Sedang Membaca
Mengapa Gus Dur Memuliakan Kiai Kampung?
Avatar
Penulis Kolom

Kadang guru ngaji, kadang penulis, pegiat sepak bola, santri Lirboyo asal Bangkalan.

Mengapa Gus Dur Memuliakan Kiai Kampung?

Gus Cak Cuk

Pagi-pagi buta seorang santri berprestasi pulang ke rumah. Kendati saat itu adalah masa liburan pesantren dan sekolah. Sekonyong-konyong ketika salat maghrib berjemaah di masjid dekat rumahnya, ia langsung mempermasalahkan bacaan kiai kampungnya yang kurang fasih. Katanya, kakek-kakek tua itu salah dalam makhraj huruf, salah dalam mad thabi’i-nya. Alih-alih dapat respons dari para warga yang mendengarnya, santri itu malah diusir dari masjid. Alasannya jelas. Kiai kampung yang telah lama mengajar dan mendidik warga sekitar dianggap salah oleh anak muda yang belum punya kiprah lebih di masyarakat.

Kiai saya di pesantren menceritakan kisah di atas sembari menutup ceritanya dengan kalam hikmah berupa “Ketika kalian pulang ke rumah, ilmu hikmahnya dipakai, ya. Kiai kampung itu sama seperti saya. Harus kalian hormati”. Memang sedari awal pengajaran dari beliau menjelaskan ilmu hikmah alias ilmu yang bermanfaat di masyarakat. Bagi kiai saya, ilmu yang bermanfaat di tengah-tengah masyarakat adalah ilmu yang digunakan untuk menyatukan bukan untuk memecah belah. Ia adalah ilmu yang digunakan untuk berdakwah secara damai bukan secara keras dan tanpa ampun.

K.H. Abdurrahman Wahid  (Gus Dur) ketika dimintai kata pengantar dalam buku Kiai Kampung & Demokrasi Lokal, gubahan M. Hanif Dhakiri, beliau mengklasifikasikan kiai menjadi dua bagian -kiai sepuh dan kiai kampung-. Dalam tulisannya itu, Gus Dur memberi predikat pemangku pondok besar seperti Lirboyo, Langitan, Tebuireng dan lain-lain menjadi bagian dari kiai sepuh. Sedangkan kiai kampung adalah predikat kiai selain definisi di atas.

Baca juga:  Pemetik Puisi (17): Siddhartha Mukherjee, Kanker, dan Tuhan

Tidak seperti yang ada di benak kita, predikat kiai kampung sejatinya sangat bisa diberikan kepada siapa pun yang memiliki kemampuan ilmu dan kharisma layaknya seorang kiai. Bukan via garis keturunan. Kiai jenis ini biasa dipredikatkan oleh masyarakat karena keberhasilannya dalam membimbing umat pada ajaran Islam yang lebih terang benderang.

Kiai Kampung Tidak Pantas Disingkirkan

Jika kembali pada cerita santri dengan penuh prestasi di atas yang berkehendak menjatuhkan marwah kiai kampung karena kesalahan bacaan al-Qur’annya. Kita dapat membela kiai kampung dengan sedikit-dikitnya dua adagium dan pepatah yang tersemat dalam diri pengayom masyarakat itu.

Pertama, pasti al-istiqamatu khairun min alfi karamah. Kiai kampung pasti sudah punya jam terbang beribu-ribu hari dalam membimbing dan mendidik masyarakat bawah untuk benar-benar mengetahui hakikat agama Islam secara dasar dan mendalam. Masyarakat tidak segan-segan menyebut seseorang dari keturunan keluarga biasa sebagai kiai asalkan mereka adalah orang yang memiliki kualifikasi keilmuan dan keteladanan yang bagus serta andil pada masyarakat dalam kurun waktu yang tidak sebentar.

Kedua, adab al-khidmah a’azzu min al-khidmah, pepatah ini berasal dari Ibnu Mubarak yang dipopulerkan Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Salalim al-Fudhala’.  Artinya adalah adab dedikasi lebih mulia dari dedikasi itu sendiri. Jika disederhanakan dalam bahasa ilmu adalah cara kita mengajar seringkali lebih ampuh daripada pengajaran itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri, keuletan dan cara kiai kampung mendedikasikan dirinya ke masyarakat merupakan suatu hal yang tidak bisa dianggap remeh. Kendati peran sosial yang diperankan secara apik oleh kiai kampung otomatis membuatnya menjadi sosok sentral di masyarakat. Sesekali, mereka menjadi rujukan utama dalam mengambil suatu tindakan untuk dapat menyelesaikan masalah.

Baca juga:  Kumandang Azan di Negeri India

Rasanya tidak ada kata yang paling indah ketika membedakan antara istilah ‘mendidik’ dan ‘mengajar’ kecuali dawuh pemangku pondok Lirboyo, K.H. M. Anwar Manshur. Beliau menjelaskan: “Tarbiyah atau mendidik itu berbeda dengan mengajar. Mengajar itu hanya menyampaikan penjelasan. Sudah itu saja. Sedangkan mendidik itu selain menyampaikan ilmu, kita harus memberikan contoh dan anak diawasi supaya melaksanakan apa yang kita sampaikan”. Rasanya inilah letak perbedaan cara khidmah kita kepada masyarakat dengan kiai kampung -untuk tidak mengatakan bahwa kontribusi kita pada masyarakat hampir tak tampak.

Akhirnya, saya membayangkan, mengapa Gus Dur mengklasifikasikan kiai menjadi dua bagian. Dalam pandangan beliau, keikhlasan, keteladanan dan jam terbang tidak mengenal lokasi -entah di panggung bersinar atau di surau yang kurang akan penerangan-, semuanya punya nilai yang sama. Sama-sama punya hak untuk dihormati, punya posisi dan porsi masing-masing. Maka, tak heran jika Gus Dur memuliakan mereka, karena beliau tahu, yang berdedikasi diam-diam di balik kehidupan maya dan panggung indah justru paling layak dihormati. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top