
Tanggal 12 April kemarin, merupakan peringatan Haul Seabad Syaikhona Kholil bin Abdul Latif Bangkalan. Bersamaan dengan itu, salah satu karya beliau yang telah rampung ditahqiq dengan judul “Ta’lim Ash Shibyan”. Tentu hal ini membuktikan bahwasannya sosok Mahaguru Ulama’ Nusantara abad XIX – XX tersebut tidak hanya sarat dengan kisah karomah. Namun juga sarat akan jejak keilmuan dan intelektualitasnya. Akan tetapi, yang akan kita bahas disini adalah jaringan santri dan guru beliau yang ada di tlatah Blambangan.
Syaikhona Kholil Bangkalan yang dilahirkan tahun 1235 H atau 1835 M dalam perjalanan tholabul ilmi nya pernah menimba ilmu di Banyuwangi, tepatnya di Ponpes Jalen (Al Ashriyah) yang kala itu diasuh oleh Kiai Abdul Basyar (mertua dari Kiai Abdul Manan Sumberberas, Muncar & kakek dari Kiai Askandar Sumberberas Muncar).
Mengutip dari buku biografinya (Fuad Amin Imron: 2020, 28), sebelum Syaikhona Kholil bertolak menimba ilmu di Makkah Al-Mukarramah terlebih dulu beliau menimba ilmu kepada Kiai Abdul Basyar Jalen dan perjalanan ke Banyuwangi yang beliau tempuh kala itu dengan berjalan kaki, sebagaimana yang dituturkan oleh Lora Karror ketika berziarah ke makam Kiai Abdul Basyar tahun 2022.
Di Jalen, selain menimba ilmu, Syaikhona Kholil juga mencari usaha sampingan sebagai buruh pemetik buah kelapa dan hasilnya nanti akan dipakai bekal beliau bertolak meneruskan pencarian ilmu ke Haramain. Selama tiga tahun lamanya Syaikhona Kholil menimba ilmu kepada Kiai Basyar Jalen, Banyuwangi. Hingga pada akhirnya pada tahun 1859 M, Syaikhona Kholil bertolak menimba ilmu ke tanah suci Makkah.[1]
Selain pengalaman menimba ilmu di tlatah Blambangan atau kini disebut Banyuwangi, Syaikhona Kholil juga memiliki jaringan santri yang berdakwah dan mendirikan pesantren di ujung timur Pulau Jawa ini. Sebut saja seperti Kiai Saleh Syamsuddin (1862-1952) asal kelurahan Lateng, Banyuwangi yang masyhur sebagai ulama’ perintis NU cabang Banyuwangi. Selama 7 tahun lamanya beliau menimba ilmu kepada sang Mahaguru Ulama’ Nusantara ini, tidak hanya itu. Kiai Saleh selama di Bangkalan juga menimba ilmu kepada Kiai Ahmad Thoha (menantu Syaikhona Kholil), Syekh Zainul Allim Al Bangkalani, dan Kiai Imam Karay Sumenep (ulama’ Madura pakar khat).[2]
Dalam peringatan haul Syaikhona Kholil Bangkalan ke 13, Kiai Saleh Lateng juga ditunjuk oleh panitia haul yang kala itu diketuai oleh Tuan Abdurrazak Bangkalan sebagai salah satu tim dari 19 kiai alumnus pesantren Bangkalan guna penyusunan sebuah biografi dari Syaikhona Kholil Bangkalan yang mana apabila draf dari biografi tersebut ditemukan sungguh hal tersebut menjadi kajian yang menarik untuk kita telisik.[3]
Adapun santri Syaikhona Kholil lain yang berasal dari Kediri dan kemudian bermukim di Banyuwangi ialah Kiai Abdul Manan dan Kiai Askandar. Setelah menimba ilmu di Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Kiai Abdul Manan bertolak menimba ilmu ke Bangkalan dan setelah dari Bangkalan beliau meneruskan rihlah-nya menuju pesantren gurunya di Jalen, Banyuwangi. Tak dinyana, ternyata ia diambil menantu oleh gurunya, Kiai Abdul Basyar dan sepeninggal Kiai Basyar (1915).
Kiai Manan diberikan amanah menjadi pengasuh pesantren tersebut sampai akhirnya tampuk kepemimpinan tersebut diserahkan kepada adik iparnya Kiai Imam Mawardi/putra lelaki Kiai Basyar yang dirasa telah cukup ilmunya. Adapun Kiai Manan sendiri hijrah mendirikan pesantren di Sumberberas, Muncar.
Begitupun dengan Kiai Askandar yang sama – sama murid dari Syaikhona Kholil dan juga murid daripada Kiai Abdul Basyar yang berasal dari Kediri. Ketika masih berada di Bangkalan, ia pernah diperintah oleh gurunya untuk memakan buah salak yang tersaji di hadapannya. Sehabis memakan buah salak tersebut, Syaikhona Kholil berujar agar Askandar cepat pulang ke Banyuwangi. Sebuah isyaroh bahwa ilmunya telah matang dan pada akhirnya Kiai Kandar bersama mertuanya, Kiai Abdul Manan sama – sama merintis pesantren di Sumberberas, Muncar.[4]
Terdapat lagi dua santri Syaikhona Kholil Bangkalan yang berdakwah dan tinggal di Banyuwangi, yakni Kiai Abdullah Faqih Cemoro Songgon (1878 – 1952) dan Kiai Abbas Tugung (1853 – 1989). Kiai kedua yang kami sebutkan ini merupakan ulama’ yang berdarah keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang memilih uzlah menjadi seorang ulama’. Salah satu bukti kecintaan Kiai Abbas kepada gurunya Syaikhona Kholil terpatri dalam salah satu karyanya yang berjudul “Manasik Haji wa Ziyarah Al – Madinah”.
Dalam akhir kitab ini Kiai Abbas Tugung mengijazahkan secara umum doa’ perjumpaan Nabi Khidir dan Nabi Ilyas dalam musim haji yang diriwayatkan dari gurunya Syaikhona Kholil. Tidak hanya itu, Kiai Abbas juga menuliskan tarikh kewafatan gurunya tersebut dengan tahun 1343 H / 1924 – 1925 M. Adapun Kiai Abdullah Faqih Cemoro merupakan salah satu santri Syaikhona Kholil yang di Banyuwangi masyhur sebagai pelopor tradisi “endhog-endhogan” tiap perayaan Maulid Nabi.
Kiai Abdullah Faqih sendiri selama menimba ilmu di Bangkalan merupakan kawan sejawat dengan Kiai Manaf Abdul Karim, pendiri Pesantren Lirboyo. Dalam buku sejarah pesantren Lirboyo dikisahkan bahwa Kiai Manaf sebelum menimba ilmu kepada Syaikhona Kholil Bangkalan pernah menjadi buruh pengetam padi di daerah kawannya tersebut di Cemoro, Banyuwangi guna mencari bekal menimba ilmu di Bangkalan.
Namun ketika sampai dihadapan Syaikhona Kholil, padi hasil upahnya mengetam diminta Syaikhona Kholil guna sebagai pakan ayamnya.[5] Kiai Faqih sendiri menimba ilmu di Bangkalan selama 9 tahun lamanya dan kawan sejawatnya selain Kiai Manaf adalah Kiai Maksum Lasem.[6]
Waba’du, demikian sekelumit dari jejaring santri & guru Syaikhona Kholil Bangkalan yang ada di Banyuwangi dan tentunya ulama – ulama tersebut memiliki peran penting dalam mewarnai dinamika khazanah keilmuan agama Islam pada abad XIX – XX. Wallahu a’lam.
[1] Alzani Zuhmi & Ali Haidar, “Tarekat Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah Syaikhona Kholil Bangkalan Tahun 1834 – 1925”, Jurnal Avatara, Vol. 1, No. 2, Mei : 2013, halaman 92.
[2] Ayung Notonegoro, “Lentera Blambangan : Biografi Sembilan Ulama Banyuwangi Teladan”, (Banyuwangi, Komunitas Pegon : 2023), halaman 11 – 12.
[3] Koran Pemandangan edisi 21 November 1938. Sumber : Muchammad Chasif Ascha.
[4] Ibid, halaman 123 – 124.
[5] H. Asep Bahtiar dkk, “Pesantren Lirboyo : Sejarah, Peristiwa, Fenomena, & Legenda”,( Kediri, Lirboyo Press : 2020), halaman 26.
[6] Ayung Notonegoro, “Lentera Blambangan : Biografi Sembilan Ulama Banyuwangi Teladan”, (Banyuwangi, Komunitas Pegon : 2023), halaman 176