Di pusara yang sama dengan Syekh al-Aini, jasad al-Hafizh al-Qasthalani dibaringkan. Di satu kubah. Saya belum tahu ada hubungan apa dan karena apa sehingga beliau di makamkan di dalam madrasah al-Aini dan dibaringkan disisinya. Sebagaimana kita tahu dan sudah saya singgung saat menulis tentang madrasah dan Syekh al-Aini, makam ini adalah makam keluarga. Tapi yang jelas, sebagaimana dituturkan Abdul Qadir al-Aidrus dalam an-Nur as-Safir bahwa rumah beliau di samping madrasah ini.
Lahir di Mesir dengan nama Ahmad. Syihabuddin Ahmad al-Qasthalani asy-Syafii al-Qahiri. Syihabuddin adalah gelar bagi setiap ulama yang bernama Ahmad. Adapun Syamsuddin untuk yang bernama Muhammad. Burhanuddin untuk yang bernama Ibrahim. Dan seterusnya. Banyak yang keliru dalam hal ini sebab kurang tahqiq dalam membaca sejarah ulama, sehingga menganggap Syihabuddin, Syamsuddin dan Burhanuddin juga Jalaluddin sebagai nama asli.
Beliau masih murid Syekh Khalid al-Azhari, semasa dengan Syeikhul Islam Zakaria al-Anshari dan juga guru Sidi Syekh Abdul Wahab Sya’rani. Bahkan Syarah Bukhari beliau lebih dulu ditulis dari pada syarahnya Syeikhul Islam yang berjudul Tuhfatul Bari atau Minhatul Bari.
Penulis al-Kawakib as-Sairah menyebut ia masih murid al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani, tapi kalau kita melihat fakta bahwa Ibnu Hajar meninggal tahun 852 H dan al-Qasthalani lahir tahun 851 H maka tidak mungkin beliau ada kesempatan berguru padanya saat akil baligh, kecuali maksudnya adalah syeikhur riwayah sebagaimana Imam Suyuti yang saat masih balita dibawa oleh ayahnya ke majelis al-Hafizh Ibn Hajar dan beliau memberi ijazah ‘ammah pada yang hadir termasuk yang masih kecil sekalipun, akhirnya Imam Suyuti dalam autobiografinya yang berjudul at-tahadduts bini’matillah memasukkan al-Hafizh Ibn Hajar dalam jajaran thabaqat pertama syuyukhur riwayahnya.
Selain bergelar al-hafizh di mana gelar ini di posisi atas dalam ilmu hadis, beliau juga al-qari’ yang menaruh perhatian besar dalam Alquran dan ilmu qiraat. Baik membacakan, mengajar maupun menulis kitab-kitab tentang tajwid, tafsir dan ilmu qiraat. Kata Sidi Syekh Sya’rani beliau membaca alquran dengan 14 riwayat. Selain itu menurut Ibrahim al-Jirmi dalam biografi Imam Syatibi Sayyidul Qurra’, satu-satunya ulama yang menaruh perhatian besar dalam menuliskan biografi Sayyidul Qurra’ asy-Syathibi yang punya nazam Syathibiyah dalam satu buku khusus adalah al-Hafizh al-Qasthalani dalam autobiografi berjudul al-Fath al-Mawhibi.
Sidi Syekh Abdul Wahhab Syarani termasuk ulama yang selektif dalam memasukkan ulama yang alim tapi zahid dalam thabaqat shughranya, tapi nama al-Qasthalani ini masuk sana.
Sosok yang kata Sidi Syekh Sya’rani berperawakan tinggi dan ganteng ini beberapa tahun mukim d Madinah. Lalu di tengah-tengah berjiran dengan Rasulullah terjadi sesuatu yg dalam tradisi kaum sufi disebut jazab.
Sebelum jazab ini beliau sudah produktif, tapi karya-karyanya kurang diterima oleh khalayak. Bahkan Imam Suyuti berkonfronasi kuat dengan beliau soal nukilan dalam salah satu kitabnya yang bagi Imam Suyuti menukil kitabnya tapi tidak menisbatkannya kepadanya.
Tapi setelah kejadian di Madinah itu, beliau menulis al-Mawahib al-Laduniyah dalam Sirah Nabawiyah, Syamail dan segala hal yang berhubungan dengan Rasulullah. Kitab ini masyhur. Menyebar di masa beliau masih hidup. Belakangan Syekh Yusuf an-Nabhani meringkasnya dalam kitab al-Anwar al-Muhammadiyah. Para ulama hingga memujinya dengan,”Kitab yang dibeli pertama kali dan dijual terakhir kali [jika tidak punya uang sehingga harus menjual perabotnya, termasuk kitab-kitabnya],”
Kelak beliau meninggal di malam Jumat 7 Muharram tahun 923 H, dishalati di Al-Azhar setelah shalat jumat, lalu dimakamkan di belakang Al-Azhar. Di madrasah al-Aini.
Makam dua tokoh yang memiliki jasa besar dalam menebar pendar-pendar cahaya ilmu Rasulullah itu kurang terawat sebagaimana makam-makam yg lain. Di ruang pesarean ini hanya ada pondasi besar dan tinggi yang di atas pondasi itu ada bangunan gundukan kotak panjang. Ada papan kayu yang tertulis nama dua tokoh kita: al-Aini al-Hanafi dan al-Qasthalani asy-Syafii, dengan tulisan tangan yang nampak asal-asalan (atau memang tulisannya yang tidak bagus).
Karpet merahnya sudah sangat kotor dan banyak kotoran burung. Nampak jarang sekali ada yang duduk di ruang sini meskipun madrasah ini setiap hari makmur digunakan belajar mengajar dan shalat. Lagi pula, posisi ruang ini tidak enak dibuat duduk jika berkelompok karena sempit.
Saya sendiri kalau ke sini jarang masuk, hanya di depan pintu, kadang juga masuk membaca alfatihah dan semacamnya, lalu keluar duduk di iwan membaca Alquran di sana.