Dalam empat bulan terakhir, ada dua kasus yang viral berkaitan dengan praktik keagamaan di Indonesia. Pertama, kasus selebgram Oklin Fia terkait konten video “jilat es krim” di media sosial pada Agustus 2023. Dalam video tersebut, Oklin Fia memakai hijab yang lekat sebagai simbol identitas agama Islam. Sambil berjongkok, ia menjilat es krim dari tangan seorang pria yang diletakkan tepat di depan alat vital pria tersebut. Ia lantas dipolisikan karena perbuatannya dinilai sebagai keasusilaan yang berpotensi melanggar norma agama dan penodaan terhadap muslimat (peremuan muslim) berhijab lainnya.
Kedua, cuplikan video guyonan politik Zulkifli Hasan dalam Rakernas Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) pada 21 Desember 2023, viral di media sosial. Dalam video tersebut, Zulkifli Hasan selaku Ketua Umum PAN sekaligus Menteri Perdagangan RI melontarkan guyonan perihal perubahan perilaku sebagian orang saat melakukan salat sebagai efek dari konstelasi Pilpres 2024. Pria yang akrab disapa Zulhas itu bercerita bahwa saat salat Magrib misalnya, sebagian orang ada yang tidak lagi menjawab “aamiin” setelah imam selesai membaca surah al-Fatihah.
Zulhas juga memperagakan saat tasyahud akhir (dalam salat) yang mestinya hanya mengangkat satu jari (telunjuk), sebagian orang kini berubah mengangkat dua jari (telunjuk dan tengah). Menurutnya, itu karena mereka saking mencintai Prabowo Subianto yang menjadi Capres nomor urut 2. Belakangan kata “amin” digunakan sebagai akronim dari pasangan Capres-Cawapres nomor urut 1, yaitu Anies-Muhaimin. Zulhas lantas dituding melakukan penistaan terhadap Islam dengan menjadikan salat sebagai bahan guyonan politik. Akibatnya, masyarakat yang tidak terima dengan itu melaporkan Zulhas ke pihak kepolisian.
Salah satu hal yang menarik dibahas dalam kasus Oklin Fia dan Zulhas di atas adalah realitas praktik ritual keagamaan masyarakat Muslim Indonesia yang mengarah kepada pospiritualitas. Pospiritualitas disebut juga spiritualitas modern merupakan spiritualitas dalam kehidupan masyarakat masa kini (kontemporer). Pospiritualitas adalah ketika dorongan rohaniah untuk kesucian jiwa yang bersifat transendental-sakral telah bercampur aduk dengan nilai-nilai materialisme (imanen) dan logika hasrat duniawi-profan (Naim, 2013: 245-246).
Pospiritualitas ditandai dengan pelepasan hasrat, pengumbaran libido, konsumerisme, perayaan kegilaan, dan gaya hidup. Esensi spiritualitas terdistorsi dan terdeviasi ke dalam realitas tanda dan citra. Dalam istilah Baudrillard, spiritualitas tampil dalam wujud simulakra (simulacrum of spirituality) dan telah menjadi hiperitualitas (hiperealitas ritual) (Piliang, 2007: 173-174). Hiperitualitas dalam kasus Oklin Fia dan guyonan Zulhas tampak dari realitas ritual keagamaan, baik perilaku saat memakai hijab maupun saat salat yang tidak lagi sesuai dengan model yang dicontohkan dan dalil-dalil yang telah digariskan.
Dalil mengenai perintah dan tata cara berhijab misalnya, disebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf [7] ayat 26, surah An-Nur [24] ayat 31, dan surah Al-Ahzab [33] ayat 59. Akan tetapi hijab kemudian berkembang menjadi sebuah mode yang dalam perilaku dan cara mengenakannya dapat berbeda dari generasi ke generasi setelahnya, antara masyarakat satu dengan lainnya, bergantung pada selera masing-masing masyarakat yang bersangkutan (al-Qurthubi, 2015: 145-146). Belakangan muncul hijab fashion yang diklaim lebih modis dan modernis meski masih banyak menampilkan bentuk lekukan tubuh. Dalam syariat Islam hal itu jelas kurang memenuhi kesempurnaan nilai dan fungsi hijab yang salah satunya sebagai penutup aurat bagi muslimat (Habsari, 2015: 130).
Oklin Fia pun tampak seperti mengikuti tren berhijab fashion karena masih memperlihatkan lekukan tubuhnya. Dalam podcast di channel Youtube dr. Richard Lee MARS, Oklin Fia mengaku bahwa model dalam ia berhijab sama seperti muslimat di Turki. Ia juga mengatakan di usianya yang masih muda ingin lebih bergaya dalam berhijab. Ungkapan tersebut menjadi satu tanda dari pospiritualitas di mana berhijab sebagai praktik religiositas Islam telah berubah menjadi pengumbaran libido, pelepasan hasrat, dan gaya hidup yang sarat akan makna kemewahan seakan dianggap lebih penting daripada makna spiritualitas berhijab itu sendiri.
Dengan demikian, berhijab saat ini merupakan bentuk hiperitualitas karena tidak semata-mata sebagai pernyataan identitas keislaman atau pemahaman tentang perintah agama, melainkan juga membawa tanda, citra, dan identitas kelas sosial tertentu. Realitas praktik ritual keagamaan telah melampaui hakikat ritual itu sendiri. Hiperitualitas menjadi bentuk realitas praktik keagamaan atau ritual ibadah yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip simulasi, yakni tidak merujuk pada model ritual yang asli (baku), tetapi seakan-akan merupakan bagian dari realitas aslinya (Piliang, 2007: 175). Hal ini juga persis seperti guyonan Zulhas yang bercerita ihwal perubahan perilaku sebagian orang saat salat.
Dalam tata cara salat berjemaah, makmum disunahkan mengucapkan “aamiin” setelah imam selesai membaca surah Al-Fatihah. Kemudian pada tasyahud akhir mengangkat satu jari, yakni telunjuk kanan hingga lurus ke arah kiblat. Akan tetapi karena pengaruh kuat dari kontestasi politik dalam Pilpres 2024, sebagian orang menurut Zulhas ada yang tidak lagi mengucapkan “aamiin” dan malah mengangkat dua jari pada tasyahud akhir sebagai bentuk kecintaan (dukungan) terhadap Capres nomor urut 2.
Terlepas dari kebenarannya, fenemona tersebut menggambarkan keadaan masyarakat yang telah mengasosiasikan pengucapan “aamiin” dan mengangkat satu jari saat tasyahud akhir dalam salat sebagai simbol dari Capres nomor urut 1 yang memakai akronim “amin.” Sekalipun hal tersebut memiliki arti yang sama sekali berbeda, tetapi itu dilakukan untuk menunjukkan tanda dan identitas bahwa mereka bukan pendukung Capres nomor urut 1. Apabila pendukung Capres nomor urut 2 mengangkat dua jari saat tasyahud akhir, hal serupa berpotensi juga dilakukan oleh pendukung Capres nomor urut 3 dengan mengangkat tiga jari saat tasyahud akhir misalnya. Sementara pendukung Capres nomor urut 1 mungkin akan terlampau lantang meneriakkan “aamiin” dalam salatnya.
Jika demikian, ritual ibadah salat telah dijadikan sebagai media simbolis (semiotisasi ritual) untuk menunjukkan identitas baru dengan memberikan muatan tanda-tanda yang tidak berkaitan dengan konteks ibadah salat, namun dikonstruksi sedemikian rupa seakan-akan menjadi bagian dari wacana ibadah. Demikianlah hiperitualitas saat masyarakat menjadikan ritual ibadah sebagai ajang menciptakan segmentasi sosial dengan menampakkan tanda, ciri, dan identitas masing-masing dalam mendukung Capres 2024. Ritual ibadah menjadi permainan bebas simbol dan nilai tanda untuk menunjukkan disparitas dalam Pilpres.
Oleh karena itu, pospiritualitas (spiritualitas modern) adalah spiritualitas semu yang hidup dalam ruang kontradiksi kultural karena batas-batas norma dan moralitas telah bercampur aduk. Kontradiksi kultural dalam kasus Oklin Fia maupun guyonan Zulhas terjadi dengan adanya ketidakpastian batas baik-buruk, benar-salah, asli-palsu, dan sebagainya. Semua telah bercampur aduk sehingga tidak ada batas lagi tentang apa yang boleh dan tidak boleh dipertontonkan serta dilakukan dalam berhijab maupun salat.
Pada akhirnya, praktik ritual ibadah dalam berhijab maupun salat tidak bisa lagi diklaim sebagai bentuk ketaatan menjalankan sistem (syariat) keagamaan semata, karena semua itu telah lebur menjadi satu dalam silang sengkarut tanda; antara ibadah dan gaya hidup, antara kesalehan dan simpatisan Capres, antara transenden dan imanen. Berhijab dan salat memang menjadi tanda paling kentara sebagai identitas seorang muslim, namun pada saat yang sama juga membawa makna-makna lain yang sama sekali bisa berbeda dari makna aslinya.
Daftar Pustaka
al-Qurthubi, Sumanto. 2015. Jubah dan Hijab: Antara Busana Religius dan Pakaian Sekuler. Justisia: Jurnal Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, 44(1), pp. 144–156.
Habsari, Sinung Utami Hasri. 2015. Fashion Hijab dalam Kajian Budaya Populer. Jurnal PPKM II, pp. 126–134.
Naim, Ngainum. 2013. Kebangkitan Spiritualitas Masyarakat Modern. Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, 7(2), pp. 237–258.
Piliang, Yasraf Amir. 2007. Membaca Spirit Dunia: Fenomenologi, Semiotika, Realitas, Spiritualitas. Alfatri Adlin (ed). Spiritualitas dan Realitas Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta–Bandung: Jalasutra.