Beberapa waktu lalu saya berkesempatan untuk membaca kitab ‘catatan harian’ Ibnul Jauzi. Seorang pakar fikih madzhab Hanbali yang juga seorang sejarawan Islam.
Kitab tersebut merupakan kompilasi catatan-catatan hariannya atas pelbagai kontemplasi, renungan dan pemikiran selama hidupnya. Cakupan tulisannya pun beragam, tidak melulu tentang agama. banyak juga tentang motivasi diri, masalah sosial dan respon atas isu aktual di zaman itu.
Penyusunannya juga sengaja disusun tidak runtut sesuai tema yang sedang dibahas. Namun disusun sesuai dengan kronologi waktu munculnya pemikiran itu. Wong nama kitabnya saja “Shoidul Khotir” pengikat ide. Jadi Imam Ibnul Jauzi memang sengaja menulis kitab ini untuk menuliskan keresahan hatinya, juga ide dan pemikiran yang kerap muncul tak terduga agar tetap abadi.
Setelah membaca sebagian besar isi kitab tersebut. Saya melihat ada beberapa catatan Imam Ibnul jauzi yang nilainya masih relevan di zaman ini. Khususnya dengan kondisi sosial di Indonesia akhir-akhir ini.
Pertama, di halaman 86 Imam Ibnul Jauzi menulis satu bab khusus dengan judul: “Jangan Berlebihan Ketika Ceramah”.
Dalam membuka bab itu, Imam Ibnul Jauzi bercerita mengenai keresahannya ketika melihat para dai dan mubaligh dizamannya yang terkesan ‘lebay’ dan berlebihan dalam menyampaikan nasihat. Ia menulis
“Saya berfikir lama, setelah melihat apa yang terjadi di majelis-majelis dzikir. Mereka, baik sang dai ataupun orang awam yang mendengarkannya menganggap itu sebagai salah satu bentuk ibadah padahal di sana banyak hal yang munkar dan jauh dari semangat agama Islam.”
Pada saat itu, banyak dai yang dalam majelisnya banyak memasukkan hal-hal yang tidak pantas, seperti nyanyian. Bahkan ada juga yang memasukkan materi cinta dengan mendendangkan syiir-syiir Laila Majnun. Sehingga tujuan majelis itu sudah berubah, bukan lagi sebuah majelis nasihat dan dzikir, namun majelis yang justru melalaikan Allah.
Ada pula dai-dai yang tidak melihat kemampuan pendengarnya. Mereka menyampaikan materi-materi tingkat tinggi yang tidak dipahami masyarakat awam. Sehingga banyak diantara mereka setelah mendapat materi tentang mahabbah, sepulang dari majelis tersebut banyak di antara mereka yang menyobek pakaian mereka dan mengaku mengamalkan mahabbah cinta Allah.
Nah, fenomena semacam ini kan juga banyak terjadi di lingkungan kita. Banyak mubaligh yang memasukkan hal-hal tidak jelas, bahkan banyak juga bahkan yang menebar ujaran kebencian, menyerang yang tidak sepaham dengan mereka. Itu semua merupakan buah dari banyaknya ustadz yang tidak memahami manhaj dakwah islam yang baik.
Maka dari itu Imam Ibnul Jauzi menasihati, seyogyanya seorang dai selalu menyampaikan dakwahnya sewajarnya, tidak melampaui batas. Harus mengutamakan kebenaran ilmiah. Juga harus melihat apa yang dibutuhkan masyarakat. Apabila masyarakat butuh materi tentang kewajiban sholat, ya sampaikan tentang itu bukan selebihnya.
Beliau juga tidak melarang dalam berdakwah untuk menyelingi dengan joke-joke ringan. Namun dengan catatan kadarnya tidak lebih seperti kadar garam dalam masakan. Artinya selingan guyonan itu hanya sekedar sebagai bahan agar masyarakat tidak bosan dengan apa yang disampaikan.
Satu hal lagi yang menjadi catatan saya dan ini sangat menarik menurut saya. Di halaman 378 Imam Ibnul Jauzi menulis satu Bab: Alaikum Bil Kitab Wassunnah Tursyidu Atau kalau diterjemah, bab itu tidak lain atau tidak bukan, merupakan jargon yang sering digemborkan oleh kaum salafi: Yuk kembali pada al-Quran dan Sunnah engkau akan dapat petunjuk.
Saya menduga, mungkin lafadz inilah yang menginspirasi mereka menggunakan jargon itu. Toh Ibnul Jauzi adalah satu diantara ulama yang mereka akui sebagai ulama mereka.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah konteks yang mereka usung sama dengan yang dikehendaki Ibnul Jauzi dalam kitab ini?
Sama sekali tidak, ternyata Imam Ibnul Jauzi menulis bab ini adalah untuk mengcounter gerakan Mu’tazilah yang semakin parah.
Seperti kita ketahui guru Ibnul Jauzi, Imam Ahmad bin Hanbal adalah satu dari korban dari aliran Mu’tazilah yang memaksanya untuk mengakui kemakhlukan al-Quran.
Nah, dimasa Ibnul Jauzi aliran itu masih ada dan semakin melebarkan sayapnya. Untuk itu Ibnul Jauzi mewanti-wanti muridnya untuk kembali pada al-Quran dan Sunnah untuk membentenginya dari aliran yang mengaku telah melepaskan diri dari al-Quran itu.