Sedang Membaca
Eksotika Tubuh dalam Syair Kiai Abul Fadhol: Citra, Keindahan, dan Kritik Sastra
Alfi Saifullah
Penulis Kolom

Alumnus Ponpes Manbaul Ulum Batu. Penulis Kolom dan Buku Biografi, salah satunya "Raden Panji Iskandar Sulaiman: Jejak-jejak perjalanan santri Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari". Tinggal di Kota Batu, Jawa Timur. Instagram: saif.ullah1090.

Eksotika Tubuh dalam Syair Kiai Abul Fadhol: Citra, Keindahan, dan Kritik Sastra

Syair Kiai Abul Fadhol Senori

Dalam khazanah Islam di nusantara, banyak ulama yang menebarkan ilmu melalui aktivitas belajar-mengajar, tetapi juga mengekspresikan pemikirannya melalui buah karya ilmiah. Salah satu sosok tersebut adalah Kiai Abul Fadhol bin Abdus Syakur As-Senori (1917-1990), seorang ulama dari Senori Tuban yang telah menulis lebih dari 12 kitab dari berbagai disiplin ilmu, salah satunya Ahlal Musamaroh fi Hikayat Auliya’ Al-Asyroh.

Kitab sejarah setebal 86 halaman ini menceritakan secara global 10 ulama penyebar Islam di Jawa, hingga pecahnya peperangan antara Demak versus Majapahit. Tidak hanya mencatat sejarah, Kiai Abul Fadhol memperindah narasi sejarah dengan syair yang mengartikulasikan tubuh, pesona, dan kecantikan tokohnya.

Berbicara tentang tubuh dalam konteks sastra, lebih dari sekadar bentuk. Ia bisa jadi penanda masa, sekaligus sebagai proyeksi nilai dan estetika yang berkembang di tengah masyarakat saat itu. Melalui Ahlal Musamaroh, Kiai Abul Fadhol telah menghidupkan potret tokoh sejarah melalui untaian syair yang menawan. Ia menempatkan tokoh-tokoh tersebut dalam pusaran makna, membingkai tubuh dengan metafora yang tak hanya indah, namun mengandung konteks sejarah, budaya, dan filosofi.

Maskulin, Rupa, dan Seberkas Cahaya

Kiai Abul Fadhol melukiskan ketampanan Raden Fattah, sultan pertama Demak dengan dua bait syair,

كَاَنَّهُ قَمرٌ صَدَّعَ الظُّلْمَا #  يَطْلُعُ فىِ ظُلُمَا تِ اللَّيْلِ مُلْتَمِعَا

نُوْرٌأَضَاءَتْ بِهِ اْلآفَا قُ فَا نْفَتَحَتْ #  بِهِ اْلهِدَا يَةُ فِى الْاَرْضِ وَقَدْ سَطَعَا

Dia ibarat rembulan yang menerangi kegelapan,

Yang memancarkan cahaya di kegelapan malam.

Hamparan langit berubah terang karena cahaya itu,

Dikarenakan sinar itu, terbukalah petunjuk di muka bumi.

Ketampanan dalam citraan ini, bukan sekadar bentuk atau raut muka yang halus. Ia telah bertransformasi menjadi fenomena kosmik.Tubuh Raden Fattah tidak berada lagi dalam ambang batas jasmani, ia menjelma menjadi rembulan dengan fungsi-fungsi spiritual.

Syair ini seakan menjadi semacam prasasti. Bahwa tegaknya Kasultanan Demak dengan Raden Fattah sebagai raja pertamanya, menjadi gerbang dan momentum awal keberlangsungan syiar Islam di tanah Jawa. Pada titik ini, estetika tubuh menyatu dengan peran-peran historis.

Baca juga:  Menjejak Keprak: Pagelaran Wayang Purwa Sebagai Sebentuk Meditasi

—-

Hampir serupa ketika melukiskan Raden Fattah, Kiai Abul Fadhol memberikan metafora Bulan Purnama terhadap Raden Husain (Raden Kusen), adik kandung Raden Fattah yang kelak menjadi Adipati Terung, sekaligus panglima perang Majapahit. Dengan dua bait syair, Kiai Abul Fadhol mengartikulasikan rupa Raden Husain.

كَأَنَّ جَبَيْنَهُ تَحْتَ الشُّعُوْرِ #  هِلَا لٌ بَيْنَ أَسْوِدَةِآلَّيَالِى

يُرِيْنَا صَفْحَتَى قَمْرٍمُنِيْرٍ#   بِوَ جْهٍ صِيْغَ مِنْ عَيْنِ اْلجَمَالِ

Dahi di bawah rambutnya,

seperti bulan Purnama yang membelah kepekatan malam.

Menunjukkan kita terhadap dua arah sinar rembulan yang menerangi,

dari wajah yang tercipta sangat rupawan.

Terdapat duplikasi dalam potret ini. Bulan purnama tidak berdiri sendiri, melainkan membelah kegelapan malam menjadi dua. Ada dua arah sinar rembulan yang menerangi, seolah membingkai sikap Raden Husain yang tak pernah tunggal. Di satu sisi, Raden Husain adalah muslim sejati, murid Sunan Ampel. Di sisi lain, ketika Kasultanan Demak di era Sultan Trenggana menyerang Majapahit, Raden Husain-lah yang menjadi ujung tombak pertahanan Majapahit.

Ia sukses mematahkan sekaligus membunuh panglima perang Demak, Sunan Ngudung (Sayyid Usman Haji), yang notabene besannya sendiri. Dus, dalam syair Kiai Abul Fadhol telah menyajikan keberadaan emosi yang terbelah dalam dua sisi yang berlawanan. Ketampanan dalam syair ini bukan semata-mata soal muka yang rupawan, tetapi juga tentang ambivalensi.

Eksotisme Perempuan, Bias-bias Keindahan dan Reduksi

Jika sebelumnya tentang ketampanan, kini giliran syair kecantikan. Dalam menarasikan kecantikan Dewi Candrawulan, putri Raja Campa, Kiai Abul Fadhol berkata,

فِى رَأْسِهَا غَسَقٌ فِى وَجْهِهَافَلَقٌ # فِى ثَغْرِهَانَسَقٌ مِصْبَاحٌ جِيْرَانِ

فىِ قَدِّ هَابَةٌ فِى رِدْفِهَا ثِقَلُ # يَهْتَزُّمِنْ خَلْفِهَاكَمِثْلِ كُثْبَبَا نِ

Baca juga:  Pesona Kuda dalam Puisi Arab

تَجَهَلَ اْلوَا صِفُوْنَ فِى تَسَا ؤُلِهِمْ #  مِنْ بَشَرٍ اَمْ مِنْ جِنْسِ غَزْلَانِ

Rambutnya hitam pekat, wajahnya berseri-seri

Untaian giginya yang runtut menyinari sekelilingnya

Tubuhnya tegak laksana pohon banah, sedang pantatnya berisi

Yang bergerak ke kanan-kiri seperti tumpukan pasir

Siapa yang memandangnya akan bertanya-tanya

Apakah ini manusia ataukah sejenis rusa?

Di sini artikulasi kecantikan terletak pada detail-detail tubuh. Kecantikan Dewi Candrawulan menjadi daya tarik luar biasa yang sulit dijangkau logika. Lebih-lebih terdapat reduksi dalam deskripsi tubuh, sesuatu yang mendekati hedonistik dalam pola penggambaran. Seperti narasi, pantat yang bergerak ke kanan-kiri, tubuh tegak, rambut hitam pekat, menjadi daya tarik yang bergerak dalam ruang imajinasi dengan daya hipnotisnya sendiri. Bahkan, metafora ‘sejenis rusa’ menjadi artikulasi yang lebih liar, sekan-akan wanita menjadi sesuatu yang bisa diburu, bahkan bila perlu dikejar.

Selanjutnya Kiai Abul Fadhol menggambarkan Dewi Sekardadu, ibunda Sunan Giri dengan narasi yang relatif lebih panjang,

لَهَا مُحَيًّا كَبَدْرٍفِى الدُّجَى سَحَرَا #  وَشَعْرُهَا مِثْلُ لَيْلٍ حِيْنَمَا اعْتَكَرَا

يَخْرُ جُ مِنْ ثَغْرِهَانُوْرٌاِذَآْبتَسَمتْ #  كَالْبَرْقِ يَخْطَفُ نُوْرَعَيْنِ مَنْ نَظَرَا

مَشَتْ فَأَخْجَلَتِ اْلأَغْصَانَ وَاْلتَفَتَتْ # فَصَيَّرَتْ نَاظِرًالَهَاسَكَرَا

وَاَقْبَلَتْ فَأَرَتْ نَهْدَيْنِ خَلَهُمَا # رُمَّانَتَيْنِ نُهُوْدًا كُلُّ مَنْ بَصَرَا

وَأَدْبَرَتْ فَأَرَتْ مَوْجاًقَدِاضْطَرَبَا #  لاَطُوْلَ فِى قَدِّهَا قَطُّ وَلَاقِصَرَا

Wajahnya bersinar seperti bulan di waktu sahur

Hitam rambutnya berkilau seperti malam yang kelam

Jika tersenyum memancar sinar giginya yang putih

Bagaikan kilat yang menyambar pandangan mata

Dahan-dahan akan tertunduk malu melihat langkahnya

Lirikan matanya membuat orang mabuk cinta

Dari depan terpampang payudaranya yang montok

Orang-orang akan menyangka itu buah delima yang terbelah menjadi dua

Mempesonakan  setiap yang memandang

Sedang dari belakang pantatnya terlihat tak ubahnya ombang yang bergelombang

Dari langkah wanita cantik yang berperawakan sedang.

Dalam syair ini, istilah tubuh tidak sekadar eksotis atau ‘sedap’ dipandang, tetapi bertransformasi menjadi lanskap itu sendiri. Ada lapisan keindahan, tetapi juga ada bias yang tak terhindarkan dari cara Kiai Abul Fadhol menarasikan syair. Terminologi seperti, kilat, buah delima, atau ombak bergelombang menjadikan tubuh tak ubahnya elemen-elemen alam, liar dan hampir tak terkendali. Dus, syair ini berupaya menampilkan tentang hasrat, sebuah kekaguman terhadap keindahan tubuh perempuan.

Baca juga:  Melestarikan Kesenian Ebeg di Banyumas

Dalam kritik sastra feminis, salah satu yang menjadi perdebatan utama adalah bagaimana perempuan kerap dihadirkan sebagai objek teks sastra laki-laki. Dari Kamasutra hingga Serat Centhini, tubuh perempuan acapkali menjadi medan eksplorasi sastra yang merangsang imajinasi pembaca.

Betapapun dalam syair Kiai Abul Fadhol memiliki keindahan tersendiri, baik dalam diksi maupun kekuatan imajinatif, namun masih mempertahankan struktur sosial dimana perempuan merupakan ‘objek yang dilihat’ dan laki-laki sebagai ‘subjek yang melihat’. Ini bukan sekadar keindahan bahasa, tetapi cara berfikir yang lebih luas—bahwa dalam konteks bahasa, perempuan masih dikendalikan oleh narasi laki-laki.

Refleksi: Estetika sastra dan tafsirnya

Sastra bukanlah sesuatu yang mati—ia hidup dalam dialektika zamannya. Membaca ulang syair-syair Kiai Abul Fadhol bukan sekadar menikmati keindahan metaforanya, tetapi juga merefleksikan bagaimana estetika dalam sastra berkelindan dengan budaya, nilai-nilai sosial, atau bahkan ideologi.

Eksotika dalam syair Kiai Abu Fadhol bukan semata-mata soal fisik, tetapi juga cara pandangnya terhadap dunia. Karena tubuh selalu memiliki arti lebih dari yang sekadar manusia pahami tentangnya. Di sinilah letak kekuatan sastra, tidak semata-mata menyajikan keindahan, tetapi menggiring imajinasi untuk terus mempertanyakan esensinya. Wallahu a’lam.

Bahan Bacaan:

As-Senori, Syaikh Abul Fadhol, (tt), Ahlal Musamaroh fi Hikayat Al-Auliya Al-Asyroh, Tuban: Majlis Penyebaran Kitab Syaikh Abul Fadhol.

Sugihastuti, (2015), Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top