Setelah Pekan Ngaji Tafsir Nusantara usai diadakan oleh DR. K.H. Afifudin Dimyathi, LC, MA selama 4 hari (18 – 21 Januari 2025). Penulis mencoba menggali lebih dalam salah satu tafsir Al-Qur’an karya Ulama Nusantara yang berjudul “Al Mu’tasham: Fii Tafsir Al Qur’an Al Mu’adzzam” dimana tafsir tersebut ditulis oleh K.H. Abdul Halim Halimi Al-Jimbari yang memiliki nama asli K.H. Zamroji Halim, salah satu pengasuh Ponpes MHI (Mamba’ul Khoiriyah Al-Islamiyyah), Bangsalsari, Jember, Jawa Timur.
Tafsir tersebut termasuk dalam salah satu kitab tafsir yang dikaji di Ponpes Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang. Adalah K.H. Zamroji Halim merupakan putra dari K.H. Abdul Halim Rohman dan Ny. Hj. Ruqoyyah yang lahir pada tanggal 07 Maret 1953. Setelah menamatkan pendidikan dasar di pesantren abahnya/Kiai Halim, Kiai Zamroji atau yang kerap disapa Kiai Zam meneruskan rihlah thalabul ilminya ke beberapa pesantren antara lain: Ponpes Al Hidayah Tertek, Kediri dibawah asuhan KH. Juwaini Nuh (1971 – 1972), Ponpes Miftahul Ulum, Wonosalam, Demak dibawah asuhan KH. Tamyiz Kasnawi, Ponpes Raudlatul Ulum Kencong, Kediri dibawah asuhan KH. Zamroji Syairozi, dan Madrasah al – Kitab Asia Tenggara Malang selama tiga semester (1974).
Tafsir Al-Mu’tasham sendiri sebagaimana yang beliau tuturkan kepada penulis, penulisannya dimulai pada awal tahun 2006 s/d 2010. Adapun yang melatarbelakangi Kiai Zam menulis tafsir berbahasa arab tersebut dikarenakan saat itu masih minim sekali tafsir al – Qur’an karya Ulama Nusantara yang berbahasa Arab, maka beliau akhirnya tergerak untuk menuliskan tafsir ini. Jauh sebelum tafsir ini ditulis, sebenarnya beliau sudah memiliki keinginan. Namun khawatir apa yang beliau tulis ini tidak dilandasi dengan keikhlasan. “Sebenarnya sudah ada sepuluh tahun niatan untuk menulis tafsir ini mas, tapi takut tidak ikhlas dan baru – baru ini saya mantapkan diri”, tutur beliau kepada penulis.[1]
Dibalik penamaan “Al Mu’tasham” Kiai Zam bertutur kepada penulis bahwa tafsir ini diharapkan menjadi tafsir Al-Qur’an yang beda dari lainnya, akan tetapi bukan berarti tafsir Al – Mu’tasham ini lebih unggul dari tafsir lainnya. Tentu beliau sendiri tidak berkenan jika tafsir beliau diunggulkan dari yang lain, namun beda yang beliau maksud disini adalah tampil beda. Dalam metode penafsirannya, maka dapat kita temui bahwa tafsir ini menerapkan metode penafsiran ijmali (secara global) yang berfokus pada penyajian inti makna secara garis besar.
Namun yang menjadikan tafsir ini tampil beda dari tafsir lainnya adalah adanya sanggahan Kiai Zam terhadap penafsiran Al – Quran yang keliru pada Surah An – Nisa’ ayat 1 dalam versi penafsirannya Nazwar Syamsu. Dikatakan bahwa Nabi Adam dilahirkan dari rahim Hawa dan setelah besar Nabi Adam menikah dengan Hawa, tentu menurut Kiai Zam ini pemahaman yang keliru. Mengingat Nazwar Syamsu yang berasal dari Padang notabene nya bukan seorang ahli mufassir.
Dalam hal ini Kiai Zam tentu lebih condong kepada penafsiran ulama salaf, yang mana Nabi Adam adalah manusia pertama ciptaan Allah dan Hawa adalah pasangannya yang diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam.[2] Lalu keunikan tafsir ini dapat kita temui lagi pada QS. Al – Baqarah : 164. Dalam memaknai tanda – tanda kekuasaan Allah melaui penciptaan alam semesta, Kiai Zam memberikan satu contoh bahwa tenggelamnya kapal Van Der Wijck dan Titanic merupakan salah satu bukti akan luasnya ilmu dan kekuasaan Allah, sedangkan manusia diberikan ilmu melainkan hanya sedikit atau tidak cukup.
Dalam pekan kajian tafsir Nusantara di Rejoso kemarin (18/01), Kiai Zam menyebutkan baik dari kisah nyata tenggelamnya kapal Van Der Wijck dan versi novelnya Hamka tentunya dapat diambil pelajaran bahwa ilmunya manusia masih belum ada apa – apanya ketimbang ilmunya Allah. Ketika penulis bertanya kepada beliau, mengapa Kiai Zam tahu mengenai novel karya Hamka ? ternyata Kiai Zam bahwa beliau sangat menggandrungi buku karya Hamka.
Keunikan yang lain dan beda dalam kitab tafsir ini bisa kita lihat lagi dalam QS. Al –A’raf : 56, di ayat tersebut diterangkan bahwa salah satu kerusakan nyata dimuka bumi ini terutama di abad 21 adalah kebiasaan yang dilakukan oleh kaum homo sexual dan lesbian (liwath) / penyuka sesama jenis atau biasa dikenal LGBT. Dampak buruk jika seseorang melakukan hubungan badan melalui anus adalah dapat menyebabkan timbulnya virus HIV / AIDS yang nantinya akan menyerang imunitas tubuh manusia.[3] Model penafsiran progresif berbasis metode ijmali yang dilakukan oleh Kiai Zam ketika penulis mewawancarai beliau, tentunya dengan bertanya kepada ahli medis dan menurut beliau tidak mungkin jika kalam Ilahi yang muatannya berkaitan tentang medis bertanya kepada selain ahli medis.
Kemudian keunikan lainnya dapat kita temui dalam penafsiran QS. Al – Baqarah : 23 yang mana Kiai Zam menunjukkan keorisinalitas Al – Qur’an ketimbang kitab Injil. Dikatakan dalam Injil (perjanjian lama) di bab kejadian ayat 11 bahwasannya Allah adalah Tuhan Satu Yang Maha Kuasa serta tiada sekutu bagi – Nya, namun dalam versi Matius pasal 3 terdapat kerancuan yang menunjukkan bahwa Nabi Isa adalah anak Allah. Tentu kerancuan tersebut menunjukkan akan terjaganya Al-Qur’an sebagai kitab suci ummat Islam sepanjang zaman.
Dan keunikan terakhir dapat kita temui dalam penafsiran QS. Al Zalzalah : 08. Dalam menafsirkan pembalasan amal bagi orang mukmin dan orang kafir Kiai Zam mengutip sebuah dawuh dari KH. Mukhtar Syafa’at Blokagung, Banyuwangi, dimana Kiai Syafa’at merupakan kawan abahnya Kiai Zam (Kiai Abdul Halim Rohman) semasa nyantri di Tebuireng. Dawuh Kiai Syafa’at, “Manusia terbagi menjadi tiga golongan : golongan mukmin, golongan kafir, dan golongan ragu – ragu, maka golongan kedua dan ketiga ini kelak mendapat balasan buruk di akhirat”.
Dari penafsiran-penafsiran unik tersebut Kiai Zam menjelaskan kepada penulis bahwa sejatinya dari 14 karya yang beliau tulis. Terdapat 4 karya yang muatannya khas membahas hujjah tradisi Islam di Nusantara, antara lain: Ta’jil Nailul Maram (Syarah hadits dalam kitab Bulugh al – Maram), Maftuhu Al – Bariy (Syarah hadits riwayat Imam Bukhori), Al Nayla Al – Kamil (Syarah hadits riwayat Imam Muslim), dan kitab Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang berisikan syarah hadits tentang pencegahan kemungkaran serta kisah keteladanan dari Ulama’ Indonesia.
Waba’du, sedikit penjelasan dari penulis ini semoga dapat menambah wawasan para pembaca mengenai ragam khazanah tafsir Qur’an yang ada di bumi Nusantara. Wallahu A’lam
[1] KH. Zamroji Halim, Wawancara di kediaman, 21 Januari 2025.
[2] KH. Zamroji Halim, Al Mu’tasham, (Jember, Ponpes MHI, TT) Juz : 1, halaman 99.
[3] Ibid, Juz : 1, halaman 225.