya memang berada di masjid ingin berthawaf bersama Pak Harto. Alhamdulillah bisa terlaksana. Ini merupakan kebahagiaan tersendiri bagi saya dan tentu jamaah lainnya”, tutur seorang jamaah asal Yogyakarta (hlm 104). Yang lebih mengejutkan, ketika wukuf, Pak Harto menolak mendapat perlakuan istimewa. Padahal suhu udara di Arafah saat itu 43 derajat dan usia beliau menginjak 70 tahun. Pak Harto memilih wukuf di kemah biasa bersama-sama jamaah lain asal Indonesia.
Usai Haji, Raja Fahd bin Abdul Azis memberi penghormatan khusus Presiden Soeharto dan rombongan dengan menjamunya. Kedua pemimpin negara itu bertemu pada tanggal 25 Juni pukul 21.00 waktu Arab Saudi. Selain membicarakan kerjasama dalam bidang ekonomi dan politik, Raja Fahd memberi tambahan nama kepada Pak Harto, Ahmad atau Muhammad. Pak Harto memilih Muhammad. Sedangkan Ibu Tien mendapat tambahan nama Siti Fatimah. Pak Harto beserta rombongan baru kembali ke Tanah Air pada 27 Juni pukul 09.45 WIB.
Hal pertama yang dilakukannya di Indonesia adalah sujud syukur di Masjid Cut Meutiah, yang tak jauh dari kediamannya di Jl. Cendana. Ketika diwawancarai wartawan terkait dugaan motif haji Pak Harto yang sarat politis, ia hanya menjawab, “sebenarnya bagi saya sudah lama untuk memenuhi cita-cita atau keinginan untuk memenuhi kewajiban ibadah haji. Tapi karena saya pikir waktu itu keadaan negara kita masih memerlukan pemikiran dan tenaga untuk melaksanakan pembangunan, maka terpaksa saya tunda-tunda,” (hlm 164).
Di bagian akhir (Bab 4) sekali lagi Pak Harto menegaskan bahwa ia bukan berasal dari kalangan Abangan seperti yang dituduhkan banyak pihak. Ia merupakan murid Schakel Muhammadiyah, Kampung Sayidan, Yogyakarta. Dengan mewancarai H.M. Azhari (72 tahun), teman satu sekolahan Pak Harto, buku ini hendak memperkuat argumen bahwa Soeharto merupakan Muslim sejati. “Saya sering melihat air wudlu masih menempel di wajahnya ketika sekolah dimulai lagi setelah istirahat sore,” kenang Azhari (hlm 193). Pak Harto juga bercerita ketika ia ikut pamannya, Pak Prawirodihardjo di Wuryantoro, Yogyakarta, “Saya mendapat pendidikan agama yang cukup kuat, karena keluarga paman saya itu terbilang tebal ketaatannya kepada agama,” (hlm 196).
Pada gilirannya, buku ini bukan sekadar laporan perjalanan ibadah haji. Akan tetapi refleksi tentang bagaimana kekuasaan bisa tunduk di hadapan Yang Maha Kuasa. Menjadi pengingat, bahwa sebesar apapun jabatan, setinggi apapun kedudukan, ketika haji sama saja.
Dus, buku ini telah merekam keheningan Haji Muhammad Soeharto. Dan dalam keheningan itulah kita bisa mendengar suara hati seorang presiden―yang untuk sesaat memilih menjadi hamba. Barangkali justru di situlah letak kebesaran sejati seorang Pak Harto. Jika benar perjalanan itu dilandasi iman dan niat tulus, maka seperti yang diucapkan Pak Harto sendiri, “mudah-mudahan akan lebih memberi kekuatan pada iman saya dan keluarga.” Sebuah harapan yang tak hanya layak dicatat, tapi juga diteladani. Wallahu A’lam.
Bahan Bacaan
Dr. Idris Thaha, 2018, Islam dan PDI Perjuangan: Akomodasi Aspirasi Politik Umat, Jakarta: Prenada.
Tim Departemen Agama, 1993, Perjalanan Ibadah Haji Pak Harto, Jakarta: Gunung Agung.
Ada teks yang salah terkait tahun, Rombongan Presiden Soeharto beserta Keluarga Cendana sebanyak 28 orang, berangkat ibadah haji pada tanggal 16 Juni 1990. berangkat ibadah haji pada tanggal 16 Juni 1991.
ada juga teks yang di ulangi, Kedua pemimpin dua negara itu bertemu pada tanggal 25 Juni pukul 21.00 waktu Arab Saudi. Seharusnya, Kedua pemimpin negara itu bertemu pada tanggal 25 Juni pukul 21.00 waktu Arab Saudi.
selebihnya tulisan sudah bagus.
mohon dewan redaksi lebih teliti.
wassalam.
Terima kasih atas koreksinya, ya. Sudah kami perbaiki.