
Moderasi beragama merupakan cara pandang kita dalam beragama secara moderat, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri. Maka dari itu, DR. K.H. Afifuddin Dimyathi, Lc, MA atau yang kerap disapa Gus Awis dalam makalah tafsir maudhu’i – nya yang berjudul “Fii Rihab Al-Qur’an” (Dalam Dekapan Al-Qur’an) memaparkan satu tema berkaitan penafsiran ayat Al-Qur’an tentang moderasi beragama.
Dalam makalah yang dahulu dipakai sebagai materi pengajian tiap hari selasa sebelum dzuhur bersama siswa-siswi SMA Darul 1 Unggulan BPPT Jombang, beliau mengutip QS. Al – Baqarah:143 yang menjadi salah satu hujjah dari moderasi beragama.
Kata (أُمَةً وَسَطًا ) memiliki penafsiran sebagaimana yang beliau nukil dari Tafsir Al–Washith nya Syaikh Muhammad Sayyid Thantawi bahwa umat Muhammad oleh Allah Ta’ala dipilih sebagai umat yang dapat berlaku moderat dengan kalangan umat beragama lainnya.
Oleh Gus Awis, tentunya sikap moderat dalam beragama tersebut mesti ada batasannya dan batasan paling pokok bagi umat Islam ketika menerapkan moderasi beragama ini adalah menciptakan sifat moderat tersebut pada dirinya terlebih dahulu. Baru kemudian sikap moderat tersebut setelahnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari–hari ketika bersosialisasi dengan sesama umat beragama lainnya (Fii Rihab Al-Qur’an: hal. 1).
Penjelasan yang beliau sampaikan dalam tafsir maudhu’i–nya ini mengandung pesan bahwa kita sebagai umat Islam agar jangan sampai ada bias dan multitafsir dalam memaknai ayat Al– Qur’an yang memaparkan moderasi beragama.
Selanjutnya, sikap moderat ini menurut Gus Awis merupakan salah satu kekhususan yang diberikan Allah kepada umat Muhammad secara umum dengan menerapkan konsep adil dan i’tidal (tidak berlebihan), maka segala bentuk intoleransi, ujaran kebencian (hate speech), dan radikalisme dalam beragama hendaknya–lah kita hindari.
Karena hal demikian tidak mencerminkan sikap kita sebagai umat Islam. Sebagai contoh, debat nasab Ba’alawi yang akhir–akhir ini ranah pembahasannya tidak ilmiah sekali dan lebih mengandung unsur intoleransi serta berbagai macam bentuk ujaran kebencian yang dibahas di dalamnya.
Kemudian asas-asas lain yang dapat membangun seorang muslim memiliki sikap moderat dalam beragama telah dijelaskan oleh Gus Awis demikian:
والمبادئ التي أقرها الإسلام لضبط المجتمعات أساسُها الرحمة العامة و توكيد المصلحة الحقيقية للأمة
“Dan permulaan yang dibangun dari sikap moderat dalam Islam guna menjaga stabilitas bermasyarakat azasnya ialah dengan menebar rahmat/kasih sayang kepada semua orang dan dikukuhkan secara hakiki dengan mendahulukan kepentingan umat secara Bersama.” (Fii Rihab Al-Qur’an: hal. 2).
Pemaparan dari Gus Awis tersebut senada dengan apa yang disampaikan oleh H. Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama Periode 2014–2019) dalam modul “Moderasi Beragama” yang diterbitkan oleh Kementerian Agama, bahwa seseorang atau sebuah komunitas Muslim baru disebut sebagai saksi (syahidan) manakala ia memiliki komitmen terhadap moderasi dan nilai– nilai kemanusiaan (humanity).
Waba’du, sebagai penutup pembahasan ini, Gus Awis sedikit memaparkan bahwa manhaj (metode) moderasi beragama dalam Islam telah tergambarkan dalam QS. Al–Fatihah:5 sebagai manhaj yang shiratal mustaqim (jalan yang lurus), yakni jalan yang membedakan dari golongan filsuf yang menyimpang dan termasuk kategori almagdhubi alaihim (yang dimurkai Allah) serta bukan jalan yang ad-dhalin (disesatkan) oleh Allah sebagaimana golongan ahli ghuluw (berlebihan) atau tafrith (melampaui batas). Wallahu a’lam.